Pada malam minggu yang biasanya dipakai cowok-cowok seuasianya untuk nge-date, Powl dan Rahman justru datang ke rumah Nadir. Temu-kangen dengan sahabat mereka semasa SMP itu dengan melewati malam bermain Play station sedangkan Nadir Cuma menjadi penonton keduanya.
"Ah, kalah, bangsat." Umpat Powl sambil melempar stik itu ke karpet. Rahman yang melihat itu justru semakin keras tertawa.
"Jangan jumawa dulu loh makanya. Ingat perjanjian!" ucap Rahman.
Powl menyenderkan dirinya di sofa, samping Nadir, "Buset Rahman, masalah gini-gini aja lo ingat banget."
"Iyalah, makan gratis seminggu bro." Rahman mendekat, "Eh, Nad, ini lo di sini bakal lama, kan?"
Nadir menggangguk, "Kayaknya, tapi Bo-Nyok sih udah ngizinin."
"Kali ini alasan yang sama lagi, Nad?" Tanya Powl penasaran.
Nadir mengangguk, "Hmm, masih dengan alasan yang sama. Waktu itu gua mungkin terlalu kecil buat nyari, tapi enggak buat kali ini."
"Kalau dipikir-pikir ini kalian pisah udah berapa lama ya berarti?"
"Delapan tahun."
Powl memandang temannya itu dengan takjub, "Lama juga ya, udah susah pasti buat ingat muka sahabat lo itu. Kalau jadi lo juga kayaknya gak bakal bisa ngenalin, gua aja sampai sekarang masih asing liat muka gua sendiri pas masih kecil."
"Gua pernah baca kalau perubahan struktur wajah terjadi secara signifikan saat masa kanak-kanak menuju dewasa. Makanya, terkadang kita gak bisa ngenalin wajah seseorang yang sudah berubah dewasa, apalagi dalam kasus Nadir ini mereka udah terpisah lama." Jelas Rahman.
Nadir mengangguk setuju, "Susah, tapi gua akan tetap coba."
"Terus, Nayya?" tanya Rahman.
"Oh, iya, kenapa lo akhir-akhir ini jadi ngedeketin dia?" tanya Powl.
Nadir berpikir sejenak, mengingat kejadian kemarin.
"Nayya?" tanya Powl terkejut melihat perempuan itu ketika memasuki kafe.
"Lah, dia kerja di sini?" tanya Rahman kemudian. "Jadi ini alasan lo ngajak kita ke sini?"
Nadir menggeleng, lalu menuntun teman-temannya untuk duduk di salah satu meja. "Enggak juga, makanan di sini enak." Sanggah Nadir yang tentu saja tidak dipercayai kedua temannya itu.
"Nayya, kami ingin memesan!" ucap Nadir dengan senang.
Dengan perasaan tidak nyaman Nayya mendekati mereka sambil membawa buku menu yang tersedia. Buku serta pena sudah di genggamannya sambil menunggu mereka menyebutkan pesanan.
"Kali ini gua harus pesen apa?" ucapnya kepada diri sendiri.
Powl menaikkan alis matanya, "Lo sering ke sini?"
"Tentu, setiap hari. Bukan begitu Nay?" tanya Nadir dengan ramah. Nayya tidak meresponnya, hanya menatap sekilas bola mata hitam pekat milik Nadir.
"Kalian berteman?" tanya Rahman lagi tidak percaya.
"Ah, gua lupa ngasih tau kalian, ya? Gua sama Nayya sekelas dan teman sebangku juga. Dia teman yang baik."
Mendengar itu Nayya menatapnya tidak suka, "Mau pesan apa?." tanyanya jengah. Dua minggu terakhir ini, lelaki itu terus datang dan mengganggunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDERCOVER
Teen Fiction"Bagaimana kalau Nadir gak ada?" Nayya tak bergeming, matanya memerah dengan spontan. "Nadir mau pergi?" tanyanya dengan suara sendu. "Nadir cuma bertanya, bagaimana kalau Nadir gak ada? Nayya akan kesepian karena gak punya teman selain Nadir." Pere...