Tentang Kamu, Kalam, dan Ilmu
1-Al-'ilmu Nuurun
"Lorong-lorong panjang tampak gelap. Gulita tanpa penerangan, sunyi tanpa adanya suara. Hening menyelimuti keadaan dan yang terlihat hanyalah kekosongan. Apakah ini yang dinamakan ruang sepi nan sunyi tanpa adanya 'ilmi? Lantas, apa itu Al-'ilmu nurun, wa nurullahi la yuhda lil 'ashi?"
Sabrina A. S.
***
Masa semakin lama semakin berkembang. Kecanggihan teknologi dan masuknya globalisasi lambat laun mulai memengaruhi kepribadian dan pola pikir setiap kehidupan manusia. Pakaian, cara bicara, hingga circle pertemanan mulai menunjukkan point penting untuk masa yang dapat disebut sebagai 'what goes viral is what is followed' . Namun, percaya saja, semua trend tersebut akan kembali serupa dengan kebudayaan di masa ratusan abad yang lalu.
Berbicara tentang waktu, ada suatu waktu yang tak akan pernah ditemukan kembali setelah dewasa hanya karena terkikis oleh perkembangan zaman dan perlahan punah. Pribadi yang apa adanya akan berubah hanya karena kata 'gengsi' di kalangan anak-anak muda. Bahkan anak kecil pun yang masih berusia belia sudah diberi asupan benda pipih nan langsing untuk sekadar membuat mereka tertawa. Haruskah penjajahan secara non-militer bermulai dengan merusak kepribadian insan yang bernyawa?
Generasi lambat laun berubah. Masa-masa kerja keras layak untuk diganti kerja cerdas. Akan tetapi waktu telah berubah dengan sedemikian keras. Fasilitas elit yang seharusnya digunakan dengan sebaik-baiknya justru diselewengkan dan berakhir dengan semena-mena. Contek-mencontek hal lumrah, menghabiskan uang dan berfoya-foya hal yang biasa.
Sungguh terbuai, sia-sia apabila zaman semakin maju tetapi integritas karakter semakin menurun. Kemerosotan moral, anak karakter bangsa yang seharusnya memajukan tetapi justru terjajah oleh hawa nafsu kesenangan dunia.
Tunggu, lantas bagaimana dengan insan yang tengah terjajah dengan perasaan?
"Baiklah, materi pidato minggu ini ialah Al-'ilmu nurun. Ada yang tahu, apa itu maksudnya?" Nur Sabani, salah seorang pemateri Khitobah mulai menjelaskan di depan, sementara empat orang siswi dan seorang siswa dari kelas non reguler mulai mencermati materi yang tengah disampaikan.
"Jangan ada yang bercanda. Dengarkan penjelasan saya. Mohon dipahami."
Lelaki paruh baya tersebut melepas penutup kepalanya sejenak "Bayangkan," Beliau kembali menjelaskan seraya menatap anak muridnya satu-persatu, "apabila kalian tengah berada di sebuah ruangan yang tidak ada cahayanya sama sekali, apa yang kalian rasakan?" tanyanya.
"Tidur, Pak."
Lahhh? Seketika semua mata langsung memandang ke arah gadis berpipi gembul yang duduk di deretan kursi tengah.
"Fadheela ngantuk?" Ustadz Nur Sabani memasang ekspresi terkejut, sementara yang lainnya spontan menepuk jidat. Salah seorang dari mereka menjawab, "Nggak, Pak. Teman saya cuma becan–"
"Bukan ngantuk lagi, sudah molor barusan, Pak, hehe," cengenges gadis itu tanpa dosa.
Arumi spontan menyenggol lengan perempuan di sampingnya. Mengirim isyarat untuk diam ketika melihat raut wajah Pak Bani yang mulai berubah. Sabrina hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sejujurnya ia cukup terkejut dengan sikap Fadheela mengingat ia baru saja mengikuti kelas. Bukan apa-apa, ia hanya khawatir apabila perempuan itu gagal memahami mana waktu yang pas untuk bercanda dan mana waktu untuk serius.
"Aduh, gelap," celetuk seseorang. Ia menelan salivanya. Ini yang bertingkah temannya, kenapa malah ia yang deg-degan?
Sabrina mengedipkan matanya, "Sstt, jangan guyon dulu, Fadh ... nanti kamu–"