Avarice hoards itself poor; charity gives itself rich

8 0 0
                                    

Derap langkah kaki yang berat memecah keheningan terungku yang senyap dan gelita. Kedua netranya tetap terpaku ke bawah. Hingga sepasang combat boots terangkap dalam pandangannya dari balik jeruji besi, barulah kepalanya mengadah ke atas. Netranya yang menatap nyalang bertubruk dengan sepasang obsidian yang lebih dulu menatapnya, penat terpatri jelas pada gurat wajahnya. Meski begitu, sirat tajamnya tak juga goyah. Justru, seringai sarkastik menarik satu ujung bibirnya. Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali dirinya bertemu sosok lelaki paruh baya dihadapannya. “Hei, Pak Tua. Jadi, ini tempat dimana sang Ratu menyimpan mangsanya saat lapar? Fancy.” Cengirnya.

Yang dipanggil menghela napas lelah. Mengabaikan dirinya, lelaki itu menggerogoh sakunya, meraih sebuah kunci. “Aku akan mengeluarkanmu dari sini, Ellie.” Satu alisnya terangkat sebagai respons, dengan intensitas tinggi memperhatikan saat lelaki itu berkutat dengan kuncinya. “The Queen’s expectin’ you, you’re lucky I’m the one being asked to bring you to her.” Suara kasarnya menggema, disusul oleh besi yang berdenting saat ditariknya jeruji besi terbuka. “Up, now.” Perintahnya. Ellie mendengus kesal, memaksa dirinya berdiri, lantas berusaha mempertahankan ekspresi netralnya saat ruangan dipijakannya terasa berputar. Entah berapa lama sudah dirinya disekap dibawah sini, tanpa minum dan makan.

Disodorkannya kedua pergelangan tangannya, hanya untuk tubuhnya diputar balik dengan cepat dan klik, kedua tangannya terborgol. Ia membiarkan dirinya ditarik dengan paksa keluar dari jeruji dan menuju koridor remang. “Seingatku, aku tak ada melakukan tindak kriminal. Lantas, mengapa wanita tua yang serakah itu menempel wajahku diseluruh penjuru kota sebagai buron, Max? Apa beliau akhirnya kehabisan stok makanan?” Ellie bertanya, lantas berusaha mengimbangi langkah yang lebih tua dan mengabaikan dirinya yang rasanya siap tumbang kapan saja. Max bergeming. “Kau tidak pernah menunjukkan batang hidungmu sejak penguburan ayahku. I’m still here, y’know, all alive and well. And I’m way funnier than your boring and very much dead buddy. Aku sangat kesepian, tahu, hidup sebatang kara.” Pancingnya. Hening. Ellie mendongak lantaran Max yang tiba-tiba tidak responsif, raut wajah laki-laki tua itu sulit dibaca. Namun, bagaimana Max mengatup rahangnya dengan terlalu kuat tidak luput dari observasinya.

Kesunyian membawa mereka dihadapan pintu tinggi dengan ukiran kuno. “Don’t try and do anythin’ stupid, ya hear me, brat?” Peringatnya, suaranya terdengar sedikit tegang. Satu kepal tangannya dibawa ke atas seolah ia hendak mengetuk, mengambang diudara beberapa saat, Max terlihat ragu akan sesuatu. Dua ketuk dilayangkannya, memberitakan ketibaannya. Max melirik pendan peluru yang menggantung di leher gadis itu sekilas. Lalu, raut wajahnya yang berubah seperkian detik tidak terlewatkan oleh Ellie. Dan dengan itu, Max berbalik, meninggalkan Ellie yang menatap punggungnya menghilang terlahap kegelapan koridor.

Derit pintu terbuka dengan nyaring lantas mencuri atensi. Pandangan Ellie beralih pada pintu tua yang perlahan terbuka dengan sendirinya. Gadis itu lantas menahan napas tanpa sadar, menahan dirinya untuk tidak menggigil lantaran perbedaan dua atmosfer yang kontras. Kekehan merdu datang dari dalam, suaranya satu intonasi lebih rendah dari yang Ellie ingat. “Come on in, Callery.” Kata-kata itu dilanturkan bagai alunan siren, memikatnya masuk, mendekat. Mematikan. Penyandang satu-satunya marga Callery itu terpaku sesaat pada posisinya, kepalanya melengos ke samping. Dua kepal tangannya mengerat di kedua sisi tubuh. She doesn’t have anything valuable as a self-defense with her. Kecil kemungkinan dirinya bisa kembali melihat matahari terbit setelah ini. Dengan satu hembusan napas, ia melenggang masuk.

Cahaya rembulan menilik, birunya menembus kaca patri, mewarnai ruang bernuansa klasik kuno itu dengan ribuan rona dan corak. Pilar-pilar doric yang kokoh dan tidak luput dengan nilai estetisnya. Disana, takhta tua bertengger tegak. Seorang wanita jangkung diatasnya. Kulit porselinnya bersinar dibawah bulan, sepasang netra darahnya berkilau jauh lebih terang. Dua sudut bibirnya menyungging seringai lebar menyirat seribu makna, memamerkan sepasang dua taring panjang. Dagunya ditopang satu telapak tangan, cakar hitam panjang menekan pipi pucatnya. “Callery, I believe you have something of mine, I’d appreciate it if you to hand it back.” Dengan satu ayunan jemari panjangnya, borgol yang menjerat pergelangan tangannya hilang.

Dahinya lantas mengerut heran. Namun, ia lalu menangkap tatapan tajam sang Ratu ditujukan pada sesuatu yang bertengger di lehernya. Maka, dengan cepat ia membantah, “Ini milikku. Satu-satunya yang kupunya.” Sebelah tangannya meraih pendannya, menggenggamnya erat, dagunya terangkat dengan tegas. Kekehan remeh lolos diantara dua belah bibir merah gelap.

“Mendiang ayahmu memberinya padaku.” Ellie mendengus dalam hati. Omong kosong. “Anak pembangkang sepertimu tahu apa? Yang kau tahu hanya mengotori bloodline Callery. Menjadi peramu terpercaya kerajaanku menaikkan derajat keluargamu. Dan kau, memilih menjadi egois dan mempermalukan keluargamu untuk gelar Hunter. A merry band of rebels who are against my rules and hunt for my kinds.” Sang Ratu bangkit dari takhtanya, permata mahkotanya mengkilap indah.

“Aku memiliki hak untuk memilih jalan hidupku.” Jawabnya tegas. Satu hentak tangannya memutus liontinnya, mensejajarkannya dengan arah pandangnya. “It’s silver. Lay a hand on it and you’ll burn. Tentu ada alasan mengapa ia menyimpannya disini, atau mengapa ia tak memberinya padamu!”

Di detik setelahnya, sang Ratu hilang dari tempat berdirinya, lantas sarayu menggelitik tengkuknya. “You really are a Callery, after all. Stubborn, is what your family are. Kau bahkan tak tahu apa isinya, bukan? Keluargamu menyempurnakan ramuan itu, generasi ke generasi. But, I’m getting impatient.” Satu tangan pucat bertengger di bahu Ellie, mencekramnya erat. “Dan aku tidak suka orang-orang yang membantah. Maka, aku musnahkan mereka.” Belum sempat ia mencerna, sang Ratu menekannya hingga bersimpuh. Lambaian ayu tangannya memaku dirinya ditempat.

Ia lantas meraung marah, menerjang sekuat tenaga melawan beban tidak terlihat. “Kau! Kau yang melakukan segalanya! Kau ambil semuanya dariku!” Raungnya, pandangannya kian mengabur oleh air mata. “Apa lagi yang kau mau?! Semua kau sudah punya!” Dengan gerakan tiba-tiba, kepalanya terlempar kesamping, pipi kanannya merasa perih.

“Diam!” Sentak sang Ratu. Raut wajahnya mengeras, langkah panjang ia ambil menjauh darinya, liontin silver dalam genggaman. Tangannya melepuh. Wanita gila. Tawa lengkingnya memenuhi ruangan itu. “Tidak cukup. Tidak akan pernah. A mere mortal like you won’t understand!” Jemarinya menggenggam pendan pelurunya, ibu jarinya memutar puncuk pendan. Dentingan nyaring terdengar saat baja membuat kontak dengan lantai. Detik tidak pernah berjalan selambat ini bagi Ellie.

Kepala sang Ratu mengadah ke atas, surai platinumnya menjuntai indah, chandra menyinarinya saat satu, dua, tiga tetes jatuh diatas lidahnya. Dengan kedua mata telanjangnya pun Ellie saksikan sesaat setelah sang Ratu terdiam, lolongan pilu keluar dari tenggorokannya, tubuhnya memucat, gemelutuk terdengar bagai tulang diremukkan. Tubuhnya merapuh, butir debu mengelilinginya seraya dirinya melebur, hingga hilang, lenyap. Tamak membawanya pada kehancuran. Mahkotanya tergeletak dilantai menjadi satu-satunya bukti eksistensinya.

Avarice Hoards Itself PoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang