Update kalau yang like banyak.
Selamat Membaca
"Dimakan Win." Ucap Athaya saat
semua menu makanan tersaji di atas meja.Wina membalas dengan anggukan, sedangkan Wisnu sudah melahap makanannya. Nala yang melihat binar mata di kedua netra Athaya merasa aneh.
Tetapi Nala mengabaikan rasa yang muncul di relung hatinya, ia memilih untuk kembali menyantap menu makanannya.
"Rasanya enak. Benar omongan Wina." Puji Wisnu setelah ia menyelesaikan satu piring nasi dan lauk. "Meskipun tempat ini tidak seperti restoran tetapi masalah rasa bisa diadu." Lanjutnya seperti juri master chef.
"Ada rasa yang dijual meskipun tempat ini tidak mewah. Makanya banyak orang yang kembali lagi kesini." Athaya ikut menimpali.
"Iya memang begitu." Wina mengeluarkan suara, "Dari pertama kesini saya memang suka dengan makanannya dan pelayanannya juga cepat."
Kedua pria itu mengangguk patuh, "Makanan itu yang dijual kualitas rasa. Masalah harga tergantung kantong masing-masing." Ada beberapa tempat makan yang menjual makanan dengan harga selangit tetapi tempat makan itu tetap saja laris, ya karena yang dijual kualitas rasa.
"Eh... Maaf kalau lancang, tapi kamu bisa masak Win?" Tanya Athaya dengan netra yang tertuju ke arah Wina. Wina yang ditatap sontak tersenyum. "Bisa, tapi tidak banyak. Karena memasak adalah keahlian dasar yang harus kita miliki."
"Kalau pria bisa masak bagaimana menurut kamu?" Lanjut Wisnu, Wisnu ingin melihat sudut pandang Wina terhadap pria yang bisa memasak. Meskipun terkadang memasak identik dengan perempuan.
"Itu jauh lebih baik karena mungkin kelak jika istri mereka tidak bisa memasak, para pria bisa membantu."
"Jawaban yang bagus." Puji Athaya. Nala hanya diam mendengarkan ucapan mereka tanpa mau menimpali.
"Kalau menurut kamu bagaimana Nala?" Nala yang tidak terfokus gelagapan, ia memandang Wisnu dan Wina bergantian. "Ah... Apa?"
"Bagaimana menurut kamu kalau laki-laki bisa masak."
"Bagus dong jadi mereka bisa membagi pekerjaan rumah. Meskipun banyak orang yang menganggap memasak identik dengan perempuan. Apalagi budaya di Indo yang sering banget patriarki."
Hidup di desa membuat wawasan akan patriarki cukup banyak di kepala Nala. Bahkan ia tidak bisa menghitung kebiasaan itu yang membuat hidup perempuan semakin bertambah jika menikah. "Kamu nggak suka ya sama patriarki?" Tanya Wisnu.
"Siapa juga yang suka Pak, gini ibarat kata kita dirumah fokus ke anak, sudah capek urus rumah dan anak tapi saat suaminya sudah pulang harus banyak tuntutan... Kalau pekerjaan rumah dilakukan bersama pasti akan mudah, kan? Apalagi hidup sekarang?" Banyak suami yang lupa bahwa pekerjaan rumah adalah tanggungjawab bersama, meskipun mereka sudah lelah bekerja di luar rumah.
"Berarti lo siap-siap beberes Tha." Goda Wisnu, sebagai orang yang cukup merasa Athaya bukan pria yang suka membersihkan apartemennya sendiri.
"Kalau istri gue bahagia karena itu, kenapa tidak?" Jawab angkuh Athaya. Meskipun akan sulit tetapi ia akan melakukan apapun demi istrinya, tapi itu kelak. Ya, karena ia belum berpikir sampai di sana. Urusan keluarganya saja sudah membuatnya pusing apalagi kelak jika ditambah rumah tangannya sendiri?
Wina menatap Athaya dengan senyuman. "Kaya lo siap-siap aja nikah, Opa lo itu sudah minta cucu menantu tapi lo masih kaya gini." Wisnu cukup dekat dengan keluarga Athaya yang notabene seorang konglomerat ternama di Indonesia.
"Nggak usah bahas, buat gue malas aja."
"Hahaha, dasar Athaya."
***
"Kamu tahu nggak Win, kalau hidup itu bukan tentang pencapaian tapi rasa syukur atas apa yang kita miliki."
"Saya tahu Pak."
"Terus sekarang apa yang kamu cari? Jabatan kamu bagus, uang ada, kamu cantik?" Tanya Athaya saat Wisnu pergi ke kamar kecil yang tak jauh dari angkringan ini.
Wina menatap Nala sejenak sebelum menjawab pertanyaan Athaya, sungguh ia merasa tidak enak kepada sepupunya itu. "Mungkin belum ada yang cocok aja Pak." Jawaban yang cukup aman untuk Wina utarakan.
"Masa sih? Perasaan Wisnu juga mendekati kamu, kan?" Athaya ingin tahu hubungan apa yang mereka jalani selain atasan dan bawahan.
"Bapak tahu pernikahan itu tidak sesederhana yang dibayangkan, ibarat kata banyak hal yang akan jadi sumber permasalahan antar suami istri. Salah sedikit pasti akan hancur hubungan itu, dan saya tidak mau itu terjadi? Lebih tepatnya tidak ingin terburu-buru." Sebuah persiapan yang cukup matang untuk anak muda yang sudah di kejar umur.
Athaya menatap Nala, ia juga melontarkan pertanyaan yang sama. "Kalau kamu Nal?"
"Kenapa jadi saya Pak?"
"Hanya pertanyaan."
Nala terdiam sejenak, "Tidak ada patokan rumah tangga sempurna, karena orang sebaik Nabi saja diuji. Jadi kalau saya lebih ke kerjasama aja, dan semuanya dikomunikasikan."
Simple tapi semuanya masuk ke dalam pikiran Athaya. "Kalau sekarang kamu ada yang ngajak nikah bagaimana?"
"Tidak boleh cepat-cepat menolak pinangan orang, jadi saya akan lebih meminta pertolongan ke Tuhan terlebih dahulu. Apakah orang ini yang terbaik untuk saya atau tidak. Dan yang pasti cari tahu dulu masa lalunya."
Dari pembicaraan itu saja Athaya bisa menyimpulkan bahwa Wina tipe orang yang begitu hati-hati akan sebuah hubungan berbeda dengan Nala.
"Bapak... Pak." Athaya yang tengah sibuk mengemudikan mobil sontak menoleh sejenak ke arah Nala. "Apa?"
"Berhenti sebentar ya, mau kesana." Tunjuk Nala ke arah trotoar jalan dimana ada seorang laki-laki paruh baya yang tengah duduk melamun menjual aneka mainan anak-anak. Athaya meminggirkan mobilnya, ia menunggu di dalam mobil sedangkan Nala keluar. Netranya melihat yang dilakukan Nala di luar.
Tak berselang lama Nala kembali dengan sebuah balon bergambar ikan. Balon yang cukup besar membuat Nala cukup kesusahan sehingga balon itu ditaruh di belakang. "Maaf ya Pak."
"Kenapa harus minta maaf?" Tanya Athaya, dari mobilnya Athaya bisa melihat jika Nala membeli mainan itu dan yang pasti uang yang diberikan cukup besar. "Jadi merepotkan Bapak."
"Tidak masalah, kamu sudah berbuat baik kepada mereka." Bertambah satu hal yang Athaya lihat di sosok Nala, bahwa perempuan ini adalah sosok yang baik dengan jiwa menolongnya yang tinggi. Tidak salah, apalagi zaman sekarang dimana orang yang peduli kepada orang di sekitar cukup langka.
"Iya Pak, semoga saja bisa meringankan kebutuhannya meskipun tak seberapa." Sebagai seorang perempuan Nala merasa iba jika ada anak-anak kecil yang harus mengamen atau orang tua renta yang tetap bekerja di sisa usianya. Meskipun ia terlahir dari keluarga sederhana, Ibunya selalu mengingatkan bahwa kita harus tetap berbagi meskipun itu kecil. Karena hal kecil itu bisa jadi besar menurut mereka yang membutuhkan.
"Sangat jarang perempuan kaya kamu." Puji Athaya tulus, berkenalan dengan berbagai orang di kalangan atas maupun menengah membuat Athaya tahu bahwa ada batasan yang selalu mereka lakukan. Sangat berbanding terbalik dengan Nala dimana perilakunya begitu murni demi kemanusian.
Tbc