9 Jarinya Yang Ramping, Menyusuri Lubang Sempit Dewo

7.4K 115 5
                                    




Suara adzan melantun dengan lembut, meresap ke seluruh penjuru ruangan, seraya matahari perlahan-lahan tenggelam, menandakan datangnya malam.

Andara terasa seakan tersentak, bagai mendapatkan kejutan listrik. Panas memenuhi wajahnya; kedua pipinya memerah bak dua buah apel yang sudah masak sempurna, gugur dari pohon dan siap untuk dinikmati.

Rasa malu, seperti racun, mulai merayap ke setiap sudut tubuhnya saat ia menangkap tatapan Rama yang terbelalak kaget. Refleksi hatinya berbisik, 'Ya Tuhan, apa yang sudah aku perbuat?' Kepanikan bercampur dengan perasaan bersalah menyelimuti hatinya. 'Aku ini ibunya Rama, bukan seharusnya aku menunjukkan contoh yang buruk seperti ini,' suaranya berteriak dalam batin, menyesali setiap tindakan yang baru saja ia lakukan.

"M-maaf, Rama, Mama Khilaf!" suaranya terdengar goyah, penuh sesal, serupa dengan suara seorang anak kecil yang tahu telah melakukan kesalahan besar.angannya yang terangkat seperti tangan pencuri yang terpergok, namun masih menyimpan memori hangatnya kontol Dewo.

Namun Rama bisa mengerti perasaan Andara, mengerti sekali.

Sebab gelombang hasrat yang sama yang mempengaruhi ibunya kini berusaha merebut kendali dirinya.  Sebuah perasaan yang muncul dari dalam, merasuk hingga ke tulang-tulangnya, membuatnya berdebat dengan diri sendiri, 'Apakah aku benar-benar memiliki sifat seperti Mama?'

Tiba-tiba, tangan Rama mulai bergerak dengan sendirinya, tergelitik oleh keinginan yang mendalam. Matanya yang tajam terkunci pada bokong Dewo yang berotot, seolah mengajaknya untuk mendekat. Bokong Dewo, yang seperti dua buah bola basket yang sempurna, menegang dan memancarkan daya tarik yang sulit untuk ditolak.

Rama kemudian memalingkan wajahnya ke Dewo, pria berotot yang pasrah di depannya. Dia mendapati Dewo telah terangsang hingga batasnya, kontolya telah menonjol dengan gagah dan keras dari lipatan celana dalamnya. Rama hanya mampu memandangi Dewo dengan mata terbelalak.

Kontol Dewo terlihat seperti menara kejantanan yang megah dan berdiri tegak. Urat-uratnya yang menonjol tampak berkedut-kedut, mengerucut pada ujung yang basah oleh precum.

Namun, alih-alih menyentuh kontol itu, tangannya memilih untuk menyentuh otot bokong Dewo yang kenyal dan padat. Rama merasakan bagaimana setiap inci otot Dewo berkontur sama seperti ombak di lautan, keras dan bertenaga.

Saat jemarinya mulai menggelitik dan meremas otot bokong Dewo, Rama merasakan gairah yang meluap-luap memenuhi dirinya. Ia merasakan otot-otot Dewo yang keras dan kenyal di bawah tekanan jemarinya, merasakan bagaimana setiap sentuhan membuat Dewo mengejang dan menggetarkan seluruh tubuhnya. Sensasi-sensasi itu begitu luar biasa hingga membuat Rama menelan ludahnya.

Mungkin inilah yang dirasakan ibunya, pikir Rama. Seberkas pemahaman baru seakan menerangi jiwanya. Rama sadar bahwa ia bukanlah satu-satunya yang merasakan daya tarik ini, hasrat yang begitu kuat ini hingga mampu menghancurkan segala benteng logika dan rasionalitasnya.

Dalam keadaan hanyut oleh sensasi yang membuncah, Rama lalu mengutarakan perintah selanjutnya. "Nungging," ujarnya dengan nada lirih namun tegas. Kata itu terdengar begitu dominan dan menggoda, seolah menggaung di telinga Dewo.

Seperti seorang prajurit yang baru menerima perintah, Dewo mulai bergerak, bereaksi terhadap perintah Rama. Dengan gerakan pasti, Dewo mengubah posisinya dari kayang menjadi terbaring tengkurap di lantai kamar Rama. Tangannya yang terikat membatasi gerakan-gerakan tidak perlu, membuat punggungnya terlihat semakin lebar, menonjolkan tulang belikatnya yang berotot dan tegap.

Perlahan tapi pasti, bokong Dewo terangkat hingga posisinya menjulur tinggi-tinggi ke atas, seolah menantang gravitasi. Dari bawah sinar lampu kamar yang teduh, bokong Dewo memancarkan silau cahaya, seolah-olah menuntut Rama untuk menjelajahinya lebih jauh. Persis seperti anggur merah yang matang, menantang dan menggoda, bokong Dewo yang berotot dan sempurna itu menyeruak di depan mata Rama. Air liur membanjiri mulutnya.

PENTIL DEWOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang