Bab 13

29 12 0
                                    

Malam menyapa hari. Rembulan hadir menggantikan sang surya untuk berjam-jam berikutnya di atas langit sana. Walau tak terik laksana mentari, temaram cahaya bulan nyatanya tetap mampu menggapai bumi manusia. Menyisipkan sinarnya pada sela-sela jendela kamar, menerangi sekitar oleh pijar lembut cahayanya.

Kyra termenung menatap langit dari jendela besar kamar tidurnya. Sejak satu jam yang lalu, gadis itu belum beranjak dari posisinya berawang-awang.

"Mbak..."

Hingga gadis itu dibuat tersentak oleh panggilan adik laki-lakinya.

"Iya, Im?"

"Di panggil Abi buat makan malam."

"Mbak nggak lapar."

"Abi tetap nyuruh Mbak Kyra turun."

"Kamu duluan aja, nanti Mbak nyusul."

"Nggak bisa! Aku diminta nunggu sampai Mbak mau ikut turun ke ruang makan."

Kyra berdecak gemas mendengar balasan keras kepala Ibrahim Widihartoyo. Dia tau, kalimat terakhir adiknya itu hanya bualan agar dia tetap ikut bersamanya sekarang.

Dan benar saja, Ibra refleks mengukir senyum sumringah melihat Kyra berbalik mengambil langkah melintasi pintu ganda bercat putih kamarnya tanpa membantah lagi.

Ibrahim—atau yang akrab di sapa Ibra adalah anak pertama Arkan-Lidya sekaligus putra sulung keluarga Widihartoyo yang terpaut lima tahun dari Kyra.

Arkan dan Lidya dikaruniai dua orang anak yang semuanya adalah laki-laki. Jika putra putra sulung mereka bernama Ibra, maka sang putra bungsu pun disematkan nama salah satu sosok Nabi utusan Allah. Ilyas Widihartoyo, seorang bocah laki-laki berusia sepuluh tahun—si bungsu hiperaktif yang amat dekat dengan kakak perempuannya, Kyra. Namun sebenarnya bukan hanya Ilyas, Kyra pun menjadi figur kakak kesayangan dari semua adik-adik sepupunya. Termasuk Ibra yang kini berjalan dengan antusias di samping Kyra.

"Mbak bakal berapa lama di rumah?"

"Nggak tau."

"Ibra punya banyak list pertanyaan buat Mbak! Mbak Kyra mau kan jawabin semua pertanyaan Ibra?!"

"InsyaAllah, Im."

"Mbak beneran nggak buru-buru pulang ke Bogor kayak dulu, kan? Mbak beneran full liburan di sini?"

"Mbak nggak tau."

"Kok nggak tau—"

"Mbak belum tau, Im." Kyra menyela cepat. "Mbak belum punya rencana apa-apa. Tapi selama Mbak di sini, Mbak bakal berusaha nurutin apa maunya kamu dan Ilyas. Jadi tolong berhenti nanya-nanya, oke? Kepala Mbak pusing dengernya."

"Maaf..." cicit Ibra perlahan.

Kyra menghembuskan napas kasar. Sedikit menyesal akan tindakannya yang menyahut keras pertanyaan sang adik.

"Mbak belum tau berapa lama liburan Mbak di sini, Im. Tapi Mbak janji, selama Mbak di rumah, Mbak bakal lakuin apapun yang kamu dan Ilyas minta. Selama Mbak bisa dan mampu." ujar Kyra lebih lunak ketika langkah kaki mereka memasuki ruang makan kediaman Widihartoyo.

Arkan—yang telah duduk manis di kursi meja makan mengernyitkan kedua alis melihat putra sulungnya berjalan menunduk dengan raut menyesal menatap sang kakak perempuan. "What happened, kids?" tanyanya penasaran

"Nggak apa-apa, Bi." balas Kyra tenang sembari mendudukkan dirinya pada kursi di samping Lidya.

"Ibra yang salah, Abi." remaja berusia itu menatap manik sang ayah. "Ibra bikin Mbak Kyra pusing sama pertanyaan menuntut Ibra." jelasnya singkat.

Di Penghujung Jalan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang