FOURTH - JANJI

359 19 0
                                    

Jakarta, 2015.

            Untuk alasan yang dia tidak mengerti, Nayya merasa gelisah hari ini. Jika selama ini perempuan dengan rambut panjang itu senang dengan bunyi ombak yang mengalun merdu, senang dengan pemandangan langit senja yang tak pernah mengecewakan, namun tidak kali ini. Hal-hal berbau pantai tidak menarik minatnya lagi. Matanya terfokus pada satu arah tanpa teralih sedikitpun.

            Hanya satu objek.

            Benar, dia Nadir. Tidak masuk akal jika ia menjelaskan bahwa yang mengisi pikirannya hari ini hanya lelaki itu. Juga tidak masuk akal rasanya jika bola mata cokelat Nayya tak kunjung lelah menatap Nadir seharian seolah tak dapat melihat lelaki itu lagi selamanya.

            "Nay,"

            "Hmm,"

            Lelaki itu menegapkan tubuhnya, menatap Nayya dalam. "Nayya percaya sama Nadir?"

            "Tentu, hanya Nadir teman Nayya."

            Nadir tersenyum tipis mendengarnya, "Kenapa Nayya cuma mau berteman dengan Nadir?"

            "Nayya gak butuh apapun lagi. Nayya punya Nadir, rasanya punya sahabat seperti Nadir sudah lebih dari cukup untuk Nayya."

            "Bagaimana kalau Nadir gak ada?"

            Nayya tak bergeming, matanya memerah dengan spontan. "Nadir mau pergi?" tanyanya dengan suara sendu.

            "Nadir cuma bertanya, bagaimana kalau misalnya Nadir pergi? Nayya akan kesepian karena gak punya teman selain Nadir."

            Perempuan itu menggelengkan kepalanya, "Nayya gak bakal kesepian, kan ada Nadir." Nayya menjeda sebentar perkataannya, "Jadi, jangan pergi kemanapun, ya?"

            Dengan ragu Nadir menggerakkan kepalanya naik turun.

***

            Barangkali memang benar adanya siklus kehidupan itu seperti sihir. Pernah suatu ketika Nayya dihadapkan pada satu fase kehidupan yang membawanya ke awang-awang namun berakhir dengan dirinya terhempas. Seperti ketika dirinya dipertemukan dengan Nadir namun tak berlangsung lama, kebahagiaannya dicuri oleh takdir.

            Nayya pikir takdir tidak sejahat itu merebut orang-orang terdekatnya untuk hilang tanpa jejak, lagi.

            Hari itu dirinya memantapkan hati. Meski takdir dengan sekuat itu menarik pergi bahagianya seharusnya Nayya dengan sekuat hati bisa mempetahankan Nadir untuk tetap tinggal.

            Karena semuanya berjalan dengan baik, sampai suatu hari Nayya mendengar percakapan Ibu Ayu dan Mama Rina. Mama Rina bilang dia ingin mengangkat Nadir menjadi anaknya, insting dan naluri Nayya bekerja dengan baik. Itu berarti bahwa dirinya akan berpisah dengan lelaki itu.

            Nayya menguatkan hatinya, memupuk rasa percayanya bahwa Nadir tidak akan pernah mengingkari janjinya.

            Bahwa, Nadir tidak akan pernah mengecewakannya

            Bahwa, Nadir tidak akan pernah meninggalkannya.

            "Nadir gak akan pergi, kan?" Nayya berucap dengan pelan, nyaris mencicit. Setelah itu detik-detik terlama untuk Nayya menunggu jawaban dari lelaki di hadapannya.

            Nadir enggan menatapnya, dan dengan ragu mengangkat suara, "Maaf, Nay!"

            Nadir enggan menatapnya, dan dengan ragu mengangkat suara, "Maaf, Nay!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

            Nayya nyaris kehilangan keseimbangan. "Ma-maksudnya?"

            Tanpa sadar dirinya menahan napas menunggu jawaban dari Nadir. Lelaki itu tetap tak mau menatapnya, seolah enggan menatap mata indah Nayya terhalang oleh lapisan bening yang siap meluncur.

 Lelaki itu tetap tak mau menatapnya, seolah enggan menatap mata indah Nayya terhalang oleh lapisan bening yang siap meluncur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

            "Nadir akan diangkat anak oleh Mama Rina, Nadir akan mempunyai orang tua. Maaf, Nay."

            Rasanya seperti ada jutaan tombak menghantam tubuhnya bersamaan. Nayya kehilangan kata-kata. Tenggorokannya terasa kering dan ia tidak mampu menelan ludahnya membasahi kerongkongan. Spontan lapisan bening itu mengalir dengan deras membasahi pipi.

            "Nadir bercanda? Nayya tahu, itu hanya akal-akalan Nadir karena Nayya sudah menjadi anak yang nakal."

            "Kalau memang begitu, Nadir berhasil. Tolong katakan Nadir gak akan pergi!!!"

            Nadir menghela napas panjang. "Maaf Nay, Nadir serius."

            Tidak bisa, Nadir tidak bisa pergi dari hidupnya, sejak dulu dan hingga saat ini dia adalah roda bagi kehidupan Nayya.  Menjelma menjadi sosok yang berharga.

            "Nayya minta maaf kalau punya salah, Nayya bersalah. Maafin Nayya, Nad." Tangisan Nayya pecah, dia menangis dengan keras hingga tangisannya menggema.

            Nadir yang melihatnya hanya diam, tanpa tahu bahwa sebenarnya lelaki itu tengah menahan dirinya untuk tidak menangis juga. Dia ingin egois, kali ini dia ingin menjadi manusia egois.

            Terkadang manusia hanya perlu memikirkan dirinya sendiri, kan?

            Nayya menggigit bibir bawahnya dengan kuat, nyaris mengeluarkan darah sangking kuatnya. "Nayya mohon-," ujarnya lirih, "Jangan pergi, Nad!"

            Lelaki itu tetap bersikukuh dan menggeleng dengan pelan, matanya berkaca-kaca menahan tangis. "Nadir gak bisa."

            Nayya semakin panik mendengar jawabannya. Kerigat dingin mulai membasahi pelipisnya. Perempuan itu meremas ujung rok ungunya dengan kuat.

            "Kenapa? Nadir sudah janji gak akan pergi."

            Pada detik di mana dunia Nayya berubah hancur, Nadir mendekat lalu memeluknya erat. Erat sekali. "Nadir ingin merasakan bagaimana memiliki orang tua. Cuma sebentar Nay, Nayya bisa tunggu Nadir, kan?"

Kekuatan pada remasan roknya bertambah, ia berusaha sekuat mungkin menyalurkan rasa sesak yang berdatangan menghunus ulu hatinya.

***

UNDERCOVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang