Namaku Langit Perwira
Aku adalah seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun yang merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Hanyalah seorang ibu yang ku miliki saat ini dan tak ada sosok ayah lagi di keluarga kami.Hari-hariku selalu berada di tengah-tengah kerumunan orang yang hendak bekerja dengan pakaian lusuh yang ku kenakan.
Di sudut-sudut jalan, kami memungut sampah demi sesuap nasi.Sejujurnya hati kecilku berontak. Aku merasa sedih, aku merasa marah, aku juga iri melihat anak-anak sebayaku memakai seragam merah putih dengan wajah riang berangkat ke sekolah dengan menggendong tas di punggungnya.
Terkadang aku selalu membayangkan kapan aku bisa seperti mereka. Tersenyum, tertawa gembira bermain bersama teman sebayanya.
Sedangkan aku, hanya bisa pasrah dengan keadaan. Bahkan tak ada anak-anak seusia ku yang ingin berteman dengan ku untuk bermain bersama, yang ada mereka justru mengolok-olok ku dengan sebutan pemulung ataupun Si miskin.
Aku sudah terbiasa di panggil dengan sebutan itu, karena memang fakta nya aku adalah seorang pemulung dan juga miskin.
Tak apa karena aku masih memiliki beberapa teman teman yang tinggal di bawah kolong jembatan sama sepertiku.
Seperti biasa, aku dan ibuku berada di sudut-sudut tempat mengumpulkan botol bekas yang kemudian akan disetorkan untuk memenuhi kebutuhan kami.
Hari demi hari keseharian kami melakukan hal ini. Dalam sehari, kami bisa berganti-ganti tempat sebanyak tiga kali. Pagi hari di sekitar alun-alun kota, siang hari di dekat perempatan lampu merah, dan menjelang sore hari di sekitar bantaran kali.
Penghasilan kami dalam sehari sebenarnya cukup untuk hanya sekedar makan. Namun sayangnya kami harus memberikan sebagian uang kami kepada kepala preman di tempat kami tinggal, di bawah kolong jembatan dengan kondisi yang tidak layak disebut sebagai rumah, hanya kardus-kardus dan atap jerami yang dibentuk kotak untuk tempat kami tidur.
Ya, beginilah nasib orang pinggiran seperti kami. Meski begitu aku setiap harinya berusaha menerima dan tetap bersyukur meski kadang kala kehidupan ini sangat sulit ku jalani untuk usia anak sepertiku tetapi aku harus bisa menerima keadaan karena aku percaya pada Tuhan atas takdir yang kelak akan indah pada waktunya.
Pagi ini kami mulai bekerja kembali, seperti biasa jika pagi hari kami memungut sampah di sekitar alun-alun kota.
Pekerjaan ini kulakukan dengan baik hingga seketika mataku tertuju kepada seorang anak seusiaku memakai seragam merah putih yang hendak pergi ke sekolah.
Tanpa ia sadari, aku mengikutinya dari belakang karena rasa penasaranku. Tak lama dari itu, aku sudah tiba tepat di depan sekolahnya. Aku penasaran sekali sehingga aku ingin memasuki area sekolah tersebut. Tetapi, aku takut jika anak sepertiku tidak diperbolehkan masuk.
Akhirnya aku memutuskan untuk memasuki area sekolah dengan memanjat dinding belakang sekolah.
Saat ini aku sudah tiba di belakang sekolah, ternyata dinding nga lumayan tinggi sehingga, aku harus memikirkan bagaimana caranya untuk memanjat dinding ini. Aku berusaha mencari sebuah tangga tetapi usahaku nihil.
'Bagaimana ini? Tidak ada sebuah tangga disini' ucapku dalam hati sambil melihat-lihat sekitar. Ada beberapa batu-bata, ku susun bata tersebut agar aku bisa memanjat dinding itu. Aku melihat-lihat sekitar berharap tak ada orang yang melihat aksi ku ini.
Aku telah berhasil memasuki area sekolah itu. Aku mengintip dari jendela kelas.
Seorang guru tengah menerangkan materi kepada murid-muridnya. "Anak-anak, jadi hukum menuntut ilmu itu adalah suatu hal yang perlu dipahami umat Islam. Setiap muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu dalam kehidupan sehari-hari, yang mana Allah SWT akan mengganjar orang-orang yang menuntut ilmu tersebut dengan pahala. Menuntut ilmu itu tidak harus di lakukan sekolah saja tetapi, bisa dilakukan di manapun selama yang kita pelajari merupakan hal yang positif" Aku mencoba memahami dengan baik apa yang dikatakan oleh guru tersebut.
Kemudian seorang anak mengacungkan tangan dan bertanya kepada sang guru "Lalu, jika menuntut ilmu itu tidak harus dilakukan di sekolah berarti ilmu seperti apa yang bisa kita pelajari di rumah, Bu?"
"Pertanyaan yang bagus Doni, jadi ilmu yang bisa kita pelajari di rumah adalah mempelajari ilmu Al-Qur'an atau mengaji, mempelajari ilmu memasak bersama ibu, mempelajari ilmu bercocok tanam dan masih banyak lagi. Tetapi, ada juga ilmu yang tidak boleh kita pelajari yaitu ilmu sihir, judi dan lain sebagainya itu merupakan haram hukumnya" Jelas guru itu kepada sang murid.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Langit
Short StoryTeriknya matahari, di tengah kerumunan orang-orang yang hendak bekerja dengan pakaian lusuh yang ia kenakan. Di Sudut-sudut jalan memungut sampah demi sesuap nasi Untuk yang penasaran sama kelanjutan ceritanya bisa langsung baca saja yukk!! Have fun...