Sejujurnya, sepanjang perjalanan menuju sekolah aku tak benar-benar tertidur, sehingga ketika bus telah tiba. Aku lantas terbangun, dan kudapati Sahara yang kelabakan seperti ketahuan telah melakukan sebuah kesalahan. Sepertinya dia baru saja ingin membangunkanku. Ah, harusnya aku pura-pura tidur saja lagi supaya dia nanti membangunkanku.
Aku merilekskan tubuhku sejenak, lantas berdiri. Sebenarnya, hari ini aku masih ingin menemaninya, tapi karena mood-ku sedang tidak bagus aku ingin menyendiri sebentar. Aku takut jika nanti dia akan tertular aura negatif dariku.
"Sahara, lo duluan aja. Nanti gue susul." Setelah mengatakan itu, aku pun berjalan meninggalkannya.
Alih-alih pergi ke kelas, aku justru pergi menuju ruang seni yang sudah terbengkalai di sudut sekolah ini. Namun, ruang seni itu cukup bersih untuk ukuran ruang yang terbengkalai. Yah.. Meski pintu dari ruang ini sudah rusak sehingga harus diganjal sesuatu agar tetap terbuka dan tak terkunci dengan sendirinya.
Aku mencari-cari sebuah easel untuk menopang canvas yang sengaja kubawa dari rumah tadi. Lantas mulai menggoreskan beberapa warna di sana.
Satu-satunya yang terlintas dalam pikiranku saat ini hanyalah pohon kenanga, tempat di mana aku dan dia dulu bersama. Satu jam, dua jam, sampai tak terasa matahari mulai meninggi di luar sana. Anehnya begitu, jika kita sudah bersama dengan sesuatu yang kita cintai. Maka selama apa pun itu, pasti rasanya hanya sekejap.
Kini, pandanganku menerawang jauh pada langit biru. Kira-kira kapan ya aku dan dia bisa bersama-sama sambil bersenang-senang seperti dulu? Selang beberapa detik, aku mendengar suara pintu berderit. Dengan cepat aku menoleh--penasaran denga siapa orang yang telah memasuki ruang ini selain aku.
Namun, aku benar-benar terkejut dengan jawaban dari rasa penasaranku itu sendiri. Ini benar-benar di luar perkiraanku. Namun, tak butuh waktu lama untukku menyadari akan hal lainnya.
"Sahara!! Jangan biarin pintunya ketutup!!"
BRAKK!!
Terlambat, gadis itu sudah lebih dulu menyenggol kertas yang kugunakan sebagai penyangga agar pintu itu tidak tertutup. Aku mendengus kasar. Sebenarnya tetap menjadi masalah kalau aku sendiri yang terkunci di ruang ini. Tapi masalahnya sekarang justru bertambah besar, karena kini hanya aku dan dialah yang berada dalam ruang ini. Satu ruangan kecil terbengkalai di sudut. Apa yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan di tempat seperti itu?
Aku menggerak-gerakkan kembali gagang pintu sembari berharap kalau pintu ini akan terbuka setelahnya. Namun nihil! Pintu itu sama sekali tak memiliki niat untuk bergerak.
"Pintunya rusak, jadi kita bakal kekunci di sini." Aku berbalik untuk menatap Sahara yang lebih kecil dariku.
"Kalau gini kan bahaya."
Sejenak, dia terlihat ketakutan saat aku menatapnya. Aku sampai bertanya-tanya, sebenarnya di hadapannya aku ini seperti apa?
"Maaf." Dia menunduk.
"Duduk dulu."
Alih-alih menurutiku, dia justru terlihat kebingungan.
"Nanti gimana kalau nggak ada yang tahu kita di sini?"
"Pasti ada.." Aku menurunkan nada suaraku, berharap hal itu dapat menenangkannya. Namun, dia justru berbalik dan menggedor pintu yang teetutup itu.
"Sahara, tenang."
"Nggak bisa!!"
Sejujurnya, aku terkejut karena jni adalah pertama kalinya dia membentakku. Juga ini adalah pertama kalinya dia terlihat panik seperti itu. Kemudian setelah mengatakannya, dia kembali menggedor-gedor pintu sembari sesekali berteriak memanggil orang yang ada di luar. Sayangnya di luar sama sekali tak ada orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] Hydrangea Love | [TERBIT]
Teen Fiction❗Pemberitahuan❗ Cerita ini adalah spin-off dari novel pertama berjudul "KENANGA(N)" yang juga masih banyak sekali kekurangan. Meski sudah diterbitkan cerita ini masih perlu revisi lagi kedepannya. Tidak disarankan untuk membaca cerita ini sebelum r...