12/12

485 58 1
                                    

Jeffrey mulai melepas pelukan. Lalu berbincang dengan Joanna yang mulai makan. Mereka membicarakan banyak hal. Tentang kehidupan mereka pasca berpisah. Membuat Jeffrey kerap meminta maaf. Sebab merasa jika kesusahan yang Joanna dapat karena dirinya.

"Aku benar-benar minta maaf. Seharusnya aku tidak melakukannya. Dulu, aku pikir kamu tidak akan bisa berubah jika terus dimanja. Sehingga aku berlaku kasar. Maaf, ya?"

Joanna terkekeh saja. Lalu menepuk pundak Jeffrey berulang. Sebab pria itu terus saja mengucap kata maaf sejak tiga jam ke belakang.

Karena saat ini matahari hampir datang. Bahkan ART juga tengah menyiapkan sarapan. Membuat Jeffrey dan Joanna bergegas menyudahi perbincangan.

"Sudah, lah! Lupakan saja. Aku bahagia meskipun hidup susah di luar. Karena aku bisa bertemu Jordan dan menghadirkan Janeta. Meski hanya sebentar."

Joanna bangkit dari kursi. Berniat ke kamar dan tidur lagi. Sebab dia mulai mengantuk saat ini.

Dua tahun kemudian.

Joanna dan Jeffrey semakin dekat. Mereka tidak lagi saling diam saat berpapasan. Mereka juga tidak kembali bertengkar seperti saat masih remaja.

Maklum saja, ini karena mereka sudah sama-sama dewasa. Sudah berkepala tiga dan mungkin kedewasaan terus menyertai mereka. Karena nyatanya, banyak di luar sana orang berusia matang yang belum dewasa.

Apa-apa harus sesuai kehendaknya. Padahal, tidak semua hal harus ideal sesuai keinginan. Karena semesta akan ikut andil juga. Sebab terkadang, apa yang kita rencanakan kurang baik sehingga Tuhan akan membelokkan.

Seperti sekarang, selama enam bulan ini Joanna sudah belajar mati-matian agar bisa masuk sekolah desain di Paris. Namun dia berakhir gagal dan membuat Jessica menangis. Sebab dia sudah berencana ikut Joanna selama masa studi. Karena Sandi sudah meninggal tahun kemarin.

"Bagaimana hasilnya?"

Tanya Jeffrey pada Joanna yang sedang duduk di tepi ranjang. Bersama Jessica yang sedang menangis saat menatap layar laptop si anak. Karena Joanna memang gagal masuk kampus impian setelah enam bulan giat belajar tanpa jeda. Bersama tutor yang sudah disewa seharga puluhan juta.

"Coba lagi, hehehe."

Joanna terkekeh pelan. Sembari mengusap punggung Jessica. Berusaha menenangkan ibunya dan mengatakan jika dia baik-baik saja. Karena kegagalan seperti ini  sudah dipertimbangkan.

"Kok malah Mama yang nangis, sih?"

Tanya Jeffrey sembari menatap kesal ibunya. Karena seharusnya, Joanna yang paling bersedih sekarang. Sebab dia yang akan kuliah. Bukan Jessica yang hanya menjadi tim hore saja.

"Tidak tahu, tuh! Mama sedih karena tidak jadi tinggal di Paris, ya?"

Goda Joanna pada Jessica. Membuat wanita itu menepuk pelan pahanya. Sebab bukan hal itu yang ditangisi sekarang.

"Mama menangis karena sedih! Mama tahu bagaimana kerja kerasmu selama enam bulan ini! Saat melihat hasilnya seperti ini, kamu pasti kecewa sekali!"

Joanna terkekeh semakin kencang. Lalu memeluk Jessica. Berbeda dengan Jeffrey yang kini beralih menatap adiknya yang tampak biasa saja. Tidak menunjukkan raut kecewa meski enam bulan perjuangannya berujung sia-sia.

Munafik namanya kalau Joanna mengatakan dia tidak kecewa. Dia jelas sangat kecewa sekarang. Sangat sedih juga, karena gagal masuk kampus impian.

Namun, dia sadar jika pasti ada tangan Tuhan dibaliknya. Dia percaya jika rencana Tuhan lebih baik dari rencananya. Sehingga dia dapat lebih santai dari apa yang seharusnya.

EVERYTHING TAKES TIME [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang