Hitam dan putih, Wen merasa pusing luar biasa, seakan-akan jika dia tidak memegang sesuatu di dekatnya untuk memertahankan posisi, dia bisa jatuh ke lantai.
"Duh, kepala kenapa, sih? Pake acara pusing segala," keluh Wen sambil memijat dahinya.
Butuh waktu beberapa lama hingga dia sadar dia ada di ruangan serba putih. Sunyi, hanya ada dia di tempat aneh ini.
"Hah? Ini di mana? Kok sepi gini?" ujarnya mempertanyakan situasi.
Cukup lama hingga seseorang datang dengan tatapan sendu. Dia gadis yang Wen kenal baik sejak dini, mereka terlampau sering bermain bersama hingga Amerta datang dan menyita waktunya lebih banyak.
Gadis dengan rambut kusut, mata memerah, kantong mata hitam yang semakin melebar, jerawat kecil mulai muncul di dagu dan pipi, serta hidung yang memerah.
"Loh? Natha? Kok kamu kayak orang depresi gitu?"
Wen terus mencoba mengejar Natha, tapi semua percuma. Matanya membola ketika menyadari dia tembus pandang.
Natha menemui dua orang yang dia sayangi, ada Elano juga di samping dia.
Natha berlutut di hadapan Dandy dan Airine. Wajah Airine tidak jauh beda dengan Natha, terlihat tidak terurus dan menyedihkan.
"Hah? Kamu ngapain woy?" sahut Wen sambil berupaya memegang lengan Natha, tapi lagi-lagi percuma. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain mengamati.
"Tante, ini salah Natha. Ini salah Natha. Kalau aja Natha nggak tunjukin kebersamaan tante dengan papa, pasti semua akan baik-baik aja," ujarnya penuh penyesalan.
"Hah? Papa? Maksudmu Elano?" sahut Wen lagi. Wajahnya memucat, dia segera melihat ekspresi Airine, Dandy dan Elano. Namun, dia tidak melihat adanya bantahan dari ketiga orang dewasa ini.
"M-maksudmu? Om Elano dan mama ada hubungan?" ujarnya perlahan. Telapak tangan menutup mulutnya perlahan, tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
Airine memijat keningnya kuat, air matanya terus mengalir.
"Kenapa kamu lakuin itu? Kamu tahu, Wen have no idea about me and your father. He does not know our shit relationship, Natha! How dare you do as you want. How dare you!" Airine terus mengumpat dan memegang kedua bahu Natha sekencang mungkin.
Kalau tidak ada Dandy dan Elano mungkin Airine bisa melakukan lebih dari ini, melampiaskan amarah yang dia pendam kepada gadis ini. Airine tidak akan pernah marah ke Elano, sebaliknya dia lampiaskan semua ke Natha.
"Airine, Natha kesakitan nanti. Jangan gitu," ujar Dandy iba.
Seringai terlihat di wajah Airine, menyadari dia tidak pernah ada dalam daftar orang yang akan dia bela.
"Oh, gitu? Masih aja belain anak orang? Ngaku aja deh, karena anak sialan ini masih ada hubungan keluarga sama wanita brengsek itu, kan? Wanita yang selamanya ada di dalam hatimu. Brengsek kamu, Dandy," umpatnya lagi.
Wajah Dandy memerah, tentu saja karena menahan amarah. Dia benci melihat penindasan, apalagi hal ini dilakukan oleh istri sahnya sendiri, orang yang dia kenal cukup lama.
"Kamu kenapa, sih? Aku sudah lama lupakan Clairine, aku mau perbaiki semua ini, tapi aku udah terlambat. Kamu mau balik sama Elano, kan? Aku ikhlasin, supaya kamu bahagia, Airine. Buat kamu bukan buat aku."
Gelak tawa terdengar dari bibir ranum Airine. "Masa, sih? Bukannya kamu bahagia karena nggak terikat lagi dengan wanita gila macam aku? Wanita nggak becus yang memilih selingkuh, biarin suami sahnya gagal move on dari teman lama katanya. Sialnya, anakku satu-satunya malah berjuang hidup dan mati di dalam karena cewek brengsek yang masih ada hubungan kekeluargaan sama wanita sialan yang udah rebut hati kamu!"
Napas mereka memburu, mereka saling beradu pandang dengan kilat mata penuh amarah.
"Kepala batu kamu. Udah kubilang kalau aku sudah lama lupaim Clairine, kamu kira semudah itu buat lupain dia? Terus apa bedanya sama kamu yang masih cinta sama Elano, teman baik aku, padahal kamu masih berstatus istri sahku. Gimana, hah?"
Intonasinya semakin tinggi, napas yang memburu, wajah memerah dan perkataan pedas terus berhamburan. Elano terus mengepalkan tangan, dia benci anaknya dicaci maki di depannya. Namun, dia sudah berjanji dengan Natha untuk berpura-pura menjadi orang asing yang duduk di dekat mereka, hanya mengamati tidak ikut campur hingga dia ijinkan.
"Tante, om, Natha bener-bener menyesal. Natha ngerasa Wen perlu tahu kebenarannya dan saat itu dia bisa aja ngelihat kebersamaan tante dan papa. Cepat atau lambat dia akan tahu," tuturnya dengan badan lemas dan kepala yang terasa berat.
Airine baru saja mau bersuara, tapi sudah didahului Dandy. "Nak Natha, sudahlah. Mungkin memang ini caranya biar Wen tahu. Dia anak yang kuat, om harap dia bisa hadapi ini dengan kepala dingin. Tolong temani dia, ya, Nak. Dia butuh kamu."
Airine mendelik kesal, "Dia sudah buat anakku kritis, kamu mau dia dekat dengan Wen? Gila kamu, ya?" sentaknya lagi.
"Sst! Udah diem. Kamu pikirkan dulu soal hubunganmu sama Elano mau lanjut atau nggak. Kedua, kita harus segera dapatkan pendonor ginjal, kamu yang paling tahu soal kondisi dia, kan?"
Natha menatap kedua orang ini dengan mata berbinar-binar.
"Ah iya. Natha bisa jadi pendonor untuk Wen. Biar Natha aja."
Baik Dandy, Airine maupun Wen terkejut mendengarnya.
"Hah? Gila kamu?" sentak Wen kesal, tapi dia tidak punya hak atas keputusan Natha. Lagipula, dia hanya bisa menjadi penonton di sini.
"Natha, jadi pendonor ginjal ini tidak semudah itu. Ada prosedur yang harus dilaui. Natha tahu, kan?" tanya Dandy hati-hati.
"Ya udah sih, kalau dia mau kenapa harus kita nasehatin? Bagus, dong. Anak sendiri dapat donor ginjal setelah sekian purnama. Kenapa malah mau nolak gini?" sahutnya lagi.
"Ck. Diem udah diem," balasnya lagi.
Dandy beralih ke Natha, wajah kusutnya sudah cukup meyakinkannya kalau Wen berarti lebih dalam hidupnya.
"Elano tahu soal in8?"
Natha mengangguk, tahu om. Papa udah setuju, aku bisa sampaikan ini karena sudah dapat persetujuan juga dari papa."
Wen meremas rambutnya kasar, dia benci tidak bisa berbuat apa-apa seperti ini.
"Natha sinting! Aku emang nggak mau ambil donor dari keluarga, tapi bukan dari kamu juga!" pekilnya mencak-mencak.
Wen langsung mendekat ke arah Dandy. "Pa, Wen mohon. Wen mohon, jangan setuju dengan permintaan Natha. Dia tidak pikir panjang, pa. Wen mohon, biarin aja Wen berjuang, pa."
Wen langsung mendekat ke arah Airine. "Ma, Wen memang benci sama mama karena mama main api dengan om Elano, orang yang Wen kagumi. Wen benci mama," bisiknya sambil menagis.
"Nak Natha, kita bisa bicarakan ini di ruangan dokter. Kalau memang bisa, dan Elano setuju. Om ngga bisa ngapa-ngapain. Itu dokternya sudah menuju ke sini, tadi udah janjian buat ketemunya jam segini. No need to worry."
Natha mengelap air matanya dengan sapu tangan pemberian Wen dulu, binar di matanya perlahan kembali, harapan untuknya melihat Wen bahagia dengan kedua orang tuanya semakin nyata.
Mungkin hari ini masih berantem, tapi bisa saja mereka berbaikan dan berteman baik, kembali menjadi pasangan yang utuh seperti dulu.
Wen mengejar langkah Airine, Dandy dan Natha bersama dengan dokter penanggung jawab Wen.
"Dok! Jangan setuju, dok!" teriaknya sekuat tenaga. Sayangnya semua hilang, tersisa dia dan ruangan serba putih. "Sial," umpatnya sebelum semua menjadi gelap.
-Bersambung-
Jumlah kata 1117
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wish- TAMAT
RomanceWen Sidharta hanya ingin mati.Hidup pun percuma, tiap hari Ayahnya semakin tidak tahu diri menyakiti hati ibu. Dia tidak pernah melupakan cinta pertamanya, meninggalkan Wen dan ibu hidup berdua hingga tetangga barunya datang, Natha Maheswari. Berdua...