Ia akan lakukan besok. Esoknya, ia kembali mengulangi; akan kulakukan besok. Mantranya menjadi doa, dan sebelum ia dapat memroses segala hal yang terjadi dalam hidupnya, Natan memperkenalkannya pada seseorang. Seharusnya ia tahu ada suatu hal yang lebih di antara keduanya, tapi egonya menolak untuk menanggapi benang merah tak kasatmata yang terjalin di antara rekan karib yang telah ia kenali seumur hidupnya dan seorang asing yang tidak jelas asal-usulnya.
Akan kulakukan besok, ulangnya, mantap. Sebelum ia tidur dan terbangun subuh benar dengan puluhan pesan singkat dari Natan—yang terbaru bertanda pukul 5:13 dini hari, dan pembukanya berbunyi, "Maaf telah mengganggu tidurmu; kurasa barusan aku tidak berpikir jernih."
Natan bukanlah tipe orang yang biasa mengirim beberapa pesan berisi satu kalimat di saat yang bersamaan, maka melihat 27 pesan darinya saat larut malam dan dini hari membuat hatinya sedikit was-was. Menenangkan debaran jantungnya yang berburu tak keruan, ia menggulir layarnya hingga tiba pada notifikasi terlawas dalam pesan serial Natan.
"Aku butuh saran." tulisnya singkat—Natan bukanlah orang yang gemar menggantungkan tiap kalimatnya, "Ini kali pertamaku, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
Napasnya sontak terhenti—tetapi ia sadar bahwa saat itu, yang bisa ia lakukan hanyalah menyalahi dirinya sendiri. Ini bukan kesalahan orang lain, ialah satu-satunya yang pantas disalahkan karena tidak mengindahkan waktu yang sejak awal berpihak padanya. Andai ia berpikir bahwa dunia akan ditelan matahari keesokan harinya, mungkin hal ini dapat terelakkan.
Ia kalah. Ia bahkan tidak tahu bahwa ia sedang dalam suatu pertandingan. Egonya tidak melihat persaingan yang ada di antara dirinya dan Aamon Paxley. Yang ia lihat hanyalah dirinya dan Natan, dan tidak ada suatu hal lain di antara mereka.
Abai pada 24 pesan lain yang implikasinya tidak sanggup hati kecilnya tanggung, ia mengetik respon dengan ringkas, "Baik-baik dengannya, Natan."
...
Tidak peduli seberapa besar senyuman yang ia poles pada bibirnya yang belum pernah sekalipun dikecup oleh jantung hatinya yang telah tiada untuk ia rampas, ia tetap tidak bisa merelakan. Natan nampak gagah di depan altar, demikian pula Aamon yang mendampinginya. Senyum sumbingnya luput dari tamu lain yang hadir, demikian pula matanya konstan melirik ke arah Natan, mempertanyakan apakah keputusan ini sungguh dapat membuatnya bahagia.
Namun Nolan rasa ia tidak perlu mempertanyakan itu. Ia—Natan—bahagia.
Terlalu bahagia hingga yang ada dalam pandangannya hanyalah Aamon seorang. Kepalanya tak sedikitpun berpaling ke arah jemaat, atau ragu dan mencari konfirmasi-atau-penguatan dari Nolan seperti yang biasa ia lakukan. Untuk pertama kalinya, ia nampak yakin dan percaya pada dirinya sendiri; tidak mencari afirmasi dari Nolan atau siapapun, saat ia meraih tangan Aamon dan melingkari pada jari manisnya sebuah cincin emas yang Nolan bantu pilihkan tahun lalu.
Usai tamu undangan membubarkan diri karena hari telah amat larut, Nolan duduk menyepi pada bar hotel, sebotol sampanye tersedia dalam jangkauannya. Lucu ia merayakan hari kebahagiaan sahabatnya dengan cara seperti ini: mengonsumsi hadiah pernikahan sahabatnya untuk dirinya sendiri.
Ia tidak tahu apakah ia bisa menghadapi Natan usai melihatnya berdansa dengan Aamon di aula dansa, hanya mereka berdua—menari dan berayun seolah mereka adalah satu, dunia senyap dalam jalinan jari mereka. Tentu ia bisa melangkah mendekat dan merusak momen dengan dalih, ingin pulang, semoga langgeng, tapi ia tidak tahu apakah ia bisa memalsukan emosinya andai Natan menyadari seberapa hancur hatinya saat itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
the three-body problem | Nolan/Aamon
RomanceBagi Nolan, menutup mulut dan mencampakkan perasaan ini merupakan suatu tindakan pengorbanan terbesar yang dapat ia lakukan untuk Natan. 🐤Repost from AO3: https://archiveofourown.org/works/50439355 🐤Ship: Natan/Aamon, Nolan/Aamon, (unrequited) Nol...