Chiko membuka pintu ruangan Noeline lalu diam sejenak mendengarkan musik yang sedang diputar. Dahinya mengernyit, lantas ia berujar, “Vivaldi?”
“Concerto in G minor RV 156,” balas Noeline sambil tersenyum. Akhirnya dia punya teman satu selera soal musik.
Chiko menutup pintu. Ia berjalan mendekat lalu menarik kursi di depan Noeline. Lelaki itu mengenakan kemeja lengan panjang dan celana bahan berwarna hitam. Sebuah ransel tersampir di bahu kanannya. Sekilas Chiko terlihat mirip dengan Khalif, hanya saja tatapannya lebih tajam dan auranya tak selembut Khalif.
“Gue kira tadi gue kesasar. Ternyata beneran satu gedung sama cafe ya?” tanyanya sambil melepas ransel.
“Iya. Cafe yang di bawah itu punya sepupu gue Malik.”
“Sepupu lo?”
Noeline mengangguk. “Sepupu dari Papa gue.”
“Pantes mukanya gak asing. Kayanya gue pernah lihat dia di snapgram lo.”
Sejujurnya Noeline tak ingat kapan dia mengunggah foto bersama Malik, tapi karena malas berpikir jadi dia iya-iya saja. Sementara pandangan Chiko kini menyapu setiap sudut ruangan Noeline yang tertata rapi. Beberapa detik kemudian dia mengangguk-angguk puas.
“Jadi hari ini gue ngapain Kak?” Atensi Chiko sudah kembali pada Noeline.
“Bikin pamflet buat lomba.” Noeline menjelaskan tentang kontes menulis yang akan diadakan Aurora Books. Beberapa hari yang lalu dia sudah berdiskusi dengan yang lain. Hasilnya mereka akan mengusung genre young adult dengan tema bebas. Awalnya ada beberapa tema yang diajukan, tetapi akhirnya Noeline memutuskan untuk tidak memakai tema karena dia ingin melihat berbagai macam cerita dengan tema beragam. Apalagi ini kontes menulis pertama Aurora Books. Dia ingin mendapat peserta sebanyak-banyaknya.
“Oke paham.” Chiko mencatat beberapa hal penting di ponselnya. Setelah itu ia keluar bersama Noeline. Lelaki itu memasang senyum tipis ketika Noeline mengenalkannya kepada yang lain. Suaranya yang ceria membuat Chiko mudah disukai.
“Nah, meja lo di sini. Kalau butuh apa-apa lo tanya Nizar atau Irvyna aja. Terus soal pamflet nanti lo diskusiin sama Indira. Dia yang megang sosmed Aurora Books.”
“Oke.”
Setelah memberi pengarahan pada Chiko, Noeline turun ke lantai dua. Di sana terlihat lebih sibuk daripada di lantai atas. Kardus-kardus yang belum dilipat berserakan di lantai. Tumpukkan buku yang belum dikemas memenuhi salah satu sudut ruangan.
“Novelnya Erika belum dikirim semua?” tanya Noeline membuat kedua pegawainya menoleh serempak. Erika adalah salah satu penulis Aurora Books yang berhasil dipinang Noeline beberapa bulan lalu. Dia sendiri yang mengurus naskahnya. Meski posisi Noeline adalah direktur Aurora Books, tetapi kadang dia masih hunting naskah di beberapa platform menulis, serta menjadi editor saat dia sedang tidak banyak pekerjaan—karena awalnya Noeline juga seorang editor.
Noeline menyukai perasaan saat dia menemukan cerita bagus yang sesuai dengan seleranya—hidden gem kalau kata anak-anak jaman sekarang—lalu si penulis setuju untuk menerbitkan karyanya. Tidak dapat dijelaskan bagaimana tepatnya perasaan tersebut. Mungkin hanya orang-orang yang bekerja dalam bidang yang sama lah yang akan mengerti.
Syarat mutlak yang Noeline buat untuk para editor Aurora Books jika ingin meminang naskah dari platform mana pun adalah harus sudah membaca keseluruhan cerita tersebut, tidak hanya melihat dari jumlah viewers atau hanya membaca sinopsisnya saja. Noeline ogah Aurora Books menerbitkan karya tidak masuk akal yang cacat logika. Misalnya sepertinya anak SMA yang sudah jadi CEO. Noeline benci sekali cerita semacam itu. Menurutnya masih banyak kisah masa remaja yang bisa dijadikan sebuah cerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dissonance: Ending Page
Chick-Lit"Just like the moon, half of my heart will always love the dark." [Special Collaboration] Written on : 27 June ©Dkatriana