'Ngapain lo berdua disini?'
'Bukan urusan lo, kan?'
'Aneh banget nggak, sih kalau musuh tiba-tiba akur?'
'Jadi, menurut lo kita berdua keliatan akur?'
'Gue mau selesain urusan gue sama Ivanna. Lo bisa pergi dari sini?'
'of course, silahkan lo kelarin masalah lo! Gue rasa ini waktu yang tepat.'
Suara percakapan dua orang itulah yang sayup-sayup Ivanna dengar sebelum kesadarannya benar-benar habis. Gadis itu tak tahu hal apa yang terjadi padanya setelah itu hingga saat ia membuka kedua matanya, ia berada di sebuah ruangan bernuansa gelap yang terasa asing baginya.
Kepalanya juga terasa berat saat ia berusaha bangkit dari posisi tidurnya. Ia benar-benar tak ingat apa yang terjadi padanya semalam dan saat ia berusaha untuk mengingatnya, kepalanya semakin terasa pening dan semakin terasa berat.
Gadis itu sedikit tertegun beberapa saat begitu ia menyadari kalau saat ini... Ia tak lagi mengenakan kemeja krem yang ia pakai. Tunggu, apa yang—
"Bangun juga lo akhirnya." suara itu membuat Ivanna terkejut dan buru-buru menutupi tubuh bagian atasnya dengan selimut. Tunggu! Ternyata ia berada di sebuah kamar. Lalu, suara yang barusan menyapanya ini suara milik siapa?
Ivanna menoleh, amarahnya terasa memuncak begitu tahu siapa laki-laki yang saat ini berada di hadapannya. Ingin sekali rasanya ia bangkit dari atas ranjang yang ia duduki dan meninju wajah laki-laki itu dengan keras namun, ia tak ingin mengambil resiko dengan posisi tubuh bagian atasnya yang hanya mengenakan bra.
"Santai kali, over bener reaksi lo."
"Apa yang lo lakuin ke gue?!" tanya Ivanna membentak.
Lagas, laki-laki itu tertawa pelan melihat pertanyaan yang Ivanna lontarkan. "Emang lo mau gue apain, hm?"
"Bang*at! Lo sentuh gue kan?!"
Lagas tertawa pelan. Tawa yang hampir menyerupai tawa seorang penjahat. Cowok itu beranjak dari tempatnya, mendekati Ivanna yang menatapnya dengan was-was. Bahkan gadis itu terlihat memundurkan tubuhnya saat Lagas mendekat.
"Ternyata, minum segelas miras buat lo berpikiran kotor, ya?"
Ivanna terdiam beberapa saat. Benar, ia ingat ia meminum segelas miras sebelum ia hilang kesadarannya. Namun, bukan itu yang ia pikirkan. Selama ini ia tak pernah mabuk apalagi sampai hilang kesadaran hanya dengan meminum satu gelas minuman beralkohol. Dan sosok Lagas yang pertama kali ia lihat setelah pingsan membuatnya curiga.
"Lo pasti masukin sesuatu ke minuman gue, kan?!" tanya Ivanna setengah membentak. Kini, emosinya benar-benar tak terbendung apalagi melihat Lagas yang tertawa setelah ia melontarkan kalimatnya barusan.
"Kalau lo mau ikut gue baik-baik kemarin, gue nggak bakal ngelakuin ini, Van." Lagas menatap Ivanna dengan seringai di wajahnya. Demi apapun juga, Ivanna tak bisa membohongi dirinya sendiri kalau saat ini ia merasa takut. Tubuhnya masih terasa lemas akibat pengaruh obat yang Lagas campurkan dalam minumannya. Tentu saja tak memungkinkan baginya untuk melawan.
"Gue cuma mau nyelesain urusan kita. Udah itu aja." Lagas duduk di tepian ranjang usai mengucapkan kalimat tersebut.
"Dengan cara pecundang apa lagi lo bakal nyelesain masalah yang lo maksud itu?"
"Gabung ke Galvanize mungkin, tapi—"
"Sampai kapanpun gue nggak sudi buat gabung sama geng sampah lo itu."
Alih-alih marah atas ucapan Ivanna, Lagas justru tertawa. Tawa yang membuat Ivanna mengerutkan keningnya dengan heran. Apa Lagas tidak marah saat Ivanna mengatai geng nya sampah? Seperti Theo yang selalu marah tial kali Ivanna merendahkan geng mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENITY (END)
Dla nastolatkówAdakah yang lebih indah dari itu? Saat seseorang tak sengaja menyelami kehidupan orang lain. Haruskah tetap terus menyelam tanpa peduli bahwa dirinya akan tenggelam? Atau memilih untuk berhenti menyelam demi sebuah ketenangan? Benar, semua orang pas...