mala petaka untuk Revan

2.5K 153 3
                                    

Shania melambaikan tangannya kepada Rachel. Ya, dirinya diantar oleh Rachel sampai rumah. Awalnya Shania menolak, namun Rachel sangat keras kepala dan memaksa gadis itu mau diantarnya pulang.

Shania menghela napas pelan, lalu berbalik menuju pintu utama rumah Tantenya. Shania membuka pintu rumah itu dengan tenang, namun seketika dahinya mengkerut, melihat Tante Fero, Om Fauzan, dan Devha yang duduk di ruang tamu dengan ekspresi yang susah diartikan.

"Kenapa Om, Nte?" tanya Shania sembari duduk dihadapan Om dan Tantenya, yaitu tepat di sebelah Devha

"Buka gelang kamu." ucap Om Fauzan. Lembut namun tak terbantahkan.

Bola mata Shania seketika melebar. Dia hanya memakai gelang di pergelangan tangan kirinya. Gelang itu berfungsi untuk menutup luka bekas sayatan yang dengan bodohnya dia goreskan ke kulitnya. Kalau Omnya menyuruh dia untuk membuka gelangnya, berarti Om Fauzan sudah tau semuanya?

"M ... Maksud Om?"

"Sudah jelas, kan? Buka gelang kamu. Gelang yang ada di pergelangan tangan kirimu." ujar Fauzan kepada keponakan gadisnya untuk yang kedua kali

Shania memejamkan matanya. Dia tau, dia tidak akan bisa mundur sekarang. Entah siapa yang memberitahunya tentang ini semua. Calvin kah? Menurut ingatannya, Devha saja tidak tau tentang masalah ini. Bagaimana Om Fauzan bisa mengetahui semuanya?

Akhirnya, pelan namun pasti, gadis itu melepas gelang yang selalu melekat di pergelangan tangan kirinya. Dengan mata yang terpejam, dan kepasrahan, perlahan jarinya mulai membuka gelang itu. Dan terlihat sudah bekas sayatan di tangannya.

Seketika, Fero menutup mulutnya dengan satu tangan. Mata Devha melebar. Dia kira, Revan berbohong dengan fakta ini. ternyata perkiraannya salah. Fauzan hanya bisa memperlihatkan pandangan datarnya. Padahal, dalam hati dadanya berdesir.

"Om ... Shania bisa jelasin semuanya. Shania ..."

Satu tangan Fauzan menghentikan ucapan Shania. Fauzan sudah mengetahui alasan keponakannya melakukan hal itu dari Devha. Jadi, Shania tidak usah repot-repot menjelaskannya kembali.

"Om akan menelfon Papa mu."

Nafas Shania seketika tercekat. Bola matanya melebar dan jantungnya berdegup lima kali lipat lebih cepat dari sebelumnya. Menelfon Papanya? Bisa-bisa dirinya benar-benar terbunuh!

"Om ... Om tolong jangan nelfon Papa. Papa pasti bakal marahin Shania dan hal-hal semacamnya. Shania sudah cukup mendapat siksaan selama di Jakarta, Shania gamau kembali tersiksa di sini." tukas Shania dengan air mata yang mulai mengalir

Fauzan tidak berkata apa-apa. Lelaki yang sudah berusia setengah abad itu berjalan menuju ruang kerjanya, tanpa memperdulikan Shania yang sedang memohon-mohon kepadanya.

Fero yang menyaksikan kejadian itu, hanya bisa meringis pelan. Suaminya itu, tidak sama anaknya, tidak sama keponakannya, sama-sama dingin. Perintahnya juga tegas dan tidak terbantahkan. Kalau iya, ya iya. Kalau tidak, ya tidak. Tidak ada yang bisa merubah keputusannya. Akhirnya, Fero melangkahkan kakinya menuju dapur, meninggalkan Shania yang sedang terisak dan Devha yang hanya diam di sebelahnya tanpa melakukan apapun.

Devha menengok kearah Shania yang sedang menutup wajahnya. Gadis itu tidak berhenti menangis semenjak lima menit yang lalu. Devha berdecak, memangnya tidak capek menangis terus-menerus?

"Cengeng banget, sih?"

"Lo gabakal ngerasain punya Papa kejam, Dev. Kalau dulu Papa gue udah melayangkan gespernya ke punggung gue karna mengetahui gue di DO, gimana sekarang? Yang ada dia bener-bener ngebunuh gue biar gue beneran mati!"

Behind The MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang