"Gyeom-ah, mari kita berpisah ..."Hangyeom yang sedang membantu Jaehan mencuci piring malam itu menoleh. Jelas terkejut karena penuturan istrinya yang tiba-tiba.
"Apa maksudnya? Bukankah kita sudah baik-baik saja?"
Jaehan tampak menghela, namun tak mengatakan apa-apa dan hanya pergi begitu saja meninggalkan Hangyeom dengan segala kebingungan yang tampak jelas di wajah tampannya.
"Kim Jaehan ..."
*
*
*
Suara tamparan yang cukup keras terdengar menggema di kediaman Kim. Keluarga yang dikenal harmonis dan jarang sekali meninggikan suara mereka tak peduli apa.
"Eomma!"
Satu tamparan lagi mendarat di pipi Jaehan.
Pemuda itu berdiri, tetap bertahan meski hatinya perih sekali.
"Jika terjadi apa-apa, eomma tidak akan pernah membantumu, Kim Jaehan. "
Karena tidak ada yang tahu bagaimana sebenarnya Shin Yechan. Bahkan Junghoon yang berkata akan selalu mendukung kakaknya pun kini mulai meragukan.
Sang ayah, sebagai kepala keluarga hanya mengatakan sedikit kalimat pada Jaehan. Berharap anak sulungnya itu mau memikirkan lagi keputusan yang ia anggap gegabah dan sembarangan.
Selepas kepergian orang tuanya yang sebenarnya cukup murka, Jaehan duduk dengan mengubur wajah di kedua telapak tangannya. Pipinya merah akibat tamparan, matanya basah, dan ia pun dirundung oleh rasa bersalah.
Meminta berpisah dengan Hangyeom pun bukan hal sebenarnya ia inginkan. Ia juga dilanda kebimbangan.
Ia mencintai Yechan, tak ingin kehilangan. Apalagi Yechan berkata bahwa jika ia saja bisa membagi cinta, maka Yechan juga bisa. Di sana, dari sana Jaehan tak bisa begitu saja menerima.
Ia tak bisa melihat Yechan bersama orang lain selain dirinya.
Kini, karena pengakuannya ... tak hanya Hangyeom, tapi ibunya pun merasa kecewa. Bahkan Hyuk juga. Adik laki-lakinya itu sangat mengagumi Hangyeom, hingga tidak rela rasanya jika iparnya dikhianati oleh kakaknya sendiri.
Akan tetapi, semua sudah terjadi. Ia mencintai Yechan dan sekali lagi, Jaehan tak ingin pria itu meninggalkannya dirinya dan anak yang masih dikandungnya.
Jaehan tidak bisa merelakan Yechan pergi dari hidupnya.
Dalam tangisan lirihnya, Junghoon mendekat, dan menepuk bahunya. "Berhenti menangis, hyung. Kau tidak kasihan pada anakmu?"
Mendengar itu, Jaehan perlahan-lahan menghentikan tangisannya.
Setelah dirasa cukup tenang, barulah Junghoon kembali berbicara, "Kenapa kau ke sini sendiri? Mana Yechan?"
"Aku belum mengatakan apapun padanya."
Junghoon berdecak pelan, "Bodoh sekali. Seharusnya kau ajak dia dan menghadapi eomma bersama-sama."
"Aku tidak memikirkan itu. Yang aku tahu, aku hanya harus mengaku."
Kakaknya ini selain polos juga bodoh, Junghoon mau menggerutu pun merasa tak berguna.
"Bagaimana dengan Hangyeom?"
Jaehan menggeleng pelan.
Junghoon mengembuskan napas berat. Ia bahkan tak tahu lagi harus mengatakan apa.
"Junghoonie, bantu aku mengurus perceraian, ya?"
"Aku akan menemanimu jika kau benar-benar sudah yakin. Hyung, Hangyeom mencintamu. Dia bahkan mau menerima anakmu bersama Yechan ... tidak bisakah kau mempertimbangkan itu?"
Saat ini yang ada di pikiran Jaehan hanya satu, "Aku takut Yechan meninggalkanku."
Junghoon tak habis pikir dengan apa yang kakaknya ini pikirkan, meski begitu ia juga tak bisa membiarkan Jaehan yang sedang hamil menanggung segalanya sendirian.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Jaehan tahu ia tak pantas pulang ke rumah Hangyeom setelah apa yang sudah ia lakukan. "Aku akan tinggal bersama Yechan."
*
*
*
Karma.
Ya, itulah yang akhir-akhir ini Jaehan takutkan.
Bukan karena Yechan tak lagi perhatian, namun tinggal bersama membuat Jaehan tahu bagaimana sebenarnya kehidupan Yechan.
Jika dulu mereka bertemu setiap pagi dan sore hari, atau Yechan yang mencuri waktu untuk pergi ke florist, kini Jaehan yang perutnya mulai membesar hanya bisa tinggal di rumah, sementara Yechan lebih sering keluar karena harus bekerja.
Pikiran-pikiran tak sehat mulai berdatangan, membuatnya tak tenang.
"Hyung, apa kau sudah memutuskan nama yang akan kau berikan untuk bayi kita?"
Hari ini Yechan pulang lebih awal dari biasanya. Jadi, setelah makan malam, masih ada banyak waktu untuk berbicara berdua.
Yechan sendiri sudah tahu apa yang terjadi, karena Jaehan sudah banyak bercerita.
Respon Yechan sebenarnya cukup membuat Jaehan kecewa, karena pria itu tak banyak bereaksi ataupun berekspresi. Namun, Yechan berkata cukup senang karena akhirnya mereka bisa tinggal bersama.
Di ranjang kamar, Jaehan memiringkan kepala, "Hm, aku belum memikirkannya."
Yechan terdiam dan langsung menyalakan ponselnya. Jaehan ikut melihat, rupanya pria itu sedang mencari referensi nama-nama dari sana.
"Yechanie, kita kan belum tahu apa jenis kelaminnya."
"Kita bisa membuat opsi, hyung. Ada nama untuk laki-laki dan perempuan." Ketikan Yechan berhenti, pria itu lantas bertanya pada Jaehan yang sedari tadi duduk di sebelahnya, "Kau sendiri ... berharap itu laki-laki atau perempuan?"
Dengungan terdengar, Jaehan mulai menimbang.
"Apa saja tidak masalah untukku. Karena itu anakmu, anak kita, jadi aku pasti akan menerima apapun keadaannya."
"Benarkah?"
Jaehan mengangguk, "Kuharap dia juga akan menjadi anak yang baik dan juga penuh perhatian, seperti dirimu ..."
Hanya itu yang Jaehan mau.
Mendengar itu, Yechan yang terpana pun segera mengangkat dagu Jaehan dan memagut bibirnya lembut.
Jaehan menyambut.
Bersandar pada tubuh Yechan, Jaehan menyerahkan diri sepenuhnya pada laki-laki ini. Laki-laki yang sudah masuk ke dalam hidupnya, mengacak-acak hati dan pikirannya.
Merusak rumah tangganya.
Ciuman berlanjut, Yechan semakin menuntut. Pria itu segera membaringkan Jaehan yang sama menginginkannya.
Saat hamil pun Jaehan tetap mempesona. Meski agak pucat, tapi tak mengurangi semangatnya. Jaehan berusaha memberi yang terbaik untuk kekasihnya.
Namun, malam itu entah karena rindu atau memang Yechan yang selalu menggebu-gebu, Jaehan mengalami pendarahan yang lumayan menimbulkan kepanikan.
Segera Yechan membawanya ke rumah sakit.
Tentu saja setibanya di sana, Yechan dimarahi habis-habisan.
Kandungan Jaehan memang tidak selemah saat tiga bulan pertama, tapi bukan berarti mereka bisa berhubungan sesukanya.
"Kau ini bodoh atau apa?" Jehyun memarahi Yechan. Bukan sebagai dokter, tapi sebagai seorang teman.
Jaehan sendiri sudah dipindahkan ke ruang pasien, karena kondisinya yang sudah mulai stabil.
"Beruntung bayimu selamat."
"Maaf."
"Ya, sudah. Kau mau masuk?"
"Boleh?"
Jehyun mengangguk, dokter muda itu pun pergi setelah menepuk pelan bahu Yechan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Affair✅
FanfictionHangyeom adalah pria baik, namun sayangnya naif. Sementara Jaehan merasa Hangyeom tak cukup memberi sesuatu yang ia cari. Sesuatu yang Yechan miliki dan mampu pria itu beri.