SKSB 31

507 134 8
                                    


Wajah Dewa terlihat tidak baik-baik saja saat masuk ke rumah masa kecilnya. Terlebih saat mamanya telepon tadi, jelas terdengar jika sang papa meminta penjelasan tentang yang selama ini membuat kemelut di hatinya.

Dia duduk di depan kedua orang tuanya. Tak lama seorang paruh baya muncul membawa nampan yang berisi orange juice dan meletakkan di meja tepat di depan Dewa.

"Makasih, Mbok."

"Sama-sama, Mas Dewa."

Setelah membungkuk hormat dia kemudian kembali ke dapur.

"Jelaskan ke Papa, kenapa kamu jadi berubah pikiran!" tanya Hartono tanpa basa-basi.

Pria yang memiliki cambang tipis itu mengangkat wajahnya, meraih minuman dan menyesapnya hingga tandas.

"Mama pasti sudah cerita, jadi apa lagi yang harus Dewa ceritakan, Pa?" jawabnya sembari meletakkan gelas kembali ke meja.

"Tapi Papa ingin mendengar alasan langsung dari kamu!"

Menarik napas dalam-dalam, Dewa menjadikan paha sebagai penyangga kedua tangannya.

"Dewa nggak mau menyakiti Karina."

"Lalu? Apa kamu pikir Karina bisa menerima alasanmu?" Hartono memindai tajam.

Mengedikkan bahu, Dewa menggeleng.

"I don't know, Pa. Tapi Dewa akan cari tahu caranya."

Pria paruh baya itu mengembuskan napas perlahan.

"Terserah kamu, Papa selama ini hanya mengikuti apa yang jadi maumu. Tapi ingat! Papa dan Mama tidak ikut campur apa pun dengan keputusanmu dan apa pun yang nanti terjadi andai orang tua Karina tidak setuju dengan keputusanmu!"

Dewa mengangguk sembari kembali bersandar. 

"Kamu sudah dewasa untuk mengambil keputusan apa pun. Papa percaya kamu tahu apa yang jadi pilihanmu itu berarti yang terbaik untuk kamu!" imbuhnya.

"Pa! Ya nggak bisa gitu dong!" Erlin menyela. Sebagai seorang ibu dan seorang perempuan tentu saja dia sangat bisa berempati terhadap Karina. "Mama ini perempuan, Mama tahu seperti apa perasaan Karina. Dia pasti kecewa dan hancur jika tahu hal yang sesungguhnya!"

Hartono menatap sang istri lalu pindah ke putranya.

"Seperti yang Papa bilang ke Dewa tadi, Ma. Biarkan dia yang menyelesaikan masalah ini. Karena sejak awal dia yang memulai, jadi biarkan dia mengakhiri dengan caranya!" ungkap Hartono tegas tanpa memindahkan tatapan matanya.

"Pa! Dewa itu anak kita dan apa yang dia lakukan sudah pasti imbasnya ke kita! Papa kenal keluarga Karina, 'kan? Kita tahu siapa mereka, dan ... akan runyam kalau ...."

"Akan lebih runyam kalau di kemudian hari diketahui ternyata Dewa hanya mempermainkan perasaan putrinya. Akan lebih bermasalah jika Dewa menikah dengan hati yang tidak sepenuhnya untuk Karina," potong Hartono. "Kita realistislah, Ma."

Dewa mengusap wajah. Perdebatan hatinya kini telah menjadi perdebatan kedua orang tuanya. Diam-diam dia merutuki dirinya sendiri. 

Menyesali perasaan yang kini telah menjadi hal yang sangat berat untuk diputuskan. Mungkin bukan hanya berat, tetapi dia harus menyiapkan mentalnya dan tentu saja mental Karina untuk mendengar dan mengetahui apa yang jadi sumber kemelut di hatinya.

"Papa tahu, ini sulit." Pria yang rambutnya terlihat kelabu itu kembali menelisik sang putra. "Tapi kamu Dewa, kamu harus bisa memutuskan mana dan apa yang terbaik sebelum akhirnya semua terlambat! Kamu harus berpikir dengan tenang siapa Karina dan siapa perempuan yang kini sedang menghantuimu itu. Papa rasa Papa tidak perlu tahu namanya! Yang jelas, jangan pernah membuat keputusan yang salah! Paham?"

Setidaknya Kita (Sempat) Bersama (Sudah Terbit Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang