45. Rumah itu...

52 3 0
                                    

Hadirku... Tak lebih dari sekedar sampah dan juga bayangan di keluargaku sendiri.

-Alisya Calista Graham

*****

Keadaan canggung yang sebenarnya adalah ketika kita sedang berkumpul dengan seseorang yang terasa asing di kehidupan kita dan tidak terlibat dalam pembicaraan apapun didalamnya. Seperti yang dirasakan oleh Alisya saat ini, ia tengah berada di tengah-tengah hangatnya pembicaraan sebuah keluarga kecil dihadapannya. Sarapan yang seharusnya menjadi pemulai hari yang menyenangkan justru menjadi pemulai hari yang sungguh membosankan.

"Alisya," panggil Darius menghentikan aktivitasnya yang tengah mengaduk-aduk sarapannya. Ia sedikit melirik ke wajah Darius yang sedang menatapnya intens. Tatapan mata itu terlihat tidak bersahabat, bahkan terlihat seperti tatapan mata seseorang yang sedang mengibarkan bendera perang kepadanya.

"Papa lihat kemarin kamu pulang dalam kondisi kacau. Berantem lagi?" Terka Darius dengan sebuah pertanyaan.

"Bukan urusan Papa," balas Alisya dengan tatapan mata tak kalah tajam.

"Papa tidak akan ikut campur semua urusanmu mulai sekarang, Alisya. Papa capek ngurusin anak pembangkang kayak kamu. Mau kamu itu apa, sih? Kenapa kamu selalu saja membantah perkataan Papa?" Tanya Darius tidak mengerti lagi dengan sikap anak bungsunya yang selalu saja membantah perkataannya. Namun ia tak sadar, orang yang membuat kepribadian Alisya berubah seratus delapan puluh derajat adalah dirinya sendiri.

"Apa Papa masih mengakui kalau Papa itu Papanya Lisya? Terus, kenapa waktu di pesta pernikahan kemarin Papa bilang kalau Lisya itu keponakan Papa?" Alisya balik bertanya. "Jadi, Lisya nggak mau terlalu nurut sama Om Darius,"

"Seharusnya kamu ikuti saja permainan Papa. Toh, kamu juga nggak merasa dirugikan dengan itu, kan? Jadi kesimpulannya, Papa beruntung karena semua orang percaya kalau kamu bukan anak Papa dan kamu tidak dirugikan dengan hal itu," balas Darius dengan entengnya tanpa memikirkan perasaan sang anak.

Alisya mengepalkan tangannya diam-diam dibawah meja. Ia menatap sengit ke arah Vana yang juga tengah menatapnya tajam. Sejak tadi, keduanya memang sama-sama saling melempar tatapan tajam. Bahkan, kaki-kaki jenjang milik mereka berdua sudah baku hantam dibawah meja makan.

"Alisya, mulai sekarang kamu dan Vana sudah menjadi saudara. Jadi, Papa harap kalian berdua bisa sama-sama saling menerima satu sama lain,"

"Gimana mau saling menerima kalau Papa bawa mereka kesini aja tanpa persetujuan dari Lisya," bantah Alisya tegas.

"Kamu tidak setuju dengan kehadiran Vana dirumah ini?"

Tanpa ragu Alisya mengangguk.

"Oke. Kamu tidak punya hak apa-apa atas rumah ini. Jika kamu masih tidak bisa menerima Vana dan Nata dirumah ini. Silahkan kamu yang angkat kaki dari rumah ini. Bagaimana?"

Alisya terdiam cukup lama mendengarnya. Hatinya tercelos sakit mendengar semua perkataan Darius yang secara terang-terangan mengusirnya dari rumah ini. Jika saja ada Venus disini, mungkin ia masih punya pelindung yang akan selalu melindungi dirinya dari segala ancaman Papanya. Namun sayangnya, Kakak laki-lakinya itu sudah terlebih dahulu berangkat ke rumah sakit karena ada sebuah janji dengan salah seorang pasiennya.

"Disini tidak ada Venus yang akan membela kamu, Alisya. Sendiri, sekarang kamu sendiri dirumah ini. Papa masih berbaik hati untuk menampung kamu dirumah ini. Jadi, jangan pernah mencari masalah yang nantinya akan membuat Papa berubah pikiran dan berakhir mengusir kamu dari rumah ini,"

Deg!

"Apa kesalahan Lisya yang bikin Papa sebenci ini sama anak Papa sendiri? Lalu, kenapa hanya Kak Venus yang Papa anggap sebagai anak? Kenapa Lisya nggak Papa anggap?"

SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang