Setelah pertemuan kami di perpustakaan waktu itu, hubunganku dengan Jaehan berkembang cukup signifikan.
Berangkat dan pulang bersama, belajar bersama, bahkan melakukan hal-hal menyenangkan bersama.
Jaehan tidak sepolos yang aku pikirkan sebelumnya.
"Aah! Yechan-ah, jangan-"
"Hm?"
Jaehan mendorong kepalaku yang sejak tadi mengendusi lehernya. Sungguh, Jaehan memiliki aroma khas yang membuatku tak mampu menahan diri setiap kali berdekatan seperti ini. Aku bahkan tak peduli jika kami masih berada di sudut perpustakaan sekolah yang sudah sepi.
Kedua telapak tangan halusnya menangkup kedua pipiku sebelum mencium bibirku dalam.
Manis.
Bibirnya begitu lembut, begitupun dengan perlakuannya padaku. Jika saja aku tidak ingat teman-temanku, mungkin aku akan berani mengakui jika aku sungguh jatuh cinta pada pemuda ini.
Ciumannya bisa kurasakan perlahan berhenti, dan rasa manis yang mengecap di indera perasaku semakin memudar. Aku tak ingin berakhir secepat ini.
"Yechan-ah, ayo pulang ..."
Aku melihat sekeliling yang sudah sepi. Tak ingin terkunci di dalam sini -meskipun terdengar menyenangkan membayangkan memiliki waktu berdua dengan Jaehan, tetap saja aku tidak ingin terjebak semalaman di tempat yang penuh dengan buku yang sudah usang.
"Jaehanie, liburan besok ... bagaimana jika kita pergi berdua?"
Dengan rona merah di wajahnya, Jaehan menganggukkan kepala.
Dan ... di sinilah kami saat ini.
Aku tak menyangka jika ternyata begitu mudah. Benar-benar tak mengira jika semudah ini membuat Jaehan tertawa.
Aku sempat berpikir bahwa Jaehan berbeda, namun rupanya ia sama saja dengan pria dan wanita yang pernah kukencani sebelumnya.
Jaehan menyukai kemewahan yang kutawarkan. Kencan di dalam restoran bintang lima, berjalan-jalan dengan mobil mewah, dan berakhir dengan menginap di villa milik keluargaku yang berada jauh dari kota.
Meski begitu, aku tak masalah. Karena kupikir, ini sepadan dengan apa yang aku dapatkan setelahnya.
Tawa indah yang hanya diperlihatkan untukku. Juga berbagai ekspresi saat aku mulai mencumbu dan menggagahinya di atas ranjangku.
Awal liburan yang menyenangkan bersama seseorang yang sulit untuk didapatkan.
"Jaehanie, terima kasih?"
Kupandangi wajah letih yang masih berbalut peluh itu dengan raut puas yang entah mengapa sulit sekali untuk aku tutupi. Jaehan sangat menakjubkan, harus kuakui.
"Tidak perlu."
Ekspresi yang tadi aku lihat kini sirna. Padahal, aku sangat menyukainya. Bagaimana dia yang memerah, mendesah, dan berteriak menyebut namaku, aku tak bisa melupakannya.
Wajah dingin itu sudah kembali. Kenapa? Kenapa ia harus menunjukkan wajah itu lagi padaku? Haruskah aku menyetubuhinya lagi agar ia kembali menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya?
"Aku tidak melakukannya dengan percuma. Jadi, sebelum malam berakhir-" Jaehan menatap tepat ke mata ku, membuat perasaan bersalah tiba-tiba memenuhi dadaku, "-jika malam ini berakhir, kau harus melupakanku, melupakan semua ini, dan melupakan semua waktu yang sudah terlewati antara kau dan aku ..."
"Jaehan-"
Jaehan tertawa dan di telingaku itu lebih terdengar seperti tawa meremehkan sebenarnya. "Sejak kau mengatakan suka pada wajahku, sejujurnya aku sangat bersyukur untuk itu-"
Ingin aku menyela, namun lidahku pun mendadak kelu. Jadi, kuputuskan untuk menunggu.
"-karena itu artinya aku tak perlu menggantungkan harapanku terlalu tinggi padamu. Sejak awal, ini kan yang kau inginkan? Seks denganku ... apa kau senang sudah mendapatkannya?"
Seperti tertusuk sebilah pedang tajam, kata-kata itu mengenai tepat di ulu hatiku. Tempat di mana nuraniku berada dan sekarang ia tengah terluka. Hati kecilku menderita.
"Jaehanie ...."
Hanya saja, otakku tidak mampu merespon teriakan kecil itu. Karena begitu Jaehan selesai mengatakan semua, aku justru semakin ingin menghabisinya. Menikmati apa yang ia miliki untuk diriku sendiri. Semua yang ada pada dirinya membuatku tak bisa berhenti.
Aku kehilangan akal, dan begitu fajar tiba, barulah aku tersadar bahwa hanya butuh waktu satu malam bagiku untuk menghancurkan Jaehan.
Seseorang yang tanpa aku tahu sudah melekat erat di dalam hatiku.
*
*
*
Yechan memejamkan mata. Sungguh ia tak sanggup melihat betapa bejat dirinya malam itu.
Di bawahnya Jaehan sudah kepayahan, dan seolah tuli ia tetap meneruskan nafsu sesatnya.
Suara merdu yang seharusnya hanya menjadi miliknya kini memenuhi kamar Hyuk. Desahan dan teriakan malam itu, kini dilihat oleh semua teman-temannya sebagai bukti.
Hyuk menggeleng pelan sebelum mematikan televisi berukuran besar yang sedari tadi menunjukkan video dirinya dengan Jaehan.
Decakan temannya itu terdengar. Sementara Junghoon dan Xen hanya bisa menatap Yechan tak percaya.
"Tentu saja, Yechan-ah ... memang hanya kau yang bisa menaklukkannya."
Kemenangan yang terasa seperti sebuah kekalahan, baru kali ini Yechan rasakan. Ia melihat Hyuk mengambil salah satu kunci mobil mewah yang menjadi koleksinya dan memberi secara percuma pada Yechan yang bahkan tak mampu membuka mulutnya.
"Selamat ya, Yechan-ah." Hyuk tertawa setelah menirukan suara Jaehan yang membuat Yechan ingin sekali menghajarnya. Namun, ia tersadar bahwa di sini ... dia lah bajingannya.
Tentu saja, tubuh Jaehan hanya seharga dengan mobil mewah koleksi milik Hyuk yang sebenarnya mampu ia beli sendiri.
"Shin Yechan, kau ... benar-benar seorang bajingan."