Aku tak berselera makan akhir-akhir ini. Bukan hanya makan, melainkan semuanya. Aku tidak lagi berkumpul dengan teman-temanku, aku juga tidak mau menemui siapapun di dalam rumahku.
Aku mengurung diri, memikirkan solusi dari semua masalah ini. Aku juga tidak masuk sekolah tiga hari sejak Jaehan mengatakan hal yang sebenarnya tidak ingin kudengar meskipun aku terus mempertanyakannya.
Aku tidak tahu bagaimana dengan Jaehan, tapi aku tidak menginginkannya. Aku tidak menginginkan anak itu. Jalanku masih panjang, haruskah aku merelakan semua hal yang mungkin bisa kuraih hanya untuk Jaehan dan bayi di dalam tubuhnya?
Bahkan meski aku mencintainya, kurasa aku masih belum siap untuk berkorban segala hal hanya untuk dirinya.
Aku duduk bersandar di kaki tempat tidurku, mendongak menatap langit-langit kamar yang kurasa semakin gelap. Bahkan menyalakan lampu pun aku merasa enggan.
Suara ketukan pintu terdengar seiring dengan namaku yang terus terdengar. Aku berteriak, meminta siapapun itu untuk pergi.
Akan tetapi, ibuku tetap masuk dengan kunci cadangan yang tak sempat aku perhitungkan.
"Yechan-ah, kau baik-baik saja?"
Susah payah aku menganggukkan kepala saat eomma sudah tiba di hadapanku. Aku berkata jika semua baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Meski dalam hati ingin sekali aku berkata sebaliknya.
Ayah dan ibuku ... apa yang akan terjadi jika mereka tahu?
Dalam hati pun aku bimbang. Haruskah aku mengatakan yang sesungguhnya?
Akan baik-baik saja jika aku melupakannya dan tidak kembali hari itu. Lagipula, Jaehan tidak mungkin berani menyulitkanku, namun dengan bodohnya aku datang dan mengulangi kesalahan yang sama untuk kesekian kalinya. Apa yang Jaehan miliki hingga mampu memikatku sampai seperti ini?
Sejujurnya ... ini tidak masuk akal.
Banyak yang lebih tampan darinya, banyak yang lebih manis dari parasnya, dan banyak juga yang lebih cantik jika hanya untuk membuatku terpesona. Lalu, apa sebenarnya yang aku lihat dari sosoknya?
Bukankah semua hanya permainan?
Aku juga sudah memenangkannya, lantas kenapa aku justru merasa seperti pecundang?
"Jaehan ...."
Ibuku menatapku, mungkin tak mengerti dengan maksud dari gumamanku. Bahkan hanya menyebut namanya saja sudah membuatku ingin menghampirinya.
Kurasakan wajahku basah. Sungguh, aku tidak akan bisa menyelamatkan diriku sendiri kali ini.
Kutatap ibuku yang kalut karena tingkahku. Aku terisak, aku menangis, dan dengan kesadaran penuh akan resiko yang mungkin aku terima setelah ini, aku pun mengatakannya juga pada akhirnya.
"Eomma, seseorang tengah mengandung anakku sekarang. Apa yang harus aku lakukan?"
*
*
*
Yechan berdiri di kamar yang pernah ia singgahi.
Kamar 309.
Kamar yang menjadi saksi hal tak pantas yang sudah terjadi. Kamar di mana cintanya bersembunyi.
Kembali ia mengetuk pintu kayu yang sudah mengelupas di sana-sini. Tak lama, pintu terbuka. Hanya sedikit, namun bisa ia lihat wajah sendu Jaehan yang menyembul dari baliknya.
Yechan mendesah lega, ia tersenyum. "Jaehanie, boleh aku masuk?"
Tak ada jawaban, namun setelah cukup lama menunggu pintu itu akhirnya terbuka jauh lebih lebar dari sebelumnya.
Yechan masuk dan menutup pintu. Diikutinya langkah Jaehan yang sudah berdiri di dekat jendela.
Rambutnya yang biasa halus dan rapi kini tampak kusut. Tubuhnya pun semakin kurus dan ringkih. Berapa hari ia tak melihat pemuda ini?
Yechan berjalan mendekat, berdiri tepat di sisinya. Dipandanginya wajah manis yang sudah memikat hatinya. Seperti yang pernah Yechan katakan di awal pertemuan, ia sangat menyukai wajah dan mata Jaehan.
Namun, kini wajah yang biasa dingin itu berubah kuyu, tampak lelah, dan begitu layu. Bahkan mata yang biasa memandang siapapun dengan tajam itu tak lagi tampak binarnya.
"Ada perlu apa, Yechan-ah?"
"Aku ingin kembali padamu, Jaehanie."
Jaehan menyandarkan kepalanya pada daun jendela. Tanpa ekspresi, ia tertawa. "Kembali atau kau datang hanya untuk meninggalkanku lagi?" Seperti yang terakhir kali.
Yechan mendesah, "Maaf, kurasa ... aku hanya terkejut saat itu."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Yechan meraih tubuh Jaehan, membawanya ke dalam dekapan. Dipeluknya erat, diciuminya dahi juga helaian kelam milik Jaehan.
Tidak tahukah Yechan jika perlakuannya begitu lembut dan penuh kehangatan itu sangat berarti bagi Jaehan?
Namun, semua perlakuan manis yang selalu ia berikan pasti berakhir dengan menyakiti dan hari ini ... itu terulang kembali.
"Ayo kita gugurkan anak ini, Jaehanie."