begitu membuka pintu, perhatian Adnan terjatuh pada sepatu wanita yang asing yang ada di depan pintu. Dia kemudian melihat sekitar rumah untuk memperhatikan siapa yang ada di rumah mereka. Namun, karena tidak ada tanda-tanda siapapun di dalam rumah, Adnan masuk.
"Mama, Adnan pulang," seru Adnan berharap ibunya muncul atau minimal menjawab seruannya. Pria itu masuk ke dapur dan tidak ada siapa pun di sana. Namun, pintu halaman belakang terbuka.
Detik kemudian Kaia dengan rambut yang dikuncir berantakan dan wajah berkeringat muncul dari sana. Di tangannya dia membawa satu keranjang yang berisi sawi.
"Oh, Adnan. Kamu sudah pulang?"
Berbanding terbalik dari Adnan yang terkejut di tempatnya, gadis itu memasang senyum manis sambil menaruh keranjangnya di wastafel.
"Kamu kok gak bilang-bilang kalau kamu mau datang ke sini?" tanya Adnan, menaruh ranselnya di meja makan dan mendekat pada Kaia.
Kaia menyandarkan pinggangnya di ujung wastafel dan menatap Adnan. "Aku bilang kok. Tapi ke Mama, bukan ke kamu."
Ibunya kemudian muncul dari pintu belakang rumah sambil membawa satu keranjang berisi tomat dan cabai. Dia kemudian menaruh keranjang itu di meja makan. "Oh, kamu udah pulang?" tanya wanita sambil berbasa-basi.
"Halo, Ma," sapa Adnan singkat.
"Mama masuk dulu mau mandi," katanya lalu meninggalkan Adnan dan Kaia di dapur.
Adnan berbalik kembali ke Kaia. "Kenapa gak bilang ke aku?"
Kaia menelengkan kepalanya sambil menaikkan bahunya. "Kenapa harus?"
"Aku bakal pulang lebih cepat kalau tau kamu ada di rumah," balas Adnan.
Kaia tampak berpikir sebelum berkata, "karena itu aku gak bilang. Takut gangguin kamu kerja."
Adnan tampak curiga. "Jelas sekali kamu gak pernah kepikiran itu sebelumnya."
Kaia tertawa karena ketahuan berbohong. "Aku mau buat kejutan aja. Nih, liat. Aku sama Mama tadi abis metikin sayuran ini."
Adnan tidak memedulikan keranjang yang diangkat Kaia. Tatapan lembutnya hanya tertuju pada mata Kaia. Dia kemudian menaruh kepalanya di pundak Kaia.
"Adnan, kamu kenapa?" tanya Kaia khawatir dengan sikap Adnan yang tiba-tiba. "Aku bau abis panas-panas matahari."
Namun, adnan justru mendekatkan tubuhnya pada Kaia dan menaruh tanganya di pinggang gadis itu.
Kaia menaruh keranjang di wastafel. Tangannya ingin menepuk-nepuk kepala pria itu tapi mengurungkan niatnya karena sadar tangannya kotor terkena tanah dan getah tanaman.
"Kamu ke sini jam berapa?" tanya Adnan tanpa melepaskan pelukannya.
"Jam empat. Pas Mamamu pulang kerja, aku ke sini."
"Pantas aja kamu bau."
Komentar itu langsung membuat Kaia memberontak ingin melepaskan pelukan Adnan. Tapi adnan hanya terkekeh sambil mempererat pelukan mereka.
"Sebentar aja," kata Adnan.
Kaia terdiam. "Bagaimana kalau Mama lihat?"
Adnan hanya menggumam tidak jelas. dia baru melepaskan pelukannya semenit kemudian. Barulah Kaia memperhatikan wajah pria itu dengan seksama. "Kamu tidur berapa jam semalam?"
"tiga jam," jawab pria itu dengan nada merengek.
"Wah cowokku ternyata sangat bekerja keras," kata Kaia sambil membersihkan tangannya di wastafel, lalu melap tangannya yang basah pada belakang bajunya, dan menepuk-nepuk kepala Adnan. "Kerja bagus, kerja bagus. Tapi aku harap kamu bisa tidur setidaknya delapan jam sehari."
"Adnan, tolongin Kaia antar pulang. Dia gak bawa motor ke sini." Seru ibu adnan dari ruangan lain.
"Ah, gak papa, Ma. Aku bisa pulang sendiri." Kaia balas berseru.
"Aku antar aja," sahut Adnan.
Kaia memandang khawatir. "Tapi kamu capek banget."
Adnan menggeleng. "Aku bakal langsung tidur abis anterin kamu, kok."
Kaia menimbang-nimbang sebentar. Dia melihat adnan lalu berkata, "awas yah kalau begadang lagi."
"Gak, aku janji."
"Oke," kata Kaia. "Aku ke toilet dulu lima menit."
Adnan menunggu lima menit di sofa ruang tamu. gadis itu datang dengan wajah segar setengah basah dan rambutnya diikat lebih rapi.
"Ayuk," kata gadis itu.
Adnan mengangguk. Dia berjalan lebih dulu dari Kaia dan menyalakan motornya. Pria itu membawa motornya dengan pelan. Kaia menaruh dagunya di pundak Adnan.
"Aku senang ketemu Mamamu," kata Kaia.
"Benarkah?"
"Hu-um," kaia mengangguk. "Mamamu hangat dan selalu memandangku seperti aku adalah seseorang yang berharga. Aku harap Mamaku bisa memandangku seperti itu."
Adnan tidak berkata apa-apa. Tapi mendengar setiap kata yang Kaia keluarkan. Dia membiarkan gadis itu melanjutkan kata-katanya jika ingin dan jika tidak mulai tidak nyaman, Adnan bisa selalu mengalihkan pembicaraan.
"Mamaku bahkan gak pernah melakukan sesuatu setiap kali ayahku memukulku waktu kecil," kaia kembali melanjutkan perkataannya. "Rumahmu terasa hangat seperti matahari sore. Tapi di rumahku aku kedinginan. Di rumah, kamarku satu-satunya tempat teraman yang aku punya. Tapi di rumahmu, setiap langkah yang aku lakukan terasa aman. Mamamu merangkul semua emosi yang dia rasakan, senang, sedih, kecewa, semangat. Tapi di rumahku orang-orang hanya tahu caranya marah, kesal, dan terganggu. Karena itu aku tidak tahu bagaimana caranya membiarkan memperlihatkan sedih dan senangku pada orang lain secara spontan. Aku sering memikirkannya dulu sebelum mengekspresikannya dan rasanya seperti berpura-pura. Di rumahku, ada banyak sekali masalah. kami semua tidak baik-baik saja, tapi semua orang berpura-pura buta dan menganggap bahwa tidak ada hal yang terjadi."
Kaia terdiam. Adnan memasang telinganya sampai dia merasakan isakan tertahan gadis itu di punggungnya. Gadis itu sangat jarang membicarakan hal pribadinya. Tentu saja Adnan penasaran apa yang terjadi pada gadis itu. tapi dia tidak ingin rasa penasarannya akan membuat gadis itu justru sedih karena harus mengingat hal yang dia abaikan.
Sekarang gadis itu mulai menceritakannya dan seperti yang Adnan duga gadis itu akan sedih. Dan Adnan bisa merasakan hatinya hancur merasakan tiap isakan yang dia rasakan di punggungnya.
Adnan lantas berniat untuk menghentikan motornya, tapi gadis itu berkata, "jangan berhenti. Aku tidak mau kamu melihatku yang seperti ini."
Adnan menurut. Dia tetap membawa motornya untuk terus jalan. Gadis itu tidak lagi mengatakan apa-apa setelahnya. Adnan pun tidak bisa melihat wajah gadis itu karena tertutup kaca helm dan masker.
"Kaia?" Adnan memanggil gadis itu.
"Hm?" jawabnya,
"you okay?"
"Of course," jawabnya dengan suara ceria yang terdengar palsu di telinga Adnan.
"Kita bisa berhenti du—"
"Gak usah," Kaia memotong perkataan Adnan. "Aku mau cepat-cepat mandi di rumah. Badanku lengket semua gara-gara keringat. Oh, iya, aku kayaknya bakal tetap ke rumahmu kalau Mamamu tetap pulang jam 4. Aku masih belajar berkebun sama beliau."
Adnan masih ingin mengatakan banyak pertanyaan tapi gadis itu sepertinya belum bisa membicarakan masalahnya. Jadi dia hanya mengangguk dan berkata, "baiklah. Aku bakal tinggal di rumah aja kalau begitu besok."
"Lalu magangmu gimana?"
"Aku kan magang online. Di rumah pun gak masalah."
"Kalau begitu, aku bisa datang pagi, gak?" tanya Kaia.
"Tentu saja. Datang saja kapan pun kamu mau. Mamaku tidak keberatan kalau kamu sering berkunjung."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wheel of Fortune [Wonwoo's AU]
أدب الهواةKaianna Putri Adhisti sama seperti mahasiswa akhir lainnya yang dipusingi oleh perkara skripsi yang tidak ada habisnya. Namun di sela-sela kesibukannya itu, dia memutuskan untuk menulis sebuah novel misteri dan mewawancarai seorang pria berkacamata...