Wintari POV
Perasaan yang muncul setelah berkhianat sungguh mengerikan. Rasanya seperti ada ratusan ton beban di pundakku, berat dan menyesakkan.
Suara pintu digedor dan teriakan Ronan memenuhi ruangan, rasanya seperti ditarik dari ketinggian dan dipaksa sadar. Buru-buru ku rapikan celana, berdiri dengan gelisan tepat di belakang pintu. Apa yang harus ku katakan seandainya ia berhasil mendobrak masuk?
Bro before Hoe, adalah prinsip yang dipegang teguh oleh setiap member Capricorn. Aku tak pernah menyangka akan menjadi antagonis yang mengingkari janji. Kenapa sih aku begitu marah hingga hilang akal? Rutukku memaki diri sendiri.
Lalu sekarang apa? Harus bagaimana?
Di tengah kepanikan, dari luar ku dengar suara Harlan, basis Capricorn. "Kenapa, Ron?" Tanyanya.
"Tau nih si Kiana, ngunci kamar. Gue ngeri aja kalo sampe ketahuan Wintari. Lu tau kan gimana dia."
"Wintari kagak mungkin balik malem ini, palingan besok sore. Tadi gw liat dia pergi sama cewek yang biasanya."
"Serius lu, Lan? Aman nih?"
"Seriusan. Dah biarin aja mbak pacar istirahat di kamar, ketiduran kali. Kan capek daritadi udah lu hajar." Harlan bersiul. Aku memutar mata, boys.
aigoo
"Belum gw apa-apain kok." Ucap Ronan cengengesan, dibarengi nada bangga di suaranya.
"Semua yang punya mata ngeliat ya anjir lu remes-remes toket. Dah ah! Anak-anak lagi main game tuh, ayo balik turun aja."
Kemudian suara langkah kaki keduanya menjauh dari pintu kamar. Aku membuang nafas lega. Ntah lega karena tidak ketahuan, atau lega karena kini ada banyak waktu untuk ku dan Kiana.
Toh, nasi sudah menjadi bubur, aku sudah berkhianat, untuk apa berhenti sekarang?
Mau setitik atau dua titik, susu sebelanga sudah kepalang rusak. Dan organ intim yang menjadi lebih tegang di balik resleting sepertinya setuju dengan pendapatku.
My God! I am really an awful person.
But Kiana is such a mesmerizing creature, aku tak dapat menolak pesonanya tanpa merasa menyia-nyiakan kesempatan berharga.
"Ronan udah pergi, malem ini dia bakalan biarin lu tidur di sini."
"I know, I can hear them."
Aku mengangguk-angguk, "Gw nggak bisa keluar sekarang, nanti malah memunculkan pertanyaan." Ia terdiam sesaat, pandangan terpaku pada lantai. Aku memikirkan rayuan agar ia mau melanjutkan yang sudah kita mulai, sebelum aku dapat berkata-kata, Kiana mendongak, "Lalu apa? I don't like these tension in the air. Bikin sesek nafas." Katanya sambil menunjuk-nunjuk udara.
Aku tersenyum kecil, I found the opening.
Ughhh! Aku sudah tidak sabar ingin di dalamnya lagi.
"Telanjang kalo gitu!" Perintahku, Kiana tercengang. "You don't want to continue? Sudah puas kah? Gw bisa ngasih lebih."
Ia membuang muka, pipinya memerah. Cute
"Daripada diem-dieman nggak enak, mending kita cari pengalihan. Saling ngenakin, gimana? Sounds better?" Rayuku.
Alih-alih menjawab dengan kata, ia berdiri lalu mengangkat naik kaosnya sambil malu-malu, menyisakan bra hitam berenda, kontras di atas putih kulitnya.
Damn that body
Kiana adalah sosok sempurna. Tubuh berlekuk seperti body gitar, pantat sintal, dan buah dada yang pas di genggaman tangan. She makes me so drunk with her beauty.
Maaf sobat, aku menginginkannya. Sungguh tak bermaksut membuatmu tak berharga. Hanya saja dengan Kiana rasanya berbeda... Ia membuatku berdebar. Seumur hidup aku belum pernah menginginkan apapun sebesar ini.
Kiana mengulurkan tangan ke belakang punggungnya untuk melepas kaitan bra, membebaskan bukit kembar dari kungkungan. Oh God! Jika kekaguman ini adalah dosa, aku bersedia menjadi kerak neraka.
Kiana begitu bulat dan kencang, dengan puting berwana pink terang. Organ intimku yang memang sudah terbangun sejak tadi, berdenyut nyilu. Ia benar-benar membuatku mabuk kepayang.
Ia lalu melepas sepatu dan celana super pendek, menyisakan celana dalam berbahan kain tembus pandang.
"Celana dalemnya biarain aja." Ujarku saat ia meraih karet CD. Kiana mengangguk, pandangannya ke lantai, sama sekali tak berani menatapku. Aku berjalan mendekatinya, lalu berdiri di depannya. Jarak kita begitu dekat karena aku dapat melihat bulu halus di sepanjang lengannya berdiri.
Oh! The way her body respon to me. Gosh!
"Lu mau ini kan?" Bisikku tepat di telinganya. Aku maju lebih dekat, ku tempelkan organ intim ke tubuh telanjanh, ku dengar jelas dan keras suaranya menelan ludah.
Lebih berani, ku bawa tangan lentik untuk menyentuh gundukan dari luar celana.
"Kok nggak dijawab?" Tanyaku, menuntun tangannya bergerak naik turun di atas tonjolan.
"Wiiiin"
"Yes, baby?"
"Please~"
"Makanya, jawab."
"Aaaaahhh"
Desahan lolos dari mulut Kiana ketika ku paksa tangan kecilnya untuk meremas alat kelamin.
"Jawab, baby!"
"Yes.. I want you." Lirihnya dengan suara bergetar.
Aku mengambil ikat rambut di pergelangan tangan, kemudian ku serahkan padanya "Ikat ponytail rambutnya, nanti mau gw pakai jadi pegangan pas main posisi doggy."
Tanpa menunggu jawaban, aku berjalan menjauhi tubuh telanjangnya. Membutuhkan ruang untuk mempertahankan pengendalian diri. Karena jika melakukan sesuai yang ku mau, aku sudah memperlakukannya sebagai budak seks tanpa mempedulikan apa ia menikmati atau tidak.
"Kalo udah nyusul ke balkon ya."
"Excuse me? You want me naked like this at the balcony?" Kekagetan terdengar jelas di suaranya.
"Jangan khawatir, tembok pembatasnya tinggi kok. Nggak akan kelihatan kecuali dari kamar apartement yang lebih tinggi di tower sebrang."
"I am not comfortable with that!"
"Well.. Tadi kan sudah ngikutin fantasy kamu, sekarang gantian biar adil. Nggak akan separah digrepe Ronan di depan orang-orang. Udahlah! Pokok keluar susul gw setelah lu iket tu rambut."
Aku biasanya bukanlah orang yang kasar, hanya saja Kiana sangat pandai mengeluarkan sisi terburuk dariku. Memunculkan mood berlaku kasar.
Keluar dari kamar, ku hirup nafas dalam-dalam. Menenankan gejolak hormon yang semakin mengkonsumsi kewarasan.
Aku duduk di sofa yang tadi menjadi tempat persembunyian, ku buka segel kaleng beer lalu menenggak setengah dari isinya. Berharap alkohol bisa membuang ketegangan di sekujur badan.
Setelah habis sekaleng beer di genggaman, Kiana keluar dari kamar, matanya terpaku padaku, tak sekalipun melihat sekitar atau menampakkan rasa takut seperti sebelumnya. woaaah apa yang tiba-tiba mengubahnya? kagetku.
"Duduk di sini." Aku menunjuk lantai di antara kaki. Kiana duduk bersimpuh, wajah cantiknya tepat di atas selangkangan, dan aku tak pernah terangsang separah ini.
"Liat gw." Kiana mendongak, menatapku, "Pernah blow job, kan?" Tanyaku, ia membuang muka, menggeleng dengan malu-malu, kemudian blushing. Sepertinya baru menyadari seberapa dekat wajahnya dengan kemaluanku, ia memundurkan kepala dengan terburu-buru hingga badannya terhuyung.
Ku pegangi pundaknya, and she is blushing harder. Gosh! I can't hold any longer
She got sexy body, pretty face and cute personality. What a dream combination.
"Nggak pernah." Lirihnya malu-malu.
"Sumpah Ronan melewatkan banyak hal, bodoh banget."
"Jangan ngatain ronan! Dia tuh baik, tau caranya respect sama cewek, nggak kayak lu."
"Oh yesh! Acting like a good GF now, ngebelain pacarnya. Padahal lagi di posisi kayak gini." Ku tarik kepalanya mendekat, wajahnya menempel ke pangkuanku, ku gerakkan pinggul, ku gesek-gesekkan kelamin ke wajah ayunya.
"And believe me, I know how to respect woman, you just need to earn it. Now, pay attention. Gw ajarin cara ngenakin lelaki, biar Ronan makin cinta."
"Can't we leave his name out of this? Nggak bisa kah, ajarin cara bikin lu enak? Gw perhatiin daritadi sengaja banget mau bikin ngerasa murahan. Inget ya Win, gw bukan satu-satunya penghianat di sini."
And that's how she earns my respect.
Ku usap lembut pipinya, ku mainkan jari di sekitar daun telinganya, "Alright, I am sorry." Ujarku. Kiana membuang nafas panjang, wajahnya ditempelkan ke telapak tanganku.
"Go on then. Please me, baby. Buka sabuk gw, turunin celana sama boxernya." Ku letakkan jari telunjuk di bawah dagunya, "mata jangan ke mana-mana, liat gw."
Kiana melakukan semua yang ku suruh, ia berhasil mengeluarkan 'burung' dari dalam sangkar tanpa sekalipun memutus kontes saling memandang. Bersamaan dengan itu setan di dalam diriku ikut keluar, birahi memegang keseluruhan kendali.
Kiana memegang panjangku dalam genggaman hangat, tangannya naik turun dalam tempo pelan. "How it's feel?" Tanyaku sambil menggerayangi bahu dan lehernya. Ia memejamkan mata, aku benar-benar tersihir oleh cara tubuhnya merespon sentuhanku. Seolah sudah menginginkan ini sejak lama.
"Hard, and warm. You are so big, I never see anything like yours."
Oh shit! She knows how to answer.
A girl who knows how to flirt, wow. Aku tersenyum kecil, ku bawa tangan menyusuri bibir bawahnya, turun mengkup wajahnya, lalu menenggelamkan tangan di rambutnya. Ku tarik mendekat wajah Kiana.
"Go on, lick it baby. Jilat kayak lagi makan permen lolipop, pas masih kecil pernah jilat lolipop kan?" Kiana mengangguk, kemudian mengikuti instruksiku dengan cekatan.
Sentuhannya sangat jelas amatur, dan jilatan lidahnya ragu-ragu, belum berani. Oh shit! Aku berkesempatan memperawani mulutnya.
"Masukin, baby." Ku dorong perlahan panjang tegang. "Simpan giginya di belakang bibir, terus masukin ke dalam mulut, makin banyak makin bagus."
"Can I kiss him first? I like to give kisses to my lollipop." Tanyanya polos, tapi terdengar menggoda di kupingku. She called my penis 'him'. This is bad, she is bad.
"Go on, lakuin yang lu pengen. Try to not hurt me oke."
Kiana benar-benar mendengar permintaanku, ia mencium dengan lembut ujung hingga pangkal, satu tangannya memompa naik turun panjang, tangan yang lainnya meremas-remas testis. Aku bersusah payah mengatur nafas, agar tak terlalu cepat keluar.
Ia mulai memasukkan ujung berwana pink ke dalam mulutnya, tatapan penuh nafsu bertemu dengan ku. Otot perutku menegang menahan sensasi.
Pelan-pelan kepalanya mengangguk-angguk, panjangku keluar masuk, mencumbu mulut hangat. Semakin lama, tempo permainan semakin cepat, Kiana semakin berani, tanpa ku tahu keseluruhan panjangku sudah masuk sangat dalam.
"Holly fuck! Baby! You are good. Yes!!! Like that fuck! Errrrmnghh."
Ku tangkup wajahnya, ku gerakkan pinggangku, hisapan mulutnya seperti candu yang membuatku melupakan dunia.
Once again, sorry bro. Tapi ada gaya tarik menarik yang sangat kuat antara gw sama pacar lu.
Otot perutku semakin kaku, ku tahu ejakulasi sudah sangat dekat. Kiana menggeser tangannya naik, mengelus otot perut. Aku menggerakkan pinggul lebih gila, ia menerima serangan di mulutnya tanpa mencoba menghindar, matanya merah dan berair, aku tahu ini pasti menyakitkan untuknya.
Cairan sperma sudah di ujung tanduk, ia menggeser badannya lebih maju, kedua tanganya di pinggangku, memasukkanku lebih dalam.
Ku pilin keras putingnya saat menumpahkan keseluruhan isi. Cairan sperma menyembur berkali-kali.
Meski tersedak karena kurang pegalaman, ia tetap menelan habis tanpa sisa.
"Wow! Why are you getting hard again?" Tanya Kiana, mengembalikanku ke kenyataan.
"I don't know, I never feel this way."
"Good thing tho, I am drenched down there."
"Climb baby, ride me."
Malam itu Kiana dan aku berhubungan badan dalam semua posisi, missionari, aku melakukan penetrasi sambil bermain dengan klitnya. Doggy, ia telungkup dengan bokong tinggi di udara sementara aku menghajarnya dari belakang. By a wall, on bed, at the bathroom, everywhere.
Semakin lama permainan, aku lebih susah keluar. Kiana berkali-kali squirting membasahi sofa dan bed cover ku.
Pekat bau sex sangat jelas memenuhi kamar. Langit di sebelah timur mulai bersemburat orange, tapi nafsuku belum ada tanda-tanda mereda.
Aku berlutut di atas tempat tidur, kiana di pangkuan, menggoyang pinggulnya dengan sensual.
Tangan kiriku melingkar di perutnya, memeluk erat-erat. Sementara yang kanan meremas-remas payudara, sesekali mempermainkan puting. Setelah semalaman bercinta, kini aku tahu, Kiana akan menggila saat aku menyodokkan jari tengah ke putingnya.
"Win I am close, please... please harder."
Ku eratkan pelukan di perutnya, ku percepat tempo permain, jalanku mulus karena ia sangat basah, dinding vaginanya meremas nikmat. tak lama tubuh kiana kelojotan, bergerak tak terkendali, ia kembali orgasm. Cairan hangat mengucur, otot vaginanya seolah akan memeras panjangku.
Ku jatuhkan tubuhnya ke kasur, lalu berlutut di belakangnya. Kedua tanganku memegangi pinggulnya, ku angkat bokongnya tinggi. Kiana pink, mengkilat, basah, dan sangat membuka diri.
Dengan tidak sabar ku masukkan batang tegang, sensai hangat berada di dalamnya membuat mataku terpejam. Sambil mencumbu lubang senggama, ku remas bokong putih mulus, kemudian dalam suatu posisi, remasanku membuat lubang anusnya terbuka.
Dan aku sekali lagi menyerahkan diri pada nafsu birahi.
KIANA POV
Tubuhku lemas seperti tak bertulang, kelelahan menguasai, namun anehnya badanku terasa ringan, seolah aku akan terbang.
Aku kehabisan tenaga bahkan untuk menopang diri sendiri, setelah dihajar semalaman dan multiple orgasm sekarang tak lagi sanggup menopang badan. Tangan Wintari di pinggangku dan organ intim yang masih menyatu adalah satu-satunya tumpuan yang masih membuat posisiku bertahan.
Di bawah sana, ku rasakan ia menarik keluar panjang penis hingga tersisa ujungnya saja, lalu ia melakukan penetrasi dengan satu hentakan keras dan kasar, menohok jauh ke dalam perut.
"AAAAAAh!" Teriakku kencang, sebelum bisa menahan diri. "Please Win, aku masih sensitif banget."
Permohonan ku seperti menemui telinga tuli, Wintari mengulang aksi itu beberapa kali.
Padahal semejak pindah dari balkon, ia sudah memperlakukanku dengan lembut. Penuh perasaan dan kita berhubungan badan dengan sangat intim.
"Win~" Rengekku ketika ia tak juga berhenti.
"Tahan bentar." Ucapnya terengah, penuh nafsu. "Gw belum keluar." Aksi tadi diselingi tumbukan cepat, ia bermain dalam ritme permainan memusingkan, hingga teriakan sakit berubah menjadi lenguhan.
"You are a monster!"
"Yes baby, you can call me monster."
Aku larut lagi dalam permainannya, dengan sisa tenaga ku angkat pinggul tinggi-tinggi, menyambut penetrasinya.
Suara kecipak basah menggema di dalam ruangan, membuatku takjub, sebegitu ahli dia mempermainkan birahi.
"Oh God! Gw mau nyampe lagi Win anghh."
Wintari mengeluarkan panjangnya dari vagina, aku membuka mulut untuk protes, namun langsung terbungkam sebelum dapat mengatakan apa-apa. Wintari memasukkan kemaluannya ke dalam lubang dubur.
"No! Ughhh! Wiiiiinn sakit."
Aku menurunkan pinggang, mencoba menghindar. Wintari meremas erat pinggulku, mengunci tubuhku tetap di tempat.
"I'll go slowly, tapi jangan menghindar, nanti makin sakit."
"Keluarin Win, sakit banget."
"Udah nggak mungkin, dikit lagi."
Aku tahu ia bohong, karena hanya ujungnya saja yang terasa di dalam.
Wintari menjatuhkan tubuhnya di atasku, mengungkung tubuhku dengan hangat, tangannya mengusap lembut setiap inchi kulit ku, eremas pelan buah dada, bibirnya mengecup punggung, leher, hingga daun telinga.
"Fuuuuuck! Rapet banget." Umpatnya saat menenggelamkan wajah di tengkuk ku. Penis berukuran panjang itu dengan pelan tapi pasti masuk semakin dalam. Lagi-lagi aksi dan kesabarannya membuahkan hasil.
Panjangnya sudah masuk keseluruhan, meski lubang anusku serasa menganga lebar, aku menikmati perasaan penuh.
Ku gerakkan pinggul menginisiasi permainan, tangan Wintari bermain di area vagina. Jari dua jarinya menggelitik labia, naik turun berselancar di permukaan licin.
Tak berapa lama nafsunya menang, mengambil alih tubuhnya. Wintari memelukku erat, gerakan pinggulnya acak tak berirama.
"Aku mau keluar." Ucapnya diantara erangan.
"Mainin klitorisku Win, keluar bareng."
Jari tengangnya membuat gerakan memutar, menghajar klitoris, kedutan itu kembali, penetrasi di anus ternyata lebih memberikan rasa penuh dan memabukkan melebihi vagina.
Gerakan pinggulnya semakin cepat pendek-pendek, seluruh otot di tubuhnya menegang. Peluknya semakin kencang.
Tangannya menggesek klitoris di tempat yang tepat. Tak lama ia memuntahkan cairan kental di dalam sana.
Semburan hangat di lubang pantat membuatku squirt, menyemburkan cairan bening, membasahi kasur.
Wintari membenamkan wajahnya di punggungku, semburan sperma semakin lama menjadi pelan. Dan kurasakan penisnya menyusut di dalamku. Itu adalah pengalaman paling intim yang pernah ku rasakan.
Semalaman ku biarkan Wintari mencumbu semua bagian privat, dari lubang senggama, mulut, belahan buah dada, hingga anal. Setelah ini aku tak akan pernah bisa kembali ke diriku sebelum ini semua terjadi.
Setelah kembali dari nirwana tubuhnya ambruk di atas kasur. Aku menyusulnya, merebahkan badan, kepala berbantalkan lengannya. Nafas kita berdua memburu, ku geser tubuh kelelahan lebih mendekat padanya. Nothing's feel better than cuddle after rough sex.
Tubuhku relax dalam peluknya, rasa kantuk mulai mengambil alih. Lalu tiba-tiba Wintari melompat dari tempat tidur. Seolah baru saja mimpi buruk. "Kenapa?" Kagetku.
"Nggak apa-apa." Jawabnya dingin dan kaku, nadanya sama seperti berjam-jam yang lalu saat ia belum pernah di dalamku.
"Trus, mau ke mana?"
"Pergi." Singkatnya, aku bangkit dari kasur. Hilang sudah rasa kantuk. Ku raih selimut untuk menutupi ketelanjangan.
"Why?
"Udah mau pagi. Coba liat ke luar." Ketusnya
"No Wintari, comeback here!"
Ia tak mengindahkan perintahku, tetap berlanjut mengenakan pakaian. "Udah mau pagi, Kiana. Waktunya bangun dan balik ke hidup masing-masing."
"Gw nggak akan bisa balik ke kehidupan sebelumnya. Ada alasan kenapa gw bersedia sampe sejauh ini sam lu. Please Wintari balik ke sini."
"I told you from the very start, this will only about physical. Kenapa nggak bisa balik ke hidup sebelum malam ini? Lu punya Ronan."
"Gw akan seleseiin urusan sama Ronan, please balik ke sini." Mohonku sambil menahan tangis.
"Naah.. Lu liatkan, gw nggak kayak manusia pada umumnya. Dan jatuh cinta Cuma bertahan hitungan bulan, Kiana. Setelah itu lu akan capek dan liat gw sebagai orang aneh.
"I would never."
"Yeah.. Kalo di awal semua orang akan bilang gitu. Udahlah, balik ke kehidupan lu. Gw gak percaya Cinta."
"Win!"
Frustasi membuat air mataku mengalir deras, Wintari sudah selesei berpakaian, dan berdiri dekat pintu.
"Gw pernah diselingkuhin, itu menyakitkan. Gw nggak akan mampu bertahan kalau sampai kembali diselingkuhin dan gw gak bisa percaya sama lu. Karena nggak ada jaminan, gw gak akan bernasip sama dengan Ronan."
And that's hurt, so much. Penjelasannya amat sangat menyakitkan, hingga aku hanya menangis saat ia menginggalkan ruangan.
Rasa sakitnya menyayat menyakitkan hingga aku berharap pil KB ku tak bekerja, agar aku dapat menyiksa hidupnya dengan menuntut pertanggung jawaban.
-0-
Pagi menjelang, aku tak tidur semalaman. Setekah mandi dan beberes, ku putuskan bahwa aku tidak mampu menanggung beban menjadi penghianat dan penolakan sekaligus. Jadi aku memilih untuk menjadi egois.
Selesei mandi aku berdandan, lalu mengajak Ronan untuk makan siang di luar. Setelah perut kenyang, aku mengutarakan maksut ku mengajaknya keluar.
"Ronan, let's stop fooling around. You are lovely guy, you deserve to be loved by someone who's really love you." Ronan menyungging senyum kecil penuh makna.
"Kenapa, Kian? Kok tiba-tiba? You are tired of me?"
"I am tired of trying, Ronan. I am sorry." Lelaki di hadapanku terlihat terpukul, ia membuang nafas panjang.
"Oke, kan memang dari awal kita nggak pernah official. Makasi selama ini sudah mengusahakan. Aku harap kamu nemuin orang yang bisa buat kamu jatuh cinta. Because love is beautiful, Kiana."
Sebegitu mudah ia mengabulkan keinginanku. Kita mengakhiri hubungan dengan pelukan singkat. Lalu pulang dari restoran secara terpisah.
Sekarang, sisa satu luka yang harus ku obati.
Luka yang mungkin membutuhkan seumur hidup untuk sembuh.
-0-
KAMU SEDANG MEMBACA
Sobat
FanfictionCerita adalah fiksi, jangan dikaitkan dengan idol asli Cerita tentang Kiana yang menyimpan rasa suka pada Wintari, teman sekelasnya dan juga gitaris band kampus bernama Capricorn. Wintari yang pendiam cenderung dingin tak sekalipun meliriknya, bahka...