PART 29

11.5K 746 22
                                    

PART 29

“Pak, sebenernya ... saya udah lama banget mendem ini.”

Martin yang sedang sibuk menandatangani beberapa dokumen, tampak melirik Shintya sekilas sembari mengernyit. Ia baru sadar jika sekretarisnya itu belum beranjak dari ruangan ini. Dan meskipun responnya barusan terkesan tak peduli, tapi sesungguhnya pria itu sedang memasang telinganya dengan baik.

“Waktu di Lombok ...,” sebenarnya Shintya ragu untuk menyampaikan tentang hal ini, tapi ia sudah sangat gatal sekali ingin segera menasihati Martin. Lantaran ia tidak tega terhadap Nara jika gadis itu harus dikhianati, tapi pada akhirnya tetap menikah dengan bosnya yang berengsek ini.

“Kenapa di Lombok?” tanya Martin dengan sedikit galak. Karena Shintya tak kunjung menyelesaikan ucapannya, dan terkesan menggantungnya begitu saja.

“Itu ... anu ....“ Sekarang, Shintya malah berubah jadi agak takut. Secepat itu nyalinya menciut.

Namun, perkataan itu sukses membuat Martin berdecak. Terlihat tak sabar. Karena mulai merasa terganggu.

“Mau ngomong apa? Cepet,“ suruhnya setelah itu.

“Bapak ... beneran kan mau nikah sama Mbak Nara?“ tanya Shintya pada akhirnya, lalu merutuki dirinya secara diam-diam, kenapa pertanyaannya malah melenceng seperti barusan.

Walau merasa bingung, tapi Martin tetap mengangguk. “Memangnya kenapa?”

Shintya tampak menggeleng pelan. “Cuma ... Bapak yakin mau nikah?“ tanyanya dengan sangat hati-hati sembari berharap semoga saja atasannya itu tidak tersinggung, apa lagi sampai marah.

“Kalau gak yakin, enggak mungkin saya ngelamar dia ke rumah sampe bawa seserahan.” Martin menjawab dengan nada santai sambil membubuhkan tanda tangan di salah satu berkas yang tengah ia baca.

Bener juga, batin Shintya.

“Tapi kan di Lombok ....“

Martin yang tadinya sudah terlihat sedikit lebih santai, kini mulai terlihat tidak sabar dan kembali berdecak. “Kenapa sih sama Lombok?”

Meskipun merasa takut, pada akhirnya Shintya pun membulatkan tekad untuk membahas tentang hal yang satu itu. “Bapak sempet ketemuan kan sama Mbak Gea diem-diem?“

Sebelum atasannya itu mengatakan sesuatu, Shintya langsung cepat-cepat melanjutkan perkataannya saat itu. “Bukannya saya mau nuduh Bapak, sumpah! Saya gak bermaksud, tapi saya dapet info ini dari seseorang. Katanya, dia lihat Bapak yang lagi ciuman sama Mbak Gea. Padahal kan di Lombok waktu itu udah ada Mbak Nara, tapi Bapak—“

Shintya langsung melotot, karena tak sengaja melihat pantulan tubuh seseorang dari rak kaca yang terletak di sebelah kiri tempat duduk bosnya. Sehingga ia pun menoleh cepat ke arah pintu ruangan yang sedikit terbuka. Karena biasanya, saat ia hanya ingin mengantarkan berkas sebentar, dirinya memang jarang sekali memastikan pintu itu benar-benar tertutup dengan rapat. Sama seperti sekarang. Salah satu daun pintu itu terlihat sedikit terbuka. Tetapi, cukup lebar untuk dilewati oleh seseorang asalkan orang itu bertubuh kecil dan menyerongkan bahunya ketika akan memasuki ruangan.

Shintya refleks menutup mulutnya menggunakan sebelah telapak tangan, kemudian mulai menampilkan raut wajah tidak enak. Sedangkan Martin yang merasa heran dengan perubahan sekretarisnya, lantas mengerutkan keningnya, lalu mengikuti arah pandang gadis itu ke arah pintu ruangan.

Martin sontak mengumpat. Ia yang tadinya sempat merasa sedikit terkejut karena pertanyaan dari Shintya sebelum mendengarkan semua ucapan panjang sekretarisnya itu dengan santai, kini tampak berdiri dari atas kursinya dan meninggalkan tempat itu dengan sangat tergesa-gesa, hingga menimbulkan sedikit kegaduhan. Karena Nara sedang berdiri di dekat pintu ruangannya dengan raut wajah yang sulit diartikan, tapi sepertinya gadis itu sudah sempat mendengarkan ucapan Shintya.

DinaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang