Florist tidak selalu sibuk, tapi selalu ada pelanggan yang datang.
Stabil lebih tepatnya.
Mungkin karena itu juga Yechan tidak selalu datang.
Namun, sejak Jaehan disarankan untuk istirahat, dan mencari pengganti bukanlah hal yang mudah dilakukan, itu sedikit mempengaruhi kesibukan Yechan.
Ia jadi sering ke florist, entah karena dipanggil nuna karena ada pelamar yang datang, atau pun dia sendiri yang terkadang turun tangan saat membludaknya pesanan.
Dia sudah sempat protes pada kakak iparnya, tapi apa yang ia harapkan?
Yechan diminta membantu juga karena kedua kakaknya itu terlalu sibuk menjalankan perusahaan.
Dengan kesibukannya yang menjadi dua kali lipat -antara kantor dan florist, otomatis intensitas pertemuannya dengan Jaehan pun menjadi berkurang.
Jaehan menjadi uring-uringan adalah hal yang tak terelakkan, sementara Yechan bukan tipe pria penyabar yang akan repot-repot menjelaskan.
Ia sudah lelah dan selalu disambut dengan kecurigaan.
Jaehan bahkan semakin menjadi-jadi saat tahu bahwa Yechan sudah mendapatkan satu karyawan baru.
Sejak saat itu juga Jaehan menjadi lebih pendiam dari sebelumnya. Pria yang biasa manja, kini bahkan tak pernah tersenyum padanya.
Sementara ini, Yechan masih mencoba memaklumi karena mungkin itu efek dari kehamilannya saat ini.
Sayangnya, semua tak berjalan sesuai prediksi.
Jaehan semakin posesif, bahkan pernah tak mengijinkan dirinya pergi ke florist.
Jika saja bukan Jaehan ...
Yechan bahkan tidak tahu sampai kapan dia bisa memendam rasa kesalnya. Ia tidak tahu mengapa Jaehan jadi begini merepotkan.
Lagi dan lagi, ia hanya bisa menyalahkan hormon kehamilan.
"Hyung, nanti aku pulang terlambat, ya?"
"Mau ke florist lagi?" ketus Jaehan bertanya.
Yechan menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Ia mencoba untuk tersenyum, menarik bahu Jaehan, dan mencium pipinya, "Tidak, hyung. Jehyun berkata ingin bertemu."
"Dokter Jehyun?"
"Mm." Yechan memberi anggukan, "Dia mengundangku dan teman-teman untuk minum di rumah baru."
"Kenapa tidak mengajakku?"
"Hyung mau ikut?"
Jaehan menimbang, namun akhirnya hanya memberikan Yechan gelengan. "Aku sedang tidak ingin kemana-mana. Jadi, bisakah nanti kau jangan lama-lama di sana?"
"Tentu. Aku akan pulang sebelum jam 9 malam."
"Janji?"
Yechan tertawa, lalu mengulurkan jari kelingkingnya. Jaehan pun menyambutnya.
Namun, meski Yechan sudah berjanji, kenapa kegelisahan di hati Jaehan tak juga sirna?
*
*
*
Sementara itu di rumahnya, Hangyeom masih melakukan rutinitas seperti biasa. Yang berbeda hanya ia merasa kosong di dalam hatinya.
Saat bangun tidur, saat berangkat kerja, saat pulang ... tak seperti dulu, kini hanya ruang kosong dan hampa lah yang menyapa.
Tak ada lagi Jaehan yang menyambut kedatangannya.
Tak ada Jaehan yang memberikan senyum padanya.
Tak ada Jaehan yang berlari dan memeluknya.
Malam itu, Hangyeom sendirian lagi. Seperti malam-malam yang sudah ia lewati dengan gundah hati.
Ia lapar dan pergi ke dapur bermaksud untuk memasak. Tak banyak yang bisa ia lakukan karena sebelum menikah ia tinggal dengan orang tuanya, sementara setelah menikah ada Jaehan yang mengurusnya.
Saat memikirkan itu, Hangyeom terduduk dengan wajah yang ia kubur di lipatan lengan. Lapar di perutnya sudah hilang, terganti dengan isakan pelan.
Hangyeom merindukan Jaehan.
Katakan ia bodoh, tapi di lubuk hati, ia masih berharap bahwa Jaehan akan datang dan kembali padanya.
Ia masih menanti Jaehan datang dan memeluknya, berkata bahwa semua hanya mimpi belaka. Berkata bahwa mereka akan kembali bersama-sama.
"Jaehanie ..."
Yechan pernah ga sih bilang dia cinta sama Jaehan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Affair✅
FanfictionHangyeom adalah pria baik, namun sayangnya naif. Sementara Jaehan merasa Hangyeom tak cukup memberi sesuatu yang ia cari. Sesuatu yang Yechan miliki dan mampu pria itu beri.