TUJUH | Jarak dan Rindu

7K 524 117
                                    

TUJUH | Jarak dan Rindu

"Nyatanya jarak membuat mereka semakin jauh. Waktu yang berlalu justru menarik mereka pada kesakitan tanpa ujung."

🌸🌸🌸

Jevano menyesap secangkir kopi yang dibuat oleh Windy dalam sekali tenggak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jevano menyesap secangkir kopi yang dibuat oleh Windy dalam sekali tenggak. Berharap cairan kafein yang mengalir di tenggorokannya dapat meredakan kantuk yang menggelayuti matanya. Jevano tak bisa tidur semalaman, lebih tepatnya dia sudah tak bisa tidur nyenyak selama dua tahun belakangan.

Tanpa bantuan alkohol, tidak akan Jevano temui kedamaian dalam tidurnya. Akan hadir mimpi-mimpi menyakitkan yang membuat hatinya tiada henti untuk gelisah.

Dia hembuskan napas beratnya untuk yang ke sekian kali di pagi yang masih berbalut embun itu. Dia kembali ke rumah kemarin, tanpa surat cerai yang diminta Kanaya. Ironisnya dia dapati pria lain di rumah mereka. Rumahnya dan Kanaya yang harusnya hanya ada mereka.

Jevano pikir menjauh adalah pilihan tepat. Menghindari Kanaya adalah obat yang bisa menyembuhkan lukanya. Sebab katanya waktu adalah jawaban untuk segala ikhlas.

Nyatanya jarak membuat mereka semakin jauh. Waktu yang berlalu justru menarik mereka pada kesakitan tanpa ujung.
Jevano salah langkah sepenuhnya. Seharusnya jika dia ingin memberi pelajaran pada wanita itu, yakni dengan memenjaranya dalam simpul mati pernikahan. Bukan memberinya ruang untuk berpisah dan menemukan sosok lain yang akan menggantikan Jevano.

Perdebatannya kemarin dengan Kanaya tidak menghasilkan apa pun. Tidak ada penyelesaian dari masalah yang telah rumit seperti benang kusut itu. Kanaya tidak mengerti apa yang dimaksud Jevano, sedang dia juga terlalu lelah untuk mengungkit pengakuan tidak menyenangkan itu.

Pria itu menaruh cangkirnya. Mengambil kunci di atas meja kerja sembari menyambar jas yang dia gantungkan di sebelah sofa. Windy sempat kebingungan melihat bosnya meninggalkan ruangan. Wanita itu menghampiri dengan bingung.

“Pak, meeting-nya masih jam satu siang.”

“Saya tahu.”

Lalu mengapa pria itu hendak pergi? Sedang Windy ingat dia baru saja menyerahkan setumpuk berkas untuk diperiksa Jevano yang tampaknya belum disentuh sama sekali.

“Saya akan kembali sebelum itu, jika ada hal mendesak telepon saja.”

Kemudian Jevano berlalu begitu saja, menyisakan Windy dalam benak yang bertanya-tanya tentang tujuan dari kepergian pria itu. Dia tidak berani bertanya karena hal itu pasti urusan pribadi. Lalu Windy kembali ke meja kerjanya bersamaan dengan sebuah pesan yang masuk.

082xxxxx

Kupikir kamu nggak akan pernah bisa melupakanku.

Beberapa waktu lalu aku lihat kamu rangkulan dengan pria barumu di mall.

After OctoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang