Mari bersama-sama mengucap syukur, karena hari ini resmi ujian tengah semester berakhir. Tidak ada tugas menanti. Setidaknya aku bisa tenang untuk beberapa hari. Saat tengah berbaring, dering ponselku berbunyi.
"Gimana tadi ujiannya?" tanya Aksa dari seberang sana.
"Hmm...menjalankan konsep datang, kerjakan, lupakan," jawabku sambil tersenyum malu. Iya, aku malu karena kebodohanku nampak sekali.
"Sama, kok." Entah mengapa aku bisa menangkap nada menenangkan dari kalimat Aksa. Aku tidak tahu apakah yang dikatakan benar atau hanya agar aku ada teman.
"Bohong," tuduhku.
Aksa hanya terkekeh tidak menjawab. "Besok ada acara?"
Dahiku mengerut. "Enggak, sih. Kenapa?"
"Tapi kayanya enak ngomong langsung, deh." Ada jeda sebentar sebelum Aksa melanjutkan, "Udah makan?"
Pertanyaan Aksa membuat sensor yang ada di perutku seperti dibangunkan mendadak. "Belum."
"Makan, yuk? Aku jemput, ya?" tawar Aksa yang kesannya sudah pasti akan mendapatkan lampu hijau dari aku. Namun, memang dia tidak salah.
"Oke." Aku menangguk, meskipun Aksa tidak bisa melihatku.
"Oke." Aksa memutuskan sambungan telepon.
Kalau hitungannya dari awal aku orientasi, berarti sudah sekitar dua bulan aku dekat dengan Aksa.
Aku melapisi baju tidurku dengan sweater hitam. Sebentar aku bimbang, apakah harus mengganti celana tidurku atau tidak. Hingga akhirnya satu menit kemudian, aku memutuskan untuk tetap memakainya. Untung saja aku saat ini sedang memakai piyama polos berwarna navy, bukan yang bergambar teddy bear. Aku mengikat rambut panjangku. Menyemprotkan sedikit parfum, aku sudah siap.
Meskipun baru dua bulan kami dekat, tapi aku seperti sudah terlalu nyaman dengan kehadirannya. Ini memalukan, tapi kuberitahu, aku bahkan sudah pernah kentut ketika bersama dengan Aksa. Mungkin sifat cueknya sudah terlalu akut, sehingga hal tersebut tidak mengganggunya atau membuatnya ilfeel.
Aksara
depan
Membaca pesannya, aku langsung keluar. Mengenakan sepatu sandal dan menyambar helm yang ada di atas rak sepatu, lalu menuruni tangga dari lantai dua.
"Mau apa?" tanya Aksa saat aku telah berjarak satu langkah darinya.
Aku mengenakan helm sambil berjalan ke jok belakang. "Penyet?"
"Oke." Aksa mengangguk samar.
Setelah aku membenarkan posisi boncengan, Aksa langsung tancap gas menuju tempat penyetan langganan kami di Jalan Magelang—alias Jamal kalau kata orang Jogja.
"Biasa, ya, Bu." Aku memesan kepada Ibu Penjual yang sudah menghafal kami, sedangkan Aksa mencari tempat duduk yang kosong.
Lokasi tepatnya berada di pinggir jalan dengan tenda khas penyetan, lengkap dengan banner khas bergambar ayam, lele, tahu, tempe, dan sejenisnya.
"Nggih, Mbak," balas Ibu Penjual yang masih sibuk menggoreng ayam.
Aku celingukan sebentar sampai menemukan Aksa yang duduk di depan toko tutup sedang melambaikan tangannya. Aku menghampiri dan mengambil tempat duduk di depannya.
"Mau ngomong apa memangnya? Serius banget?" tanyaku sambil membenarkan ikatan rambut yang mengendur akibat memakai helm.
Aksa tersenyum datar dan menggeleng. "Nggak juga, sih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mysteriously Matched
RomanceRegen tidak suka sesuatu hal yang rumit. Akan tetapi, seakarang ini ia dihadapkan dengan persimpangan; masa lalu yang muncul kembali tanpa aba-aba, masa depan yang terlalu menggoda untuk dilewatkan, dan seorang anonim yang mampu mengalihkan perhatia...