21

225 29 3
                                    

"Aku tidak lagi mengharapkan kesetiaan, hanya kehadiran."

Yechan menunduk, mata mengarah ke arah tangannya yang begitu erat  menggenggam. Tangan itu dingin, begitupun ekspresi yang Jaehan tujukan padanya. Kata maaf berulang kali terlontar, namun masih diacuhkan. Ia masih diabaikan.

"Bisakah kau melakukannya? Tidak untukku, tapi untuk anakku."

Tidak ada lagi kata kita, hanya ada kau, dan aku. Dua orang yang saling mengenal, saling mencintai -setidaknya Jaehan menganggap demikian.  Namun, di tengah  semua rasa, mereka saling menyakiti juga pada akhirnya.

"Maafkan aku." Lagi, Yechan mengatakan hal itu sekali lagi.

Jaehan memalingkan wajah, "Simpan kalimat itu untuk anakmu."

Sakit sebenarnya Jaehan mengatakan itu.

Menyembunyikan semua perasaan, Jaehan bergegas. Meski belum sepenuhnya pulih, namun ia berusaha untuk segera tiba di rumah.

Bayinya sudah pulang lebih dulu bersama kakek dan neneknya. Sementara dirinya memutuskan untuk berbicara dengan Yechan.

Namun, rasa sakit yang lain ternyata sudah menunggu. Di dekat mobil mereka, Jehyun berdiri menatapnya. Mata teduh penuh kasih yang pernah dilihatnya kini tak ada lagi. Hanya ada tatapan tajam penuh rasa benci.

Semua ditujukan padanya, hanya untuknya.

Jaehan menghentikan langkah. Anehnya, kenapa ia tidak bisa membenci orang ini? Kenapa ia tidak bisa membenci orang-orang yang sudah menyakiti hatinya sedalam ini?

Jadi, apa ini yang dirasakan oleh Hangyeom padanya?

Jaehan menggigit bibir, hatinya seperti teriris, semakin ingin menangis saat melihat Yechan yang berjalan menghampiri.

"Ada apa, Jehyun-ah?"

Jaehan bisa mendengar suara Yechan yang bertanya dengan lembutnya.

Jehyun menggeleng, hanya dengan sengaja memeluk Yechan di depan matanya. Berkata bahwa ini untuk terakhir kali, karena ia akan pergi.

Mendapat pelukan tiba-tiba, Yechan tidak bisa menghindari. Hanya mata yang berusaha menjelaskan bahwa ini bukanlah apa yang seperti Jaehan pikirkan. Akan tetapi, rupanya Jaehan menolak untuk melihat dan memilih memalingkan muka.

Dalam pelukan yang tak kunjung terlepas, Yechan bertanya kemana Jehyun akan pergi. Hanya saja, tak ada jawaban yang berarti. Pria pemilik mata kucing yang pernah menemani hari-harinya selama ini pun hanya tersenyum dan memintanya untuk berhati-hati.

"Jangan sampai kau mati sebelum aku kembali," ucapnya dengan senyum tipis yang terpatri.

Dengan nasihat itu Jehyun melepas pelukannya, berjalan ke arah Jaehan, dan melewatinya tanpa menyapa sama sekali. Bahkan tak ada kata maaf yang terlontar dari bibirnya untuk Jaehan sampai detik ini.

Tak peduli, meski rasanya sakit sekali, Jaehan meminta Yechan untuk segera membukakan pintu mobil. Seperti kebiasaannya, ia enggan memakai seatbelt. Bahkan meski Yechan berusaha untuk memakaikan, Jaehan menolak dengan sebuah tepisan tanpa keraguan.

"Jangan menyentuhku."

Yechan mengembuskan napas pelan.

"Maafkan aku soal tadi. Jehyun hanya ingin pamit. Dia berkata akan pergi."

Jaehan berpaling, menatap jauh ke luar jendela. Dengan dingin ia berkata, "Itu bukan urusanku."

"Jaehanie-"

"BERHENTI MEMANGGIL NAMAKU, BAJINGAN!"

Jaehan berteriak. Untuk pertama kalinya, Yechan mendengar teriakan Jaehan padanya. Membuatnya tersentak, tapi juga semakin menyadarkannya akan sesuatu ... kehadiran Jehyun tadi mungkin menjadi pemicu.

Amarah juga dendam yang selama ini Jaehan pendam, semua keluar begitu melihat Jehyun datang.

Yechan pun akhirnya memilih diam. Tahu bahwa kata maaf tak ada lagi artinya. Hubungan mereka bahkan tak lagi sama.

Keheningan melingkupi keduanya. Dalam diam, Yechan mencuri pandang ke arah Jaehan yang sesekali mengusap air mata.

Jaehan sudah lebih dari sehat sebenarnya, hanya tinggal memulihkan luka jahitan saja. Dalam hati Yechan berjanji akan merawatnya sepenuh hati. Tak ada ingkar janji lagi. Ia harus menggunakan kesempatan kedua ini dengan baik.

Yechan mencoba mengulurkan tangan, hampir menyentuh pipi Jaehan yang basah. Namun, semua itu hanya tinggal angan saat mobil mereka tiba di tikungan. Dari arah berlawanan ada sebuah mobil yang menabrak mereka dengan begitu kerasnya.

Saat itu, di ambang ketidak-sadaran, Yechan hanya bisa melihat Jaehan yang sudah memejamkan mata dengan kepala dan tubuh yang berlumuran darah.

Yechan ingin meraih, namun seolah tenaganya terserap habis. Bahkan hanya untuk memanggil nama Jaehan pun ia tak sanggup lagi.

Mungkin ini akan menjadi yang terakhir kali, karena itu Yechan berharap Jaehan bisa mendengar suara terdalam dari lubuk hatinya. Ungkapan tulus yang selalu ingin ia ucapkan, di setiap saat, di setiap waktu ...

"Kim Jaehan, aku ... sungguh mencintaimu. Maafkan aku ...."



"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Affair✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang