Awal Bernostalgia

56 14 2
                                    

Happy Reading...
.
.

"Ini tugas atau cobaan, sih? Kok berat amat," gerutuku mencoret-coret buku dengan mata pelajaran matematika yang kini ada di depanku. Tidak biasanya begini, aku harus mengerjakan tugas setiba di sekolah. Seharusnya dikerjakan kemarin, tapi aku tidak paham dengan matematika. dan sekarang, aku harus mengerjakannya dengan meninggalkan waktu sarapan. Menyebalkan sekali.

Seseorang memasuki kelas yang langsung membuat mataku berbinar. "Septiya... Kamu memang malaikat pelindung di waktu yang tepat,"  seruku sambil merentangkan kedua tangan ke arahnya.

Septiya yang melihat itu memutar kedua matanya, seperti sudah tahu apa tujuanku.

Septia meletakkan tasnya lalu duduk di atas kursi yang ada di sebelahku. Aku masih saja menatapnya dengan senyuman manis yang dari tadi tidak hilang. Oh ayolah ini sangat langka, aku jarang tersenyum seperti ini pada orang lain, tapi pada septiya... sangat sering. Itu kulakukan ketika meminta tugas saja, selebihnya... maaf, aku anti tersenyum.

"Apaan sih sok imut," sarkas Septiya lalu mulai mengahadap ke belakang mengambil satu buku tebal miliknya dan memberikan padaku.

"Ya Tuhan, memang sahabatku lah yang terbaik. catatlah pahalanya!" ucapku mengadahkan tangan, berdoa. Septiya yang melihat itu kembali memutar bola matanya. Septiya memang seperti itu, ia selalu memutar mata, membesarkannya bahkan menatap sinis tampa berkedip selama satu jam. Bercanda, itu sangat tidak benar. Tapi bagaimanapun dia tetap sahabatku yang ada di saat susah senangku. Sebenarnya bukan dia saja masih ada satu lagi, tapi dia belum datang.

Aku mulai mencatat pekerjaan yang seharusnya ditugaskan untuk di rumah, tapi tidak apa-apa. Tidak akan ada yang mengadu, santai saja.

Dua menit saja, hanya dua menit aku sudah selesai mengerjakannya. Ya, namanya menyalin tentu saja cepat, coba saja memahaminya aku pasti tidak akan merasa cukup dengan waktu satu jam. Berlebihan bukan? Itu benar aku lemah pada mata pelajaran matematika.

"Sarapan, yuk!" ucap Septiya setelah memasukan kembali bukunya ke dalam tas, begitu juga denganku. Mendengar ajakan Septiya aku mengangguk lalu berdiri untuk ke kantin. Mengisi perutku yang mulai merasakan lapar.

Setiba di kantin, kami memilih tempat duduk dengan meja bundar di sudut sebelah kiri. Kenapa di sana? Karena di sana kita bisa makan dengan menatap pemandangan yang penuh dengan hijaunya padang rumput dan beberapa pohon kelapa. Bisa dikatakan kalau sekolah kami terletak di kawasan yang masih bersemak-semak dan tanaman lainnya.

Septiya mulai memesan sarapan untuk kami. Aku memilih memainkan ponsel sembari menunggu pesanan yang akan dibawakan Septiya.

Aku membulatkan mata setelah membuka ponselku. Ada puluhan pesan yang dikirim Erick—pacarku satu tahun ini—yang tidak kusadari kapan masuknya.

Semua pesannya hanya menanyakan keberadaanku, kabar dan apakah aku sudah makan. Jika dilihat semua pesan yang pernah kami ketik, kalian pasti merasa bosan. Tidak ada hal yang menyenangkan di dalamnya. Semua hanya pertanyaan seperti yang aku katakan sebelumnya.

Puluhan pesan yang masuk tetap saja menanyakan di mana aku sekarang. Malas membalas pesan yang dikirimkan Erick, aku keluar dari room pesan, tanpa berniat membalas walau hanya dengan satu kata.

Septiya datang dengan membawa dua nasi goreng di tangannya. Kami mulai menyantap setelah aku mengucapkan terima kasih padanya.

Kantin yang sekarang aku dan Septiya datangi adalah kantin yang posisinya berada di dalam kawasan sekolah SMA Generasi Bangsa. Sekolah swasta dengan siswa unggul terbanyak keempat di Ibu Kota, tapi juga tidak luput dengan murid bandel hampir setengah siswa pelakunya.

Oktober ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang