Bagian 1 : Reina Aretta

23 5 0
                                    

Hai aku balik lagi, kini giliran marianimarzz yg tulis bagian ini, semoga suka yaa

❤❤❤

Di sebuah ruangan putih yang sunyi dan bersih, terbaring seorang gadis di salah satu sofa recliner berwarna coklat yang berbaris rapi di sudut ruang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sebuah ruangan putih yang sunyi dan bersih, terbaring seorang gadis di salah satu sofa recliner berwarna coklat yang berbaris rapi di sudut ruang. Pada setiap sofa disertai juga tiang infus yang menjulang tinggi menggapai langit. Tidak ada satu pun tiang infus yang dimanfaatkan sebagaimana mestinya, terkecuali satu-satunya di pojokan yang kini tengah menggantung kantong dan mengalirkan cairan melalui selang menuju lengan gadis tidur itu.
Lama tertidur, gadis itu tiba-tiba mengerjap dan mengerang pelan. Seorang pria yang ternyata juga ada di dalam menemani sejak lama, menyadari gerakan pelan itu.

“Tidur nyenyak?” tanya pria itu lembut setelah si gadis membuka kedua matanya.
Si gadis tersenyum. “Sudah berapa lama Nana tertidur, Kak Sasa?” tanyanya.
Pria bernama Angkasa itu memperbaiki letak kacamatanya sembari melirik arloji.

“Kamu tertidur sekitar 30 menit lebih. Kalau untuk kemo ini sendiri sudah berjalan selama 4 jam, bentar lagi akan selesai,” jelasnya.

“Apa kamu merasa ada yang aneh? Sakit, capek, atau ngantuk?Kamu boleh tidur lagi kalo mau,” ucap Angkasa lagi.

“Nana sudah bangun, kok. Gak ngantuk lagi,” jawabnya masih sambil tersenyum. Ia kemudian mengedarkan pandangan ke seisi ruangan.

“Hari ini sepi, ya,” lanjutnya.
Angkasa tidak menjawab, hanya balas tersenyum.

Selain karena hari ini adalah hari Senin pada jam siang, ruangan ini juga bukanlah tempat yang ingin didatangi banyak orang, apalagi meramaikannya.

“Kak Sasa, tadi Nana mimpi. Mimpi saat kita masih kecil.”

“Oh, ya? Biar kutebak, pasti waktu kita main petak umpet?”Raina membulatkan bibirnya.

“Kok Kak Sasa bisa tahu, sih? Apa jangan-jangan tadi Nana ngigau, ya? Nana ngomong dalam mimpi gitu.”

Angkasa menggeleng lalu berkata, “Enggak kok, aku hanya menebaknya. Soalnya itu adalah permainan yang paling sering kita mainkan dulunya.”

“Iya, ya. Kita selalu bermain petak umpet sampai lupa waktu, terus mama nyariin saking asyiknya, waktu itu seru banget ya, Kak?” ungkap Nana antusias. “Tapi herannya, Kak Sasa selalu berhasil sembunyi paling lama. Nana aja enggak bakalan bisa nemuin Kak Sasa kalau enggak dibantu sama Lala.”

Angkasa tertawa diikuti Raina, mengakhiri percakapan. Di dinding seberang ruangan, terdapat televisi gantung yang tengah menayangkan sebuah acara talk show.

Namun, volume suaranya sangatlah pelan nyaris tidak ada, dan Nana menontonnya dalam diam, tanpa mengerti apa yang sedang ditayangkan. Sebaliknya, Angkasa hanya menatap lekat wajah datar gadis di hadapannya. Wajah yang mulai menyiratkan warna pucat.

"Raina, apa kamu belum bicara dengan Langit?”

Raina membisu. Mendengar Angkasa tidak  memanggil nama kecilnya, ia paham ini adalah topik serius, topik yang tidak boleh dialihkan lagi. “Belum,” jawabnya singkat.
Angkasa menghela napas panjang. “Ini adalah kemoterapi-mu yang ketiga, Rain. Mau kamu rahasiakan bagaimanapun, cepat atau lambat Langit akan tahu. Sebagai pacarmu, dia pantas untuk tahu dan menemanimu di sini. Bukan aku.”

Jemari Raina yang bebas dari selang infus menggenggam erat tangan Angkasa. Lantas, ia menggeleng dengan wajah yang murung. “Aku nggak mau dia tahu, Kak. Seenggaknya bukan sekarang.”

“Lalu kapan? Kamu sudah menghindarinya selama beberapa bulan. Apa masih layak kalian disebut sebagai sepasang kekasih?”

“Sampai sembuh. Sampai Nana sudah sehat kembali, Kak. Nana percaya Nana pasti akan sembuh dari Leukemia ini. Nana yakin, karena Nana sudah merasa jauh lebih baikan dari saat pertama kali terdiagnosa penyakit ini, Kak Sasa.”

Gantian Angkasa yang terdiam. Kedua pupil di balik bingkai bulat itu tertekuk dalam. Raina yang dapat merasakan kesedihan dari tatapan pria itu kembali menguatkan genggaman tangan mereka.

“Kenapa Kak Sasa sedih?” tanya Raina. “Apa Kak Sasa enggak percaya Nana akan sembuh? Gak perlu khawatir, Kak. Nana sangat yakin dan percaya diri, Nana enggak akan kalah sama si Leki jahat ini. Lagipula, ada calon dokter yang menemani Nana di sini sekarang. Jadi Nana gak akan takut."
Angkasa memaksakan sebuah senyuman.

Rain(a) between Sky & Space Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang