😁😁😁
Gadis dengan jaketnya yang masih setia membalut tubuh itu menghentikan langkah untuk kesekian kali. Entah sudah berapa belas tangga yang ia naiki namun kakinya yang letih tak kunjung sampai ke atas. Bangunan ini begitu besar dan rasanya sayang sekali bukan jika ditinggalkan? Kiera sempat mencari Keno di bawah, berputar-putar sampai meyakinkan diri kalau cowok itu pasti sedang berada di rooftop.
Sembari mengatur napas, Kiera perlahan naik, lagi dan lagi kakinya berusaha terus maju. Ia tidak peduli kalau harus merasakan nyeri sepanjang malam. Yang terpenting ia bisa melihat Keno baik-baik saja.
"Ayo, Ra. Lo pasti bisa, semangat!!" Kiera mengepalkan tangan sambil mengembangkan senyum, ia pasti bisa.
Dugaannya benar, ketika Kiera baru menginjakkan kakinya ke rooftop, pandangan gadis itu langsung disambut punggung seorang cowok yang ia cari. Keno, cowok itu berdiri membelakanginya. Menatap hamparan gedung-gedung pencakar langit ibu kota. Kiera menghela napas, lagi. Akhirnya Keno menampakan diri dalam keadaan baik-baik saja.
"Duh ... Ken, gue pikir lo mau bundir.'
Jujur Kiera sempat berpikiran buruk, beruntung pikiran itu tidak terjadi. Kiera melangkah mendekati Keno sambil berkacak pinggang, tidak begitu jauh, mungkin hanya tiga meter saja. Dari jarak lumayan ini Kiera membuang napasnya lebih dalam, merasakan angin dingin yang berhembus kencang. Jarang-jarang ia melihat suasana seram apalagi hanya ada mereka berdua di tempat ini.
"Em .... pulang yuk. Dah sore nih," niatnya ingin mencairkan suasana, namun, dengan mendadak dan tanpa aba-aba Keno berlari memeluk Kiera yang tingginya tak lebih dari dada Keno. Membuat gadis itu membeku di tempatnya. Matanya membulat dengan ekspresi kaget luar biasa.
Angin yang tadinya berdesir kencang, kini seperti menghilang begitu saja. Yang Kiera rasakan kini hanya kehangatan. Kehangatan itu bahkan membuat jantungnya berdebar sangat cepat daripada biasanya.

(anggep aja di rooftop)Cukup lama Kiera membeku sampai sebuah isakan tangis samar-samar terdengar dari mulut Keno. Gadis itu langsung mengedipkan matanya, tubuhnya pun mendadak bisa digerakkan. Ada rasa sesak yang ikut menjalar di dada ketika mendengar isakan Keno. Tangis yang jarang keluar karena Kiera pikir cowok itu tidak punya perasaan. Nyatanya sama saja. Hati tetap hati. Bisa sakit dan bisa mati.
"Ken, kenapa?" sebisa mungkin Kiera mengucap dengan bahasa lembut. Kendati begitu tetap tidak ada respon dari Keno. Ia masih terus menangis di bahu Kiera.
Tanpa disadari Kiera mengangkat tangannya ke arah punggung Keno, mengusap-usap punggung bergetar itu seolah memberi aliran ketenangan. Ia biarkan Keno mengeluarkan segala rasa sakitnya, ia sengajakan cowok itu menangis lama di bahunya. Perlahan-lahan pun tak terdengar lagi tangisan Keno. Perlahan pun pelukan antar keduanya mulai longgar, Keno yang menjauhkan diri. Tubuhnya berbalik dari arah Kiera, mengusap pipinya yang sudah banjir itu.
Kiera enggan bicara. Tanpa melihat pun ia sudah tahu mengapa Keno berbalik. Ia pasti merasa terlalu lebay atau bahkan malu. Diam-diam Kiera menggulum senyum, kemudian melangkah mendekat dan mengintip wajah Keno dari samping.
"Cie nangis," bisik Kiera membuat Keno berbalik ke arah lain. Bodo amat, yang penting ia tidak melihat wajah gadis itu sekarang.
"Gue nggak tau masalah lo apa, tapi yang jelas bundir itu nggak baik."
"Siapa yang mau bundir?" jawab Keno masih dengan suara yang terdengar serak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable |End|
Fiksi RemajaIneffable adalah sesuatu yang melampaui kemampuan bahasa untuk mengungkapkannya. Arti lain adalah "tak terlukiskan". Ada banyak kisah yang ditulis di cerita ini, salah satunya Abel. Gadis berkulit sawo matang yang tidak percaya akan cinta. Abel piki...