4. Off Agony, We Have To Break The Cycle

999 75 0
                                    


Wintari POV


Satu Kebohongan melahirkan kebohongan yang lainnya.

Semula aku berbohong pada seseorang yang ku anggap asing, menghina dia dan ketulusan di suaranya saat memintaku untuk tetap tinggal. Ku samakan dia dengan mantan yang manipulatif dan hobi selingkuh.

Sepulang dari manggung di Surabaya, aku berbohong pada anggota band. Menggunakan orang tuaku sebagai alasan, untuk pergi dari markas dan pulang ke rumah. Semua itu karena rasa tidak nyaman berada dekat dengan Ronan. Setiap kali melihatnya aku teringat Kiana, dan setiap mengingatnya aku teringat banyak hal yang tidak sepantasnya muncul di pikiranku yang berstatus sahabat Ronan.

Dan sekarang, ntah bagaimana, di tengah-tengah binge watching My Lovely Liar dengan Ninda, aku terpaksa berbohong padanya juga. Kebohongan yang sama dengan yang ku ucapkan pada Kiana, saat meninggalkannya di atas tempat tidurku.

Ninda tahu keseluruhan cerita, tentu saja tidak semudah itu percaya, ia mengorek dan terus mengorek jawaban, hingga aku tak bisa menjawab, lalu berlari ke kamar mandi. Merunduk di atas watafel, memuntahkan is perut.

"Ini, minum air hangat dulu." Ninda masuk ke kamar mandiku, tangan memegang segelas air mineral. Lalu meletakkan di dekat wastafel. Aku melirik ke kaca, sebelum kembali tersungkur di atas wastafel. Untuk beberapa waktu, ruangan kamar mandi kembali dipenuhi suara penderitaanku.

"Sssssttt kalem kak, lu bahkan nggak punya apa-apa lagi buat dikeluarin." Ku rasakan Ninda mengusap punggungku, sabar dan penuh pengertian. Berbeda jauh dari rentetan pertanyaannya menyudutkan yang membuat kepala keliyengan.


Ninda benar, tak ada lagi yang bisa ku keluarkan. Ku cuci mulut, lalu perlahan meneguk air hangat yang Ninda bawa. Bokong bersandar pada marmer dingin wastafel, membantu kaki yang seperti tak sanggup lagi menjadi tumpuan.


Jantungku berdegub kencang, tekanan darah menuju kepala sepertinya melaju dalam kecepatan tinggi, kepalaku pusing, tubuh lemas seperti tak punya daya.


"Lu tau kak, kayaknya badan kakak nggak sanggup manggul banyaknya bullshit yang udah dibuat. Jadinya gini deh, lu muak sama diri sendiri, sampai nggak sanggup bohong lagi. Itulah kenapa bohong gak baik kak, ngerusak badan lu dan akhirnya mental juga kena."

Ceramahan Ninda pedas dan tepat sasaran. Menyakitkan memang, tapi di waktu yang sama juga membebaskan. Aku lelah lari, lelah mengingkari. Aku bersyukur ia menemukanku, tanpa prasangka.


"Kak Kian lho udah cerita semua, meski harus dibikin mabuk dulu buat jujur. Dan semuanya kek potongan puzzle yang jatuh ke tempatnya buat gw. Dari lu yang tiba-tiba menarik diri dari gw, trus lebih sering ngurung diri, puncaknya lu pulang ke rumah ini. Pertanyaan gw terjawab semuanya." Terangnya, aku bahkan tak bisa lagi terkejut Kiana membuka keburukanku di depan Ninda, aku pantas mendapatkan itu.

"Kamu punya pertanyaan apa?" Tanyaku, yang saat ini hanya peduli akan pendapat Ninda tentangku, alih-alih kisah cinta tak jelas itu.

"Kenapa lu milih hidup menderita. Kenapa lu nggak jujur aja? Terutama sama gw. Ini cuma gw lho." Ucap ninda penuh penekanan, sambil menunjuk dirinya sendiri. Aku tahu ia kesal karena aku seperti tidak percaya padanya.

"Nggak tau, Nin. Mungkin dengan menghindar aku berharap hati ini jadi percaya kalau aku nggak tertarik sama dia."

"Why? Kenapa kakak ngelawan yang kakak rasain?"

"Ntahlah Nin."

"Karena bang Ronan? Mereka berdua udah selesei."

"And that's because of me. Gimana mungkin gw menjalin hubungan sama mantan Ronan? Dan memulai hubungan dari sebuah penghianatan." Sesalku, mengeluarkan satu persatu unek-unek dari dalam dada.

"But you are attracted to her. Arent you?" Tembak adikkku, to the point.

"I am..." Aku membuang nafas panjang, "So much. It's killing me." Ucapku lirih.


Mengatakan sebuah kejujuran yang coba ku ingkari berefek seperti sihir. Tubuhku gemetar, dan air mataku menetes sebelum bisa ku tahan. Beban berat yang menyesakkan seolah keluar bersama derasnya air mata.


Ninda menepuk-nepuk pundakku. "Then go for it." Ucapnya setelah aku agak tenang.


"It's not that easy, Nin."
"It is, Everything is hard until it's done. Out of all people, you should know that."

Aku menghela nafas, Ninda memegangi lenganku lalu menuntunku keluar kamar mandi, berjalan ke tempat tidur. "Dulu juga kakak mikirnya nggak bisa kan hidup tanpa cewek sinting itu, dulu kakak mikir nggak ada orang yang bisa menerima kakak kecuali dia, but look at you now!"

"Liat bagian yang mana? Aku yang jadi penghianat, yang akhir-akhir ini nggak bisa makan, muak sama diri sendiri, sering bohong ke semua orang?" Aku duduk tertunduk, tenggelam dalam lautan penderitaan, merasa seperti orang yang paling menyedihkan di dunia.

"No stupid. Liat ternyata lu masih hidup meski tanpa dia. Sekarang orang tua lu udah nggak menentang Capricorn, Band lu punya jutaan pendengar bulanan, manggung offline keliling Indonesia. Please, buka mata lu kak."

Ucapan Ninda terasa seperti tamparan tangan raksasa, melempar tubuhku dari gelap penderitaan. Pikiranku mulai terbuka dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa ku lakukan untuk memperbaiki keadaan.

Aku mendongakkan kepala menatap adik ku, seluruh otot di wajahnya tersenyum, Dan itu menenangkanku. "The one who have to break the cicle to get out of this misery is yourself, kak. And I have faith in you. Kakak sudah pernah melewati banyak hal menyakitkan, dan pasti bisa ngelewati ini juga." Ucap Ninda, sambil memelukku. Aku membalas pelukkannya, dalam hati memiliki tekat baru. Aku akan mengakhiri penderitaan ini.
-0-


POV ORANG KE-TIGA

"Akhirnya! Kali ini ketangkep lu!" Suara Ronan menggema di dalam apartemen, pada suatu pagi yang dingin. Wintari mengernyit, meloncat kecil karena kaget dengan suara keras yang tiba-tiba memecah keheningan.

Kertas-kertas di meja menjadi sedikit berantakan setelah terlepas dari genggamannya.

"Anjir lu bikin gw jantungan, bang!" Seru gitaris Capricorn itu, suara terdengar kesal.

Ronan berjalan mendekat, ia nyalakan lampu kamar Wintari, cahaya terang membuang keduanya menyipitkan mata. Kamar yang masih tetap bersih dan tak berubah meski sudah 3 bulan tidak dihuni.

"Apaan tuh? Ngapain lu pagi-pagi buta mengendap-endap ke atas." Selidik Ronan.
"Gw gak mengendap-endap. Lu pada yang males, jam seginimasih molor."
"Elu tuh yang sengaja dateng pagi-pagu banget, diem di kamar cuma pake lampu belajar, itu biar gak ketahuan? Lu menghindar dari kita kan, Win?" Debat Ronan, Wintari sedikit merasa bersalah, tapi ia memiliki alasan melakukan yang ia lakukan. Dan menghindar bukanlah salah satunya.

"Lu ngomong apa sih, ngaco!"
"Alaaaaaah!" Seru Ronan, tak mempercayai Wintari.

"Alaaaaaah!" Mimik Wintari, menirukan nada mengejek Ronan, kemudian keduanya tergelak. Menertawakan selera humor mereka yang aneh.

"Abisnya akhir-akhir ini gw sama anak-anak cuma bisa ketemu lu di our sold out show."

Wintari selesei dengan berkas-berkasnya, kini kerta-kertas itu sudah di-klip rapi menjadi 4 bagian.

"Sibuk gw, beresin ini." Ia mengangkat tangan yang memegang berkas ke depan, lalu mengulurkan ke Ronan.

"Apaan nih?"
"Buat lu."


Vokalis Capricorn itu dengan ragu-ragu mengambil berkas yang disodorkan. Matanya membelalak setelah membaca kertas apa yang diberikan oleh Wintari.

"Are you nuts?! This is for me? Why?" Teriak Ronan, tangannya dengan cepat membalik lembar demi lembar. Mulutnya terbuka lebar, tak mempercayai apa yang digenggaman.

"Ini berkas hak cipta lagu-lagu hits bikinan lu, dan branding band, atas nama gue? Why? Kenapa gue?" Ronan setengah panik, terus-menerus sibuk membolak-balik kertas di tangannya.

"Because you deserve to be our leader. Gue udah bicarain ini sama yang lain, dan mereka setuju. Kita percaya lu yang paling adil."
"Kapan lu ngobrol sama mereka? Nggak pernah liat gue."
"Di GC lah, kalo ngobrol langsung ntar lu tau, trus lu besar kepala, trus lu nyebelin, akhirnya males dah kita sama lu, berakhir batal daftarin brand."
"Bangsat lu pada bikin GC yang gak ada gue nya?"
"Ups."

Wintari melangkah mundur sambil mengangkat kedua tangan di samping kepala, tau seberapa sensitif persoalan left out ini untuk Ronan yang selalu cerewet mengurusi semua member.

"And also, apa ini? kenapa 3 lagu ini atas nama gue? Kan ini ciptaan lu?"
"Karena gw kasih ke lu."
"Kenapa lu kasih ke gw?"
"Karena gue bisa ngasih."
"Ya kenapa kok bisa lu kasih ke gw? Royalti lagu-lagu ini akan masuk ke gw kalau kayak gini."
"I know."
"Trus?"
"Ya nggak terus terus, anggap aja hadiah."
"Hadiah buat apa?"
"Buat semuanya, kebaikan lu, kesabaran lu, karena udah percaya disaat orang tua gw aja meragukan gw."
"Ini nilainya ratusan juta Wintari."
"Pahaaaaam. Lu lebih butuh itu dari gw, you know... Biar lu bisa bawa ibu ke RS yang bagus, bang."
"Wintari!"

Suara Ronan serak, terlihat berusaha keras menahan tangis haru.

"God is good, bang." Ujar Wintari sambil menepuk-nepuk punggung laki-laki yang sedang menunduk, mencoba menyembunyikan tangis. "Gue juga minta maaf kalo selama ini banyak salah sama lu. Suka kurang ajar atau nyakitin lu."

Permintaan maaf Wintari memang tak menjurus dan tak menyebutkan kesalahannya secara spesifik. Tapi efek kelegaan yang dimunculkan setelah menghadapi rasa bersalahnya itu bekerja seperti keajaiban pada badannya. Nafas terasa lebih leluasa, bersama Ronan masih membuatnya merasa kecil dan hina, tapi tak separah sebelumnya.

"Gw nggak bisa nerima ini, ini hak elu, Win." Isak Ronan.
"Yes you can, it's already yours. Dan gw bisa bikin lagu hits kapan aja. Gampang itu."

Ronan tergelak, lalu menoyor gadis yang baru saja menyombong. "Thank you, Win."

"Believe me, gw ngelakuin ini lebih buat kegoisan gw daripada buat lu. Jadi nggak usah terlalu berterimakasih, cuman janji sama gw bang, bawa ibu berobat."
"I will. Ini gw terima ya?"
"Yep. Nih map buat nyimpen berkasnya. Masukin yang bener."

Ronan menyimpan berkas-berkas yang kini menjadi hidupnya itu dalam sebuah map mahal berwarna hitam. Kemudian untuk pertama kalinya, bertemu mata dengan Wintari.


Meski matanya masih dihiasi genangan haru, wajah laki-laki itu nampak sumringah dan sangat bahagia. Pagi ini keduanya kehilangan beban berat yang selama ini dikhawatirkan.

Ronan merentangkan tangan untuk memeluk Wintari, yang satu siap menerima sebagai tanda berakhirnya pergulatan batin, tapi kemudian Ronan berhenti di tengah jalan. Rautnya drastis berubah, seolah petir tak kasat mata menyambarnya.

"Holly shit Wintari! Buruan bantuin gue!"

Panik Ronan, melompat keluar dari kamar dengan kecepatan cahaya.

"Bantuin apa, anjir?!" Kaget Wintari.
"Keluarin motor gw! Trus pake helm lu, tunggu di parkiran, gw mau simpen ini dulu." Teriak Ronan, mengangkat map hitam ke atas kepala sembari berlari gelagapan menuju kamarnya sendiri.

Wintari tak memiliki waktu untuk berpikir, ia segera berlari keluar apartemen, mengenakan helm di kepalanya. Untung di pagi-pagi seperti ini mobilitas penghuni apartemen masih tidak banyak, jadi dia tak perlu menunggu terlalu lama untuk sampai di parkiran lalu menunggu Ronan tepat di depan lift parkiran.

-


Honda verza berwarna merah yang dikendarai Ronan dengan Wintari di boncengan melaju cukup kencang. Menghindari grobak-grobak abang sayur yang baru pulang dari pasar, membawa dagangan untuk dijual di komplek perumahan.

"Kita mau kemana sih? Penting banget kah?"
"Penting banget, nyet. Ada temen minta tolong, motor dia mati di tengah jalan. Tadi gw bilang otw, tapi trus lu ngalihin pikiran gw."

Laju motor yang kencang membuat Wintari harus mencondongkan badannya kedepan agar bisa mendengar suara Ronan, tangannya meremas erat pundak yang sedang mengendalikan setir, mulut komat kamit membaca doa agar Tuhan menyelamatkan perjalanan mereka.

"Win, nanti lu yang bawa motor dia ya? Biar dia bonceng gue."
"Kenapa?"
"Temen gue cewek, mana bisa dia bawa motor sambil didorong."
"Yah bang! Gue juga cewek."
"Tapi kan lu bisa."
"Bangke lah bang."
"Kenapa nggak lu aja? Biar gw bonceng tu cewek?"
"Gitu juga boleh."

Wintari awalnya hanya ingin bertingkah seperti adik perempuan yang manja, kini terbengong. Tak percaya dengan yang dilihatnya.

"Nggak jadi bang, lu aja yang bonceng dia." Seru Wintari saat Ronan menghentikan motor di dekat vespa piagio warna mint, yang sedang terparkir di rerumputan pinggir jalan, dengan Kiana di dekat motor mogok tersebut.

Oh semesta! Rutuk Wintari dalam hati.

"Hai Kian, sorry ya gue lama. Wintari nih berderama dulu." Sapa Ronan, setelah melepas helm.

"Iya nggak apa-apa, bang. Maaf ngerepotin. Ada Wintari juga ya, hai Win long time no see." Sapa Kiana, ramah seperti biasanya.

"Hai." Singkat Wintari. Dalam hati ia masih merutuki Ronan yang menyebutnya ber-derama, padahal ia bukanlah yang menangis sesenggukan.

"Nggak ngerepotin kok, ayo gw boncengin. Biar Wintari yang bawa motor lu. Di perempatan deket taman ujung jalan tuh ada bengkel khusus vespa buka 24 jam." Ujar Ronan pada Kiana. Di belakang punggung Ronan, Wintari masih menggerutu dalam hati. Otaknya menganalisis semua hal.

Wintari tahu keduanya sudah tak lagi bersama, dan Ronan sudah memiliki kekasih baru. Yang ia heran adalah, seperti tak pernah ada rasa diantara mantan kekasih ini, nada bicara Ronan pada Kiana juga monoton, seperti seorang kakak pada adiknya, tak berbeda dari nada bicaranya ke Wintari.

"Kenapa gitu, bang? gw aja yang bawa motor?" Tanya Kiana

"Jangan nanti jatuh." Jawab Wintari sebelum berpikir. Ronan memutar kepalanya dengan sangat cepat, membuat Wintari khawatir Capricorn kehilangan vokalis, karena Ronan mematahkan lehernya.

Wintari membalas tatap mata menantang, tiba-tiba ekspresi Ronan menjadi ceria, seolah baru saja menyadari sesuatu, matanya menyipit penuh kejailan, bibir menyungging senyum penuh arti. Wintari merengut, lalu naik ke atas vespa mint.

"Nanti kalo lu yang jatoh gimana? Beneran gak apa-apa lu yang bawa?" Khawatir Kiana.

"Nggak apa Kian, Wintari dah biasa jatuh. Jatuh dari motor, jatuh dari tangga, jatuh cinta tapi tak berbalas, jat-"

"Brisik! Buruan." Wintari memotong candaan orang yang sudah seperti kakak laki-laki untuknya itu. Ronan naik ke atas motor sambil tergelak.

"Kiana jangan diambil hati ya, Wintari bukan nggak ikhlas kok. Memang agak tsundere aja orangnya." Jelas Ronan.

Penjelasan yang membuat Wintari berterimakasih dalam hati. Karena ntah kenapa, Wintari tiba-tiba merasa sangat malu dan kaku. Seolah seluruh kosa kata dan rasa hilang dari memorinya, hanya menyisakan hal-hal yang membuat frustasi.


Sepanjang perjalanan menuju bengkel vespa, Wintari menghabiskan separuhnya untuk menata hati yang berantakan karena pertemuan yang tiba-tiba. Ia memang sedang memikirkan cara untuk muncul di hadapan Kiana, niatnya dengan meminta bantuan Ninda.
Ternyata Tuhan memiliki rencananya sendiri, dan di sinilah Wintari sekarang. Duduk di motor Kiana yang mati, sedang wanita yang beberapa bulan ini menjadi bunga mimpi berada di boncengan motor Ronan.


Wintari berterimakasih atas spion Kiana yang tidak diposisikan dengan benar, karena itu membuat Wintari bisa mencuri pandang, mengobati rasa rindunya setelah tak melihat wajah cantik itu selama lebih dari tiga bulan.

Kiana terlihat cute dengan rambutnya yang di sanggul ke atas. Wajah kelelahan seperti belum tidur, membuat Wintari ingin membawanya ke pelukan, sambil menepuk-nepuk punggungnya, agar bisa tidur dengan nyaman.

"WOI LIAT DEPAN OI." Seru Ronan. Wintari terlonjak tak sengaja menarik rem. Tapi kemudian dengan ahli mengambil kendali, agar tetap pada lajunya.

"Jangan ngagetin kenapa sih?"
"Lagian lu ngelamun, itu tempatnya udah nyampe. Sono masuk duluan."

Perdebatan Wintari dan Ronan khas saudara kandung, membuat Kiana tersenyum kecil.

Wintari membelokkan setir menuju bengkel yang ditunjuk Ronan, berjarak 200 meter dari mereka, ia memarkir motor di dalam bengkel, membiarkan Ronan berbicara dengan sang montir.
Berjalan ke motor Ronan, meski ia tak tahu mengapa ia melakukan itu. Seolah kakinya memiliki pikiran sendiri. Akhirnya, Wintari dan Kiana berdiri berdampingan, kaku dan awkward. Seolah dua-duanya sedang mencari topik untuk membuka obrolan.

Ronan yang sudah selesei menyampaikan keluhan motor kiana, berjalan ke arah mereka.

"Awkward banget lu berdua. Kayak gak saling kenal aja." Kata Ronan, Wintari berdecik. Kiana menghela nafas panjang.

"Dude, mind your own bussiness. Jadi gimana? Itu motornya kenapa?"
"Akinya dah soak. Bentar kok ganti aki doang. Lu tungguin ya, gue mau nganter pacar kuliah."

Wintari dan Kiana melihat Ronan dengan horror.

"Loh heh?! Gue pulangnya gimana?" Seru Wintari, memegangi setir motor.
"Minta anter Kian lah."
"Bang, tapi, bang." Rengek Kiana tak bisa merangkai kalimat dengan utuh. Hanya mencengkram erat jaket Ronan.

Tak mempedulikan dua orang menahannya, Ronan menyalakan mesin motor. Wintari mulai pasrah dengan nasibnya, sementar Kiana memegangi jaket Ronan lebih erat.


"Btw Win," Kata Ronan sambil membuka kaca helm. "Gue sama Kiana nggak pernah official kok. It was just casual."

Oh! Wintari knows what casual means. Itu artinya, mereka tidak pernah memiliki ikatan. Kiana bukan mantan pacar Ronan, jadi ia tidak menghianati Ronan. Dan Wintari sudah menuduhnya macam-macam.

"Good luck to the both of you." Kata Ronan pada dua orang yang terpaku, lalu melajukan motornya pergi, meninggalkan dua insan deep in shock.

Wintari dan Kiana saling mencuri pandang, kemudian dengan bersamaan mengalihkan mata, melihat ke arah lainnya. Gerak gerik keduanya sangat kompak seolah telah dilatih bertahun tahun. Bahkan rona merah di pipi keduanya juga sama.

Awkward.
Tegang.
Dan tak ada yang memulai topik pembicaraan.

Wintari perlahan menoleh ke samping, menghadapi Kiana. Bibirnya menyungging senyum kecil. "Untuk menyudahi penderitaan, aku harus menghentikan siklus yang menyakitkan." Pikirnya dalam hati.

SobatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang