Biasakan memberi vote sebelum membaca.
Happy reading!
🍒🍒🍒
"Bapak yakin mau makan di sini?"
Ini kali ke empat Dinda melemparkan soalan yang sama dan Dirga kembali mengangguk antusias sambil mengambil tempat duduk di depan gadis tersebut setelah memesan satu porsi bakso dan satu porsi mie ayam pada abang penjual yang nampak sibuk membuatkan pesanan.
"Kenapa emang? Tempatnya nyaman, kok." Dirga kembali membalik tanya sambil memindai suasana tempat mereka makan yang terasa sejuk karena berada di bawah pohon rindang. "Kamu keberatan?"
"Bukan gitu, Pak." Dinda mengibaskan dua telapak tangannya di depan dada. "Bukannya Bapak tidak suka makan di tempat seperti ini?" bisik Dinda yang masih mengingat jelas kejadian beberapa waktu lalu.
Saat itu ia dan Anita yang sedang asyik menikmati pecel lele di pinggir jalan usai pulang kerja terkejut dengan panggilan telpon dari Dirga yang menanyakan lokasinya saat ini. Ternyata Dirga disuruh bunda untuk menjemput istrinya agar tidak lagi pulang naik angkot seperti biasa. Saat tiba di warung pecel lele, Dinda sempat menawari suaminya untuk makan terlebih dahulu sebelum pulang namun Dirga menggeleng dan memaksa Dinda untuk cepat-cepat masuk mobil dengan alasan alerginya bisa kambuh kalau makan di pinggir jalan.
Dirga terkekeh karena Dinda sangat mengingat dengan detail ucapannya beberapa bulan yang lalu. "Maafkan saya! Saat itu mood saya sedang tidak baik," ucapnya dengan nada menyesal.
"Mungkin di sini saya yang harus meminta maaf," balas Dinda menunduk.
"Kenapa?"
"Karena kehadiran saya di hadapan bapak selalu membuat mood anda berantakan," jawab Dinda. "Saya minta maaf, Pak," lanjutnya tulus dari dalam hati.
Ia akui jika selama ini belum bisa menjadi istri baik yang berperan sebagai penyejuk mata untuk sang suami. Yang ada, ia selalu membuat emosi pria yang tak mencintainya itu selalu tersulut hingga terjadilah adu urat leher seperti biasa yang membuat hubungan mereka kian memburuk.
"Bagaimana kalau mulai saat ini kita saling maaf-memaafkan saja." Tiba-tiba ide cemerlang muncul di pikiran Dirga. "Saya juga capek kalau tiap hari harus adu mulut sama kamu."
"Emangnya menurut Bapak saya tidak capek? Saya capek juga tiap hari harus memutar otak untuk membalas kalimat-kalimat yang Bapak lontarkan," sahut Dinda mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini berdesakan di kepalanya.
Dirga tertawa melihat tampang Dinda yang saat ini terlihat lega setelah mengeluarkan keluh kesahnya selama ini. Beberapa bulan ini ia akui dirinya memang sangat kekanak-kanakan. Seenaknya memperlakukan Dinda, padahal jelas-jelas dirinya yang dulu meminta gadis tersebut untuk menjadi istrinya walaupun Dinda sendiri akhirnya mendapat imbalan berupa nominal fantastis yang sampai saat ini masih menjadi pertanyaan di dalam benak Dirga perihal kemana uang sebanyak itu Dinda belanjakan.
"Jadi.... Kamu mau memaafkan kesalahan saya selama ini?" Dirga mengulurkan tangan kanannya pada Dinda yang tersenyum manis kemudian menyambutnya dengan anggukan antusias.
"Karena saya baik hati dan lucu maka semua kesalahan Bapak saya maafkan. Dan saya juga meminta maaf atas kesalahan saya selama ini," ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married By Agreement
Literatura KobiecaKehidupan damai dan tentram seorang gadis biasa bernama Adinda Sabila mendadak kacau setelah memutuskan untuk menerima pinangan seorang pria bernama Dirgantara Mumtaza Ahmad. Sosok pria bermulut tajam yang selalu memandang rendah dirinya tersebut...