Bag 3

22 0 0
                                    

   ***Gala Benedict POV***

Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah, jarak yang terasa seperti lebih dekat dibanding saat-saat perjalanan menuju caffe, dengan hodi hitam milikku yang bertengger ditempatnya, dipaha Beca. Kala ini dimana kami masih berkutat pada pikiran masing-masing, aku kembali teringat apa yang terjadi di caffee sore tadi. Aku sudah sangat menjaga jarak, menjaga konsentrasi semaksimal mungkin supaya aku bisa terus fokus pada pekerjaan. Tapi sebagian besar mataku terus saja mencuri-curi pandang pada Beca. Entahlah, ia membuat duniaku jauh sangat berbeda dari sebelumnya.
Ia, tanpa kusadari telah menciptakan suasana baru yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Bahkan masa kecil dengan sisa-sisa ingatan yang ada dengan kedua orang tua ku. Sekian hari, sekian lamanya aku hidup sendiri, dengan kawan yang dengan sukarela menyalurkan tangan dan waktu mereka untukku, aku merasa penuh syukur dengn keramaian dan kesendirian yang kurasakan. Aku mampu beradaptasi dengan baik melewati keduanya. Dan si Beca, Beca Belatrix muncul. Rasa penasaranku tiada rasa lelah jika menyangkut dirinya.

"Be?", panggilku. Kutengok Beca sedang menutup mata. Dan perjalanan ini hanya dipenuhi suara angin dan mesin kendaraan.
"Hmm?", ia menoleh ke arahku.
Ahh, meskipun sudah berulang kali kusangkal degub-degub aneh ini yang munculnya tiada masuk akal.. tetap saja, beradu tatap dengan mata milik Beca yang berbinar-binar meskipun sedang bengong mampu membuatku hilang akal sehat dan salah tingkah bukan kepalang. Bahkan disaat aku tak mampu membendung amarah pada sikap aneh yang muncul dari diriku, aku ingin rasanya mengamuk dan berdiam diri. Sungguhlah, aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk tak menghiraukan rasa ini yang aku sadar penuh bahwa Beca hanya sebatas, keponakan. Tapi...

"Kok melamun Om, kenapa panggil Beca?", eh aku tergagap. Aku segera sadar diri, lalu kutanyakan apakah ia merasa karena hodiku menutupi kakinya.
"Iya dingin, dan rasanya begah banget perutku kekenyangan kayanya Om, nih lihat," kami berdua tertawa, ia membuka hodinya dan memperlihatkan bahwa ia membuka kancing celana karena perutnya sudah tak tahan terikat. Ah! Lucunya ! Aku makin tertawa terbahak-bahak. Hingga waktu bergulir dan kami tenggelam dalam hal-hal yang terbahas. Tak terasa mobil sudah berhenti di parkiran rumah.
Lalu entah muncul motif darimana, pertanyaan Beca membuatku terdiam dan hilang fokus dari sibuknya aku memarkir mobil.
"Om udah pernah ciuman belum?
Hah? Seketika aku menyerngitkan kedua alisku mendengar apa yang baru saja terucap dari mulutnya. Dengan cahaya sayup dan seadanya menangkap muka Beca saat ini, tercengang aku dibuatnya.
"Ciuman?", ulangku. Ia mengangguk.
"Aku belum pernah ciuman, kepo banget rasanya kaya gimana.. banyak temen yang ciuman diem-diem di sekolah. Pada pacaran gitu,", alisku semakin berkerut dan menelan air liurku sendiri menghadapi Beca. Mendengar itu, aku membenarkan posisi dudukku agar dapat melihat dan menatap wajah Beca. Aku mengendus dan melihat gelagat Beca yang seperti sedang gugup. Detik-detik berjalan dan hening sejenak. Dari matanya, ia menantikan jawaban. Kuperhatikan wajahnya, lalu ia berpaling dari tatap muka kami berdua. Dengan sigap, aku menahan lengan kanan Beca yang terasa kecil digenggaman. Kukembalikan ia ke posisi seperti sebelumnya, kutatap matanya dan kali ini lebih dekat dari dugaanku, selayaknya yang aku ingin lakukan padanya sedari lama.
Jemariku melepas genggaman dilengannya dan beralih menuju dagu kecilnya. Kubelai lembut dan aku terpesona dengan menikmati pemandangan Beca sedekat ini. Matanya berbinar seperti biasa, napasnya tertahan dan matanya ikut memperhatikan wajahku. Mataku berhenti dibibir miliknya yang tak kecil, juga tak berlebihan. Namun, bibir bawahnya lebih besar sedikit. Karena mengikuti arahan tanganku didagunya, mulut Beca terbuka memperlihatkan gigi putihnya sedikit disana.
"Kaya gini?", terpaku pada bibirnya yang elok dimataku, wajahku semakin bergegas menghapus jarak kami. Kecupan itu terjadi. Bibirku tepat dibibirnya. Wajahku mundur ingin melihat reaksinya. Ia tertahan, terbelalak dan tak berkutik seperti terpojok dalam persidangan. Aku ingin mencium bibirnya sekali lagi. Tapi, ahh..
Aku memejamkan mata, menjauh. Suasana jadi lebih diam dan canggung dari sebelumnya,
"Ciuman yang kaya gitu Be?", tak ada jawaban. "Be?", ulangku. Ia tak berganti posisi.
"Bukan kaya gitu Gal,",
Hm? Suara Beca pelan tapi dapat kutangkap dengan jelas.
"Gal?", ulangku mendengarnya memanggilku dengan Gal saja.
"Bukan ciuman kaya gitu Gal,", aku menatapnya bingung. Wajahnya benar-benar gugup tapi tak bergeming, tak juga nampakkan rasa takut. Lebih terpancar rasa penasaran.
"Terus?", jawabku ingin tahu apa yang akan ia jawab. Tapi malah ia berpaling dari tatap dan tersenyum. Sedang malu rupanya. Dari situ aku sudah tak tahan ingin mengulanginya lagi.
Jemariku tak membiarkannya bergerak lebih jauh. Diseluruh pipi kanannya, ia menurut menatapku kembali. Mata berbinar yang sama, lalu pandangan yang sama memabukkanku. Kukecupkan bibirku pada bibir manisnya. Kecup-kecup pelan kusalurkan padanya. Hingga tak kunjung diberi ruang, dengan dagunya kusentuh dan tarik untuk mencari celah dari bibirnya agar kubisa lebih leluasa. Lebih bisa menguasai dan melumat bibirnya yang menggoda.
Ia penurut. Matanya tertutup dan pasrahkan dirinya padaku. Baiklah, serahkan padaku Be. Kulumat lebih dalam dan lebih erat. Kecupan yang suaranya semula pelan, sekarang membisingkan seutuhnya pendengaran. Kulumat tanpa henti, menarik dan mengulum bibir bawah bergantian ke bibir atasnya, sama sekali tak ada takut di gerak tubuhnya. Ahh, aku tak ingin berakhir.  Kurasakan ia berusaha membalas apa yang kulakukan pada bibir cantiknya. Ahhhhh.. dari celah kecil, aku mendesah tak tertahan lagi. Makin erat pula genggaman jarinya dilenganku, sama halnya jemariku yang bertengger di pipi dan leher jenjangnya. Hingga mataku menyerngit mencapai sadar, pautan kami terlepas.
Ia terengah-engah, napasnya berhembus tersenggal diwajahku.
"Gimana?", tanyaku.
"Hm?", matanya beralih padaku. Oh, aku gemas sekali nelihat ekspresi Beca sekarang. Rasanya ingin menciumnya lagi. Tak lama tepantau muka Beca memerah perlahan. Dan ia melarikan diri pada akhirnya. Meninggalkan aku dan hodi didalam mobil. Ia ngibrit memasuki rumah dan naik dengan kasar ke kamarnya. Kusentuh kembali bibirku bekas habis mencium Beca.
   Ahh, aku dalam masalah.

Life of BecaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang