7

30 1 0
                                    

Kendaraan beroda empat American Muscle Classic merek Ford Mustang bergerak melambat lalu berhenti tepat di depan sebuah griya minimalis. "Roxie, ayo turun!" Bariton sesosok pria bertutur kata sambil mematikan mesin mobil.

"Ini rumahmu?" Roxie pun turun seraya mengedarkan pandangan ke sekitar tempat tinggal si pria. "Ebern, kenapa rumahmu cuma sendirian? Tak ada tetangganya," sambung sang gadis datar dan hanya dibalas suara terkekeh pelan oleh lelaki tersebut.

Lokasi tempat tinggal Ebern sekitar dua ratus kilometer sebelah utara Auckland, New Zealand. Wisma minimalis milik laki-laki berusia tiga puluh sembilan tahun tersebut terdiri dari dua lantai dengan fitur unik berukuran kecil terdiri dari satu volume, tetapi lengkap dengan segala kebutuhan.

Terletak di tempat terpencil yang sekelilingnya ditumbuhi tanaman perdu, griya sang pria yang masih betah melajang ini bermain pada struktur khas New Zealand. Kendati tampak sederhana tetapi tetap dilengkapi ruang tamu, dapur serta kamar tidur. Terdapat pula bilik terbuka yang terpisah dengan ruang tertutup. Uniknya, meski dibuat berlawanan antara bangunan tetapi tetap memiliki koneksi yang sesuai desain area di sekitarnya. Selain itu, ada pula perapian juga bathtub out door jika ingin bersantai di luar.

Di dalam gerha menampilkan desain modern didominasi corak hitam dan putih. Furniture juga permadani dipasang menggunakan warna cerah yang membuat bangunan kecil tak terasa sempit. Tampak pula lemari buku tersusun menyatu pada area dinding, dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan koleksi bacaan si pemilik griya. Kendatipun rumah terlihat mungil, tetapi desainer berhasil menciptakan ruangan yang nyaman dan teratur.

"Anggap saja rumah sendiri, Rox." Bariton Ebern terdengar lagi sambil melepas kaus seraya melangkah menuju ke lemari pendingin. Pahatan sempurna pada area perut serta dada bidang, juga lukisan bertinta pada kulit di sepanjang lengan hingga hasta tangan membuat sang pria terkesan manly tampak gagah, luar biasa rupawan.

Mendengar kalimat yang diucapkan si pria, Roxie hanya mengangguk mengiakan sambil melangkah perlahan menuju ke area tangga. Iris madu perempuan itu melihat satu demi satu koleksi buku-buku sang pemilik rumah.

"Hm, hobi baca?" Ebern melangkah mendekat sembari meneguk sebotol air mineral dan sekali lagi hanya dibalas anggukan oleh sang gadis.

"Aku mau keluar sebentar, kau tak apa kan kutinggal di sini sendiri? Kalau kau lapar, kau bisa memasak sesukamu, di lemari pendingin ada sedikit bahan makanan. Nanti sebelum aku pulang, aku akan belanja lagi untuk kita. Terus, kalau kau bosan baca, ke ruang tengah saja di sebelah kamarku, di sana tersedia lengkap apa yang kau sukai, ada game, ada home teater. Kau bisa memilihnya sendiri," papar Ebern menjelaskan detail situasi rumahnya.

Selepas menjelaskan perihal keadaan rumahnya, Ebern hendak melangkah, tetapi suara sang gadis tiba-tiba menginterupsi, "Hei, Jelek! Memangnya kau mau ke mana?"

"Kenapa? Takut, ya?" kelakar Ebern meledek sambil terkekeh pelan.

"Tentu saja aku takut, Jelek! Apalagi rumahmu sendirian, sepi, tidak punya tetangga, belum lagi tempatnya di hutan," sahut Roxie ketus.

Ebern pun sontak tertawa mendengar kalimat yang diucapkan si gadis, "Masa perempuan sadis sepertimu bisa takut? Menurutku malahan hantu dan teman-temannya yang takut padamu lebih dulu, Rox, sebelum mereka menakutimu," seloroh si pria sambil terkekeh, "aku hanya pergi sebentar saja, tak lama. Sekalian belanja untuk kita nanti makan malam, bukannya kau tak suka makan makanan sampah," imbuh Ebern seraya mengusap puncak kepala Roxie.

Ebern kemudian melangkah menuju ke tempat peraduan setelah meletakkan botol mineral kosong ke atas nakas. Tak berselang lama—hanya sekitar dua menit—pria itu keluar dari kamar, tampak raga kekarnya telah berganti busana: celana jeans belel bercorak gelap serta hooded t-shirt yang juga berwarna senada. "Aku pergi dulu, Rox, enjoy it, huh!" pamit Ebern sambil berjalan ke luar, lalu masuk ke Ford Mustang roda empatnya.

Sepeninggal Ebern, Roxie masih setia menilik koleksi-koleksi bacaan si pria dan terdapat satu lektur yang memikat atensi gadis tersebut—saat iris madunya membaca sekilas judul yang tampak pada punggung buku itu. Roxie pun menarik seraya membaca tulisan yang tertera pada sampulnya.

Kekerasan pada Anak (Analisis Teoritis & Empiris) beserta sub judul 'Tolong, jangan pukul aku!'.

Pada sampul buku tampak pula gambar seorang bocah tengah berjongkok sambil melindungi kepala dengan kedua tangan yang hendak dipukul sesosok pria dewasa menggunakan sebatang rotan. Roxie lantas beringsut bangun, sebab posisi sebelumnya raga lampai itu sedang bersila di tangga. Dia lalu melangkah menuju ke ruang tengah seraya duduk pada hamparan permadani berbahan bulu domba sembari punggungnya bersandar pada kaki sofa panjang yang berada di sana.

Roxie kemudian membuka buku tersebut dan mulai membaca halaman demi halaman hingga tanpa dia sadari rasa kantuk mendera dirinya.
.
.
Tampak sesosok pria paruh baya sedang memegang alat pemukul yang terbuat dari bahan rotan, di hadapan lelaki dewasa itu terlihat seorang bocah tengah berjongkok sambil merunduk serta kedua tangannya ke arah kepala seakan ingin melindungi diri.

"Masih saja berani cengeng, ha? Tangismu makin keras, Daddy juga akan semakin keras memukulkan rotan ini ke badanmu, Roxie!" ancam sang ayah kepada putrinya.

Tampak sang bocah berusaha meredam suara tangis dengan membekap mulutnya sendiri menggunakan kedua tangan mungilnya sambil menggelengkan kepala kuat-kuat yang bermakna 'tidak', padahal cairan bening terlihat merembah deras bak batang air yang berasal dari sudut kelopak mata indah anak perempuan tersebut.

"Hm, bagus Roxie! Kau memang putri tangguh Daddy," puji sang ayah kepada putri semata wayangnya.

Namun, efek pukulan sebelumnya masih berasa perih pada area punggung anak perempuan itu, membuat sang bocah sedikit mengembuskan sedu-sedan samar, sontak si pria paruh baya kembali mengarahkan rotan tersebut ke raga mungil putrinya, hingga terdengar jeritan keras yang melengking panjang memenuhi ruangan.
.
.
Dan saat sang gadis masih terbuai ke alam mimpi, tiba-tiba Roxie berteriak lantang juga keras, "Maaf, Daddy, maafkan Roxie. Roxie tak akan mengulangi lagi. Ampun! Ampuni Roxie, Daddy! Roxie janji tak akan pernah menangis lagi! Maafkan, Roxie! Ampun! Ampuni ...!"

"Rox? Hei, Rox, bangun!" Bariton Ebern terdengar panik sambil mengguncang pelan bahu sang gadis yang masih saja berteriak lantang juga sangat keras memekakkan telinga. "Hei, Roxie! Bangun, Sayang!" Sekali lagi Ebern menghinggut pundak Roxie dan kali ini sedikit keras. Alhasil, Roxie pun akhirnya terjaga.

Tampak peluh membasahi seluruh paras juga leher sang gadis. Terlihat pula raga lampainya bergetar beserta mimik wajah tegang. "Kau kenapa, Rox?" tanya Ebern pelan sambil mengusap lembut punggung sang gadis berulang kali. "Minum, ya?" tawar lelaki tersebut seraya beringsut lalu melangkah menuju pantri guna mengambil air mineral.

"Minum dulu, Rox!" Ebern memberi botol air mineral kepada Roxie dan gadis itu segera menenggak tandas tak bersisa. Tanpa permisi Ebern begitu saja menggendong raga lampai Roxie. "Ebern, aku mau kau bawa ke mana?"

"Ke kamar. Kau habis mimpi buruk, kan? Istirahat lah di kamarku sambil menungguku selesai memasak makan malam untuk kita—"

Belum sempat Ebern menuntaskan kalimatnya, suara Roxie menyela cepat, "Turunkan aku, Ern! Masa aku sebagai tamu tapi merepotkanmu—" Roxie berusaha meronta ingin merosot, tetapi kedua tangan Ebern menahan. "Aku senang-senang saja direpotkan olehmu, Rox."

Ebern tiba di depan kamar miliknya, satu kaki kemudian mendorong daun pintu tersebut seraya melangkah masuk, berlanjut merebahkan raga lampai Roxie ke atas busa empuk tempat peraduan, "Kau baringan saja! Sebaiknya kita makan malam di sini, wajahmu juga kelihatan pucat. Besok kau harus ikut denganku ke rumah sakit dan tak ada bantahan, Rox!" Kalimat terakhir yang dikatakan Ebern sontak membuat Roxie batal berkilah hendak memprotes.

.

.

Tbc~









ⓂⓎ ⒽⓄⓉⓉⒾⒺ ⓂⓄⓃⓈⓉⒺⓇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang