• cinta tanpa bilang

17 2 0
                                    

Namaku Hanin. Gadis 17 tahun, kelas 2 SMA.

Aku hanya seorang gadis biasa yang punya ketakutan besar perihal pernyataan cinta. Takut untuk melakukan itu, juga takut setiap kali mendapatkan itu. Kebisaanku hanya memendam tanpa menyatakan, juga memberi penolakan sebagai jawaban.

Hingga pada satu masa dalam hidupku, dua hal dalam satu ketakutan itu terjadi.

Sore itu, aku duduk sendirian di halte dekat sekolahku. Termenung memandangi jalanan yang sepi karena diguyur hujan. Sepi. Hanya ada beberapa pengendara motor dan mobil yang lewat. Aku terjebak hujan di sana saat perjalanan pulang dari sekolah.

Dengan hanya memakai seragam sekolah serta dilapisi blazer tipis berwarna hitam jelas tak cukup mampu manahan dinginnya cuaca.

Aku mengusap-usap lenganku karena kedinginan. Bibirku sedikit bergemetar. Kulit jari-jemariku nampak mengkerut.

Pandanganku kemudian jatuh pada sebuah bouqet bunga yang daritadi kupegang.

Ah, bunga itu!

Pikiranku sedang kacau. Suasana hatiku berantakan sejak pulang dari sekolah. Padahal harusnya hari itu menjadi hari yang cukup menyenangkan.

Tepat di hari itu, acara pelantikan Ketua dan Wakil Ketua OSIS dilaksanakan di sekolahku.
Kabar baiknya, akulah kandidat yang terpilih sebagai Wakil ketua OSIS yang baru. Bersama Juna, sebagai Ketuanya.

Juna adalah teman seangkatanku. Kami cukup dekat. Dia adalah partnerku selama masih menjadi anggota OSIS, karena kami berada di seksi kepengurusan yang sama.

Namun kabar buruknya, tepat di ujung acara, Juna menyatakan perasaannya padaku di hadapan banyak orang.

Masih terekam jelas di ingatanku saat di mana Juna tiba-tiba memberikan sebuah bouqet bunga padaku. Masih terekam jelas di ingatanku kerasnya sorakan dan tepuk tangan semua orang saat menyaksikan adegan itu. Masih terekam jelas di ingatanku tatapan Juna saat menunggu jawabanku.

Sedangkan aku, aku hanya bisa terdiam kaku.

Aku menatap Juna. Memberikan jawaban melalui tatapan itu. Berharap Juna mengerti akan maksudku.

"Maaf..."

Senyuman Juna yang awalnya merekah, perlahan memudar. Ia sudah tahu jawabannya tanpa harus kuucapkan. Juna mengerti akan maksud tatapanku.

Melihatku yang masih enggan mengeluarkan suara, melihat raut wajahku yang tengah dikepung oleh besarnya resah, Juna akhirnya segera mengambil tindakan. Membantuku keluar dari ruang kebimbangan.

Laki-laki itu kembali tersenyum. Ia meraih tanganku, menuntunnya untuk menerima bouqet bunga yang ia beri.

Juna tahu aku tidak bisa menerima cintanya. Juna tahu jawabanku adalah tidak. Juna juga tahu aku tidak cukup tega untuk mengatakan itu, untuk jujur di hadapan orang yang sebanyak itu. Juna paham aku terus diam karena aku terlalu takut mengacaukan suasana dengan jawaban "Tidak" yang nantinya keluar dari mulutku.

Tapi di antara penolakan itu, Juna meminta agar aku tetap menerima bunga pemberiannya.

Akhirnya aku paham maksud tindakan dan tatapan matanya saat itu. Aku paham bahwa Juna sudah tahu jawabanku, dan ia mau cukup kita saja yang tahu soal itu. Orang-orang tidak perlu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

sekilas kisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang