Semakin hari perasaan gelisah yang mendera Jaehan semakin mengikis kepercayaannya pada Yechan.
Padahal jika dipikirkan lagi, Yechan tidak benar-benar menunjukkan sikap aneh dan mencurigakan. Pria itu masih manis seperti sebelumnya, masih memanjakannya, bahkan terlihat semakin memperhatikannya.
Semua kebutuhan Jaehan pun Yechan penuhi.
Memang tak pernah ada percakapan mengenai pernikahan ataupun komitmen yang lebih serius tentang bagaimana hubungan mereka ke depannya. Jaehan sendiri juga belum benar-benar bercerai dari Hangyeom. Setidaknya masih dalam proses, yang mana Jaehan tahu itu akan memakan waktu.
Mungkin karena itu juga Jaehan tidak berani untuk menuntut Yechan soal pernikahan.
Untuk sekarang, menahan perasaan adalah hal yang paling bisa Jaehan lakukan.
"Yechanie, bisa menjemputku sore nanti?"
Yechan yang tengah bersiap dengan kemejanya -dibantu oleh Jaehan- mengangguk. "Maaf karena kemarin terlambat menjemput. Kupikir rapat akan berlangsung dengan cepat, tapi rupanya memakan waktu yang lebih lama."
"Tidak apa-apa. Hanya memastikan saja, karena jika kau tidak bisa aku akan mencari taksi sebagai gantinya."
Sudah satu minggu ini Jaehan dengan keras kepala ingin kembali ke florist. Tentu saja, Yechan sempat melarangnya. Namun, Jaehan berkata jika ia bosan sendirian di rumah, setidaknya di florist ia memiliki teman bicara.
Yechan sebenarnya tahu maksud terselubung kekasihnya itu, karena itu ia tak banyak berbicara. Hanya berkata jika Jaehan harus tetap memperhatikan kondisi bayinya. Jika terjadi sesuatu atau merasakan sakit dan lelah, Jaehan harus segera menghubunginya.
"Daripada naik taksi, lebih baik kau menunggu saja di florist. Itu lebih aman untukmu, hyung."
"Tapi, kemarin aku sendirian."
"Aku akan bilang pada nuna untuk menemanimu sampa aku datang nanti. Hari ini aku akan tepat waktu, aku janji."
"Baiklah."
Yechan tersenyum, lalu mengajak Jaehan untuk sarapan. "Besok jadwalmu untuk ke dokter, 'kan?"
"Mm."
Sudah tujuh bulan jika perhitungan Jaehan benar. Artinya tinggal dua bulan lagi sebelum ia melahirkan. Nama sudah didapat, Yechan sendiri yang mengusulkannya. Jaehan tidak mempunyai ide, jadi biarkan nama dari ayah anaknya saja yang dipakai. Lagi pula, nama pemberian sang ayah akan lebih berkesan untuk anaknya kelak.
"Yechanie, jika proses perceraianku dengan Hangyeom selesai, apa kau berniat untuk menikah denganku?"
Yechan hidup lama di negara bebas, pernikahan bukan hal yang penting, sudah begitu usianya bisa dibilang masih sangat muda. Namun, Jaehan juga ingin mendapat kepastian bahwa Yechan hanya akan bersamanya.
Tangan Yechan terulur, mengusap pipi Jaehan sembari melempar senyum, "Kita akan bicarakan itu nanti."
Jaehan pun mengangguk, kembali duduk, dan menyantap sarapan paginya. Susah payah ia menelan. Suasana hatinya kembali berantakan hanya karena jawaban yang Yechan tuturkan.
Yechan diam-diam memperhatikan. Jelas tahu apa yang sedang Jaehan pikirkan.
Pria yang lebih muda darinya itupun mengembuskan napas pelan, "Baiklah, hyung. Jika kau memang ingin pernikahan, ayo kita lakukan. Tapi, aku tidak bisa mengundang banyak orang. Mungkin hanya yang terdekat saja. Bagaimana?"
Bukan masalah besar baginya, namun berdampak begitu hebat padan mood Jaehan. Ekspresi pria itu berubah riang. Dengan bahagia, Jaehan menghambur ke dalam pelukannya, menciumnya, dan berterima kasih padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Affair✅
FanfictionHangyeom adalah pria baik, namun sayangnya naif. Sementara Jaehan merasa Hangyeom tak cukup memberi sesuatu yang ia cari. Sesuatu yang Yechan miliki dan mampu pria itu beri.