30 || Gadis Malang

161 27 4
                                    

Berdiri di tengah-tengah panggung sekaligus menjadi pemeran dalam drama sekolah bukanlah hal yang pernah Fath bayangkan.

Dia memandang setiap sudut gedung teater. Sangat besar dengan hiasan meriah di mana-mana. Di sebelah-tak jauh dari tempatnya-Qilla masih repot dengan berbagai kain dan kostum. Sebaliknya, Fath hanya diam berdiri dan tak tahu harus berbuat apa sebelum ada seseorang yang mengarahkannya.

Sesekali ia melirik kertas kecil bertulis tinta biru di tangannya. Dia teringat pesan Aiza sebelum ke sana. Walaupun ia yakin pelakunya bukanlah Qilla, tetapi dia tetap ingin memastikannya.

Qilla menghampiri Fath dengan membawa beberapa kain. Tubuh pemuda itu seketika menegap saat Qilla mulai menyejajarkan jubah-jubah tersebut ke bahunya dari belakang.

Merasa Qilla agak kesulitan, Fath inisiatif menekuk lututnya dan membuat tubuhnya lebih pendek. Dia mendapat ucapan Terima kasih dari Qilla saat itu juga.

"Sepertinya ini lebih cocok." Qilla bermonolog kemudian kembali meletakkan jubah itu ke tempatnya.

Momen barusan merupakan keadaan syok yang kesekian kali bagi Fath sejak tadi pagi buta mendapat pesan dari Qilla untuk mulai berlatih. Aku harap aku tidak pingsan hari ini, batinnya.

"Oke, mari kita lihat kemampuanmu," ujar Qilla selepas memberikan sejumlah kertas. "Pertama, aku ingin dengar intonasimu saat berbicara."

Fath menilik naskah itu sebentar. Terlihat beberapa dialog yang sudah diberi tanda khusus untuk bagiannya.

Qilla beranjak turun dari panggung untuk menuju ke depan kursi penonton. "Di sini kau berperan sebagai pangeran yang akan diasingkan ke negeri tetangga. Kau cukup menghafal bagian pidatomu saat pangeran akan pamit kepada rakyatnya."

Tangan Fath mulai bergetar. Matanya melirik ke arah bangku penonton. Meskipun tak ada yang benar-benar menontonnya berlatih, kecuali Qilla, tapi ia mulai membayangkan bila kursi-kursi meninggi itu di penuhi orang-orang.

Gadis berambut sebahu itu mulai memberi aba-aba.

Fath mengatur pernapasannya sebentar dan mulai berbicara. "Perjalanan ini akan mengajarkanku banyak hal. Pendewasaan akan kujalani seiring langkahku. Di luar sana, aku akan bertemu banyak guru. Yakinlah, aku akan kembali dengan sosok yang lebih baik. Sosok yang benar-benar pantas dan siap menjadi pemimpin negeri ini!"

Qilla terdiam tanpa reaksi. Fath justru menafsirkan itu sebagai tanda ketidakpuasan. "Maaf, aku tidak berpengalam-"

Suara tepukan menyela ucapan Fath. Orang-orang di sekitar panggung termasuk para penata set pun ikut memberikan tepuk tangan. Fath sedikit kebingungan dan hanya cengar-cengir.

Qilla kembali berseru kagum. "Fath, kenapa aku baru menemukanmu sekarang? Ini baru percobaan pertama, dan kau melakukan dengan baik."

Fath merasa tubuhnya akan melayang. "Terima kasih," katanya ditutup senyum canggung.

Sejujurnya Fath juga tak menyangka dia bisa melakukannya dengan semulus itu. Padahal dia hanya membaca dialognya. Setelah kekecewaan berlarut-larut karena tidak diterima sebagai pemain utama Noesabaraya, kini Fath justru merasa telah menemukan bakat terpendamnya selama ini.

Di tengah sanjungan itu, Fath melihat lagi naskahnya dan tersadar dengan tujuan utamanya. "Emm ... Qilla. Bisakah kau menulis ulang tanda yang mana saja dialog milikku. Tanda di sini agak membuatku ragu."

"Oke, tidak masalah."

Mereka saling mendekat ke tepi panggung. Padahal banyak anggota drama lain yang berada di dalam gedung teater itu, tapi entah kenapa Fath merasa hanya ada mereka berdua di sana. Setelah memberi teks naskahnya, Fath lantas duduk di bibir panggung untuk menatap Qilla lebih dekat saat gadis itu mulai fokus menandai. Cantik.

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang