17. Tentang Mengalah

22 7 2
                                    

Aku sudah lelah dengan segala hal di dunia ini. Aku mulai menyerah dengan semuanya. Namun, kehadirannya kembali membuatku sadar akan arti dari keberadaanku di dunia ini. Rara... kira-kira kapan dan bagaimana caraku untuk mengungkapkan itu padamu?

Aku membuka mataku ketika merasa ada seseorang yang mengguncangnya. Ketika terbuka, aku mendapati wajah Farel yang berada di atasku. Oh iya, aku baru ingat kalau tadi aku tertidur di pangkuannya. Farel menggerakkan tangannya.

"Kakak tidur lagi saja. Nanti Farel bangunin."

Aku tersenyum, lantas kembali memejamkan mataku. Farel.. kadang aku merasa kalau dia lebih dewasa dariku, atau jangan-jangan di kehidupan sebelumnya, dia memanglah kakak atau bahkan ayahku? Haha, konyol sekali! Memangnya reinkarnasi itu benar-benar ada?

Kini, Farel tengah menuntaskan lukisannya. Aku tak tahu apa yang saat ini tengah ia gambar karena aku sudah memejamkan mata sejak sebelum dia menggoreskan kuasnya. Sekarang, aku jadi penasaran dengan hasil lukisannya.

Tak butuh waktu lama untuk Farel membangunkanku. Aku terbangun, lantas mengamati lukisan yang ia buat. Itu aku. Aku yang sedang tertidur. Jadi.. selama ini dia sedang melukisku? Aku terkekeh pelan.

"Bagus?" Farel bertanya.

Aku mengangguk senang. Namun, tak lama setelah itu ponselku bergetar. Aku membukanya. Papa? Kenapa lagi-lagi orang tua itu mengganggu ketenanganku?

Tanpa basa-basi aku lantas menutup panggilan itu.

"Siapa?" Farel bertanya. Mungkin ia telah membaca situasi dari raut wajahku yang berubah.

"Bukan siapa-siapa," Jawabku.

"Naveen..." Ibu panti tiba-tiba menghampiri kami dengan wajah semringah, "... ada orang yang nyari kamu."

Aku terdiam sejenak. Berpikir, siapa sebenarnya orang yang kini mencariku. Jika Ezar itu tidak mungkin karena Ibu panti sampai menghampiriku seperti ini. Terlebih saat ini Ezar tengah mengantar Sahara.

Namun pertanyaanku itu langsung terjawab ketika seorang laki-laki dewasa muncul dari balik Ibu panti. Aku tersenyum sarkas. Orang ini... tanganku semakin menggenggam erat benda apapun yang berada di dekatku.

Bukan salah Ibu panti yang tersenyum seraya membiarkan orang ini menghampiriku. Karena Ibu panti benar-benar tak tahu tentang hubungan kami selama ini.

"Sudah puas main-mainnya?" Wajahnya tersenyum. Namun nada bicaranya yang ia buat-buat untuk mengelabuhi orang-orang itu benar-benar membuatku muak.

"Kalau aku bilang belum, Papa mau apa?" Sarkasku.

Bagi orang yang tak tahu, mungkin saja mereka akan mengira bahwa orang tua di depanku ini adalah Ayah yang baik saking pintarnya ia dalam berakting. Namun, lain hal-nya denganku yang dapat merasalan suasana mencekam antara aku dan orang itu.

"Eh.. Nak Naveen.. nggak boleh begitu sama Papanya." Ibu panti mengucapkan itu seolah-olah ia sedang menegur anak kecil yang sedang merajuk terhadap orang tuanya.

Namun, alih-alih menjawab pertanyaan Ibu panti. Aku lantas berjalan melewati keduanya, juga meninggalkan Farel sendiri di sana.

Mobil putih milik Papa sudah menungguku di luar. Di sana Pak Ali sudah menunggu seraya membukakan pintu untukku.

"Tidak ada pilihan lain selain masuk ke dalam mobil itu." Papa sudah berdiri di belalangku. Berbisik lirih supaya tak terdengar oleh lainnya.

~~~

"Gimana hari ini?"

"Bagus."

"Kalau sakit kenapa nggak sekalian pingsan aja?" Kini pertanyaan Papa justru membuatku tahu bahwa Ezar telah mengizinkanku dengan alasan sakit.

[√] Hydrangea Love | [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang