2.

9.1K 783 14
                                    


..


Isa. Atau yang sekarang di panggil Mave. Itu tengah merenung di atas kasurnya.

Menatap gelapnya malam dengan langit yang tiada bintang menerangi. Hanya setengah bulan yang terlihat berwarna abu-abu muncul malu-malu.

Mata polos Mave itu mengambang air yang hampir saja meluncur bebas. Mave frustasi dan tidak paham lagi.

Andai saja waktu bisa di ubah. Mungkin Mave lebih memilih pergi dan mengacuhkan tetangga durhakanya itu.

"Gimana ya nasib gue nanti?"

Nada sedihnya membuat suasana malam makin muram. Mave menangis dalam diam. Segala alibi yang telah Ia siapkan tiba-tiba menjadi kan pikirannya tak tenang. Memikirkan segala konsekuensi buruk yang akan Ia terima nantinya.

Andai saja Dia tidak bertingkah konyol dan berakhir di sini.

Andai saja Dia tidak ceroboh dan membela tetangga bodohnya itu.

Ingus Mave membuatnya tersedak.

"Kalo Ibu tau tupperware-nya ilang. Ntar gue pasti di omelin."

Mave menopang dagunya, suara tangisannya makin kencang. "Dia ngga bakal perduli sama gue. Tapi ntar gimana! Gue ngga kuat sama omelan Ibu gara-gara tupperware lagi."

Mave mengusak kepalanya kasar. Dia berteriak tanpa suara. Merasa sangat frustasi memikirkan Tupperware.

..

Lupakan Tupperware. Mave kini harus berdiri menghadap Yang mulia Raja. Atau Pria yang bertatus sebagai Ayahnya.

Kakinya gemetar. Pria itu menatapnya tajam. Mave menghindari tatapan itu ketika hampir saja bersatu.

Di ruangan kerja yang hanya berisi Dia dan Ayahnya itu, Mave ingin segera kabur dari sini.

"Apa yang Kamu inginkan? Kenapa selalu membuat keributan?"

Mave menelan salivanya gugup. "Sudah berapa kali Kamu kabur? Kamu tidak kasihan pada Ibumu?"

"How I am supossed to know?" Gerutuan Mave beruntungnya tak di dengar Ayahnya.

Jika Iya, mungkin Mave sudah di banting sekarang.

"Sudah tidak bisa menggunakan pedang." Mave tersentak.

"Kabur terus menerus." Lagi.

"Tidak bisa membela diri." Lagi.

"Lemah." Lagi.

"Bodoh." Terus.

Mave memegangi dadanya. 'Kok rasanya itu ya, mak jleb gitu.'

"Kamu kalau lama-lama seperti ini. Ayah nobatkan saja Kamu sebagai puteri, bukan pangeran." Ayahnya menggebrak meja selaras dengan ucapan tersebut.

"Loh. Mana bisa seperti itu!" Pekiknya protes.

Raja Oliver mengangkat sebelah alisnya. "Kamu menaikkan nada bicaramu?"

Mave ketar-ketir akan pingsan. Tapi setelah mendengar suara Ayahnya.

"Kerja bagus!"

Mave tak jadi pingsan. Malah merasa kepalanya seolah di pukul palu gada. Apa maksud si Bapak tua itu?

Ya bersyukur, setidaknya Mave tidak jadi kencing di celana.

"Besok ikut Kakak Sulungmu."

Mave mengernyit. Jadi bukan hanya Dia Anak di sini. Tapi Dia kembali lagi pada kenyataan.

"Kemana?" Tanya Mave bingung.

Oliver yang sudah bangga akan keberanian Anaknya itu tiba-tiba merasa itu percuma. Karna Anaknya itu memang bodoh.

Sudahlah bodoh. Pelupa pula.

"Ke rumah Baron." Singkatnya memberi jawaban.

Mave menggaruk pipinya canggung. "Mau apa?"

Katakan saja pada Oliver. Jika tidak sanggup. Suruh dia angkat tangan.

..

Mave duduk di samping Kakak sulungnya. Duduk di meja makan dengan semua anggota keluarga lengkap.

Mave mengernyit bingung karna menu makanan tak membuatnya berselera.

"Ayam penyet ngga ada?" Mave bertanya pada Kakak sulungnya.

Pertanyaan itu tentu menjadi hal aneh dalam pendengaran Kakaknya, Dylan. Dylan mengalihkan pandangannya ke samping, lalu ke depan lagi di mana makanan sudah tersaji di meja.

"Bang- gue tanya."

"Gunakan bahasamu Mave. Jika Kamu kembali berkata dengan bahasa kuno-mu itu. Mulutmu akan Ku robek." Dylan berujar dengan galak.

"Puh- sepuh ... galak bener si puh." Cibirnya.

Ketika Oliver datang. Mereka semua mulai duduk dengan tegap. Dan bersiap menyantap makanan setelah Oliver mengangkat gelasnya.

Namun tidak berlaku dengan Mave. Dia masih cemberut di tempatnya. Merasa kesal dan tak nafsu makan.

Rosa yang tanpa sengaja melihatnya pun bertanya-tanya. Ada apa lagi dengan Anak penakutnya itu.

"Kenapa tidak makan?" Tanya Rosa setelah di rasa Mave lama-lama terlihat menahan air mata.

"Tidak kenapa-kenapa." Itu jawabannya. Namun Rosa dengan yakin percaya bahwa ada yang tidak beres dengan Anaknya itu.

"Ada makanan yang Kamu inginkan?"

Mave yang tadinya tertunduk lesu itu dengan spontan mendongak. Bola matanya yang berbintang itu menyerang Rosa dengan kepolosannya.

Membuat Rosa tertawa kecil. Ada saja tingkah Anak bodoh itu.

"Bolehkah?" Rosa mengangguk.

Mengiyakan pertanyaan Mave yang terdengar lucu. Mave itu kini mengetuk-ngetuk dagunya. Mencari list menu yang ada di otaknya.

"Ada cabe?" Tanya Mave antusias.

Rosa mengernyit. "Maksud Kamu cabai?" Mave mengangguk.

Dia bangkit dan mendekat ke arah Rosa. "Ibunda ... Aku mau cabai." Semua Orang di sana terheran akan tingkahnya.

Tingkah Orang bodoh yang makin terlihat bodoh. Pikir mereka.

Tapi mana ada yang tahu kalau Mave mengidam ayam penyet? Yah biarkan saja begitu.

"Sudahlah. Biarkan si bodoh itu ke dapur. Entah apa yang akan Dia lakukan lagi."

Itu ucapan dari Alina. Kakak keduanya. Menatapnya dengan acuh. Mave meliriknya sinis.

"Alina, jaga mulutmu." Mave menutup mulutnya tak percaya. Ayahnya itu rupanya tengah mencoba membelanya.

Mave sangat tersentuh.

Ah, hidung Mave rasanya sudah memanjang saja saat mendengar pembelaan dari Ayahnya. Memang Ayahnya itu sangat baik hat-

"Kalau Kamu menegaskan Dia bodoh. Dia akan semakin bodoh." Yah, lupakan saja semua pujiannya.

Biarkan Mave berkelana mencari cabai untuk eksperimennya memasak ayam.




..

Bloviate.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang