Chapter • 18

182 16 4
                                    

Dengan berjalan tertatih, Annchi keluar kamar untuk menuju ruang tengah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dengan berjalan tertatih, Annchi keluar kamar untuk menuju ruang tengah. Kenapa vila sepi sekali? Ke mana teman-temannya?

Daka dan Kyra sepertinya belum juga pulang dilihat dari mobil Daka yang belum terlihat di area parkir saat Annchi dan Mada akhirnya pulang. Padahal, hari sudah gelap. Kalau Hanin sedang mandi di kamar. Karena bosan, setelah membersihkan diri dengan susah payah karena harus sambil duduk, Annchi memutuskan keluar.

Kakinya sudah bisa dia gunakan untuk berjalan meski masih sedikit nyeri. Kecelakaannya tidak terlalu parah, jadi sepertinya tidak harus ke dokter. Meski begitu, seharusnya dia belum boleh banyak bergerak. Tapi, dia bosan hanya tidur-tiduran saja di kamar. Keluar, ternyata malah tidak ada siapa-siapa.

Selain bosan, Annchi juga merasakan cacing di perutnya meronta meminta makan. Sudah waktunya makan malam, tapi Daka dan Kyra yang ditugaskan membeli bahan makanan belum juga datang. Sebenarnya, mereka ke mana? Apa Daka mengajak gebetannya berkeliling dulu?

Sebenarnya itu bukan urusannya. Urusannya hanya makanan yang mereka bawa.

Beruntung saat dia sampai di ruang tengah, sekeranjang buah tergeletak di atas meja. Dia bisa mengganjal perutnya dengan satu buah apel merah yang terlihat menggiurkan.

Sambil menikmati daging buah apel yang perlahan larut di dalam mulutnya, Annchi menatap sekitar. Vila ini memang luas. Semakin terasa luas saat dia duduk sendirian di tengah-tengah ruangan seperti ini.

Sepi.

Sama seperti sepi yang dia rasakan di rumahnya.

Bedanya, kalau di sini dia bisa langsung menatap pemandangan laut lepas di halaman belakang. Tidak terlalu sesak.

Dia juga tidak perlu khawatir sepi ini akan berangsur lama, karena tahu rumah ini akan ramai beberapa saat kemudian setelah semua temannya berkumpul.

“Ehem.”

Suara deheman mengaburkan lamunannya. Dia memang berharap seseorang akan datang menemaninya di sini, Hanin misalnya. Atau siapapun. Mada pun tidak apa-apa.

Asal jangan Adelio.

Dia belum ingin berbicara dengan lelaki itu sejak ucapan menusuknya beberapa hari lalu. Apalagi setelah dia ciuman dengan Mada di depan mata semua orang. Annchi belum siap mendengar penghakiman Adelio lainnya karena ulahnya itu, yang mungkin akan semakin menguatkan penilaian Adelio soal dirinya yang menganggap gaya pacarannya terlalu agresif.

Sepertinya, dia harus pergi saja.

Annchi jadi menyesali keputusannya keluar kamar. Tahu begitu biar saja dia rebahan di atas kasur sampai bosan. Setidaknya sampai Hanin selesai mandi, lalu mereka bisa keluar bersama. Bukan sendirian seperti ini hingga dia terjebak bersama Adelio.

“Ann, gue mau ngomong. Tolong, dengerin gue dulu.” Adelio menahannya saat tahu Annchi akan pergi. “Gue nggak tau kapan lagi bisa ngomong sama lo, sementara lo terus cuekin semua telepon dan chat dari gue.”

Revenge Partner • 97LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang