Aku berlari diantara lorong-lorong sepi, kakiku bagai menginjak-injak udara. Hanya dengan waktu 1 menit aku sudah sampai di depan kelas Bu Henny, Dosen Mata Pelajaran Fisika yang super-killer. Aku menyeka keringatku, mencoba mengatur nafasku dan mengatur detak jantungku.
Ini gara-gara abang! gerutuku sambil memutar kenop pintu kelas dan
"Melody? Terlambat lagi!" Seru Bu Henny, aku bergidik ngeri. "Maaf bu" ujarku dengan wajah bersalah andalanku. Aku melirik teman satu kelasku dan memutar bola mataku, bukannya mereka membantuku tetapi malah melihat ngeri kearahku. Astaga, benar-benar tidak bisa diandalkan.
"Kamu itu tahu gak? Kamu sudah di perguruan tinggi, bukan sekolah menengah atas! Kebiasaan jelek semasa SMA kamu itu harus kamu hilangkan...." Aku hanya menatap ibu itu dengan wajah bersalah terus menerus agar Bu Henny menghentikan ocehannya.
"Sekali lagi kamu terlambat, Ibu tidak akan memaafkan kamu! Paham?" Aku mengangguk-angguk sambil nyengir kuda "Ehm.. Ada satu yang gak bisa saya pahamin bu" Bu Henny menyeritkan dahinya, lalu berkata. "Apa?" Aku nyengir kuda lalu berkata, "Itu bu.. Kenapa setiap saya baru buka kenop pintu ibu sudah tahu itu saya? Ibu bukan cenayang kan?" Bu Henny membelalakkan matanya dan menggeleng. "Enak saja kamu!"
Aku tertawa kecil dan beranjak duduk di tempatku. "Eh, mau kemana kamu?" ujar Ibu Henny sambil berkacak pinggang. Aku menoleh malas sambil menunjuk tempat dudukku. "Mau duduk lah bu, masa ngajar?" Bu Henny menghela nafas panjang sambil mengibas-ngibaskan tanggannya. "Ya, ya" Aku tersenyum lalu dengan senang hati duduk ditempatku.
*******
"Gila kamu dy!" Aku tersedak lalu meminum air putih es di hadapanku dan menatapnya dengan tatapan membunuh. "Kamu kali yang gila, An. Dateng-dateng bikin kaget orang" ujarku sambil mengambil tisu dan terbatuk lagi. "Maaf deh, aku beliin minum lagi ya? Habis minum kamu" ujarnya dan aku memutar bola mataku dan mengangguk. "Sana" ujarku tersenyum, ia mengangguk lalu berjalan ke arah kasir.
Andromeda Wirdiatama, sahabatku yang telah menemaniku selama 17 tahun hidupku ini tak pernah kenal lelah menghadapi diriku yang moody, aneh, dan menyebalkan. Kami sama-sama bersahabat karena orangtua kami juga merupakan sahabat dan relasi yang juga merupakan teman lama. Sejujurnya, aku tahu Andro menyimpan sebuah perasaan untukku, tapi aku tidak merasakan hal sama.
Hal yang orang bilang jatuh cinta. Tidak ada yang tidak bisa menolak pesona Andro. Wajah tampan, baik dan senang menolong orang, murah senyum dan tidak macam-macam membuat Andro mempunyai segudang fans yang membuatku pusing, karena aku sendiri disibukkan oleh fans Andro yang ingin mendekatinya.
Banyak orang yang jatuh cinta atau sekedar suka dengannya tetapi tidak denganku. Kesempurnaan itu bahkan tak dapat menggerakkan hatiku setelah sekian belas tahun bersamanya. Katakan aku bodoh, tetapi aku benar-benar tidak bisa jatuh cinta atau apapun itu kepada Andro. Kata orang, jatuh cinta itu rasanya seperti menjadi orang gila. Kita bisa sedih dan senang di saat bersamaan, takut dan berani di saat bersamaan, jatuh cinta itu berjuta rasanya, begitu kata orang.
Dan aku tak pernah merasakan apapun itu jatuh cinta pada Andro.
Lamunanku terpecah ketika Andro duduk dihadapanku. Apakah memang aku tidak pernah mencintai Andro?
"Kamu ngapain liat wajah aku gitu?" ujarnya sambil meletakkan minuman dihadapanku. Aku menundukkan wajahku dan menggeleng. "Kenapa? Ganteng?" ujarnya lagi dan aku menatapnya ngeri. Dia memang tampan, kulit kecokelatan dengan tatapan teduh dan raut yang tegas menambah nilai plus wajahnya. "Ganteng. Gajah tenggelem" ujarku sambil memutar bola mataku. Kini ia yang bergantian menatapku dengan intens.
"Kok kamu gantian liatin aku?" Andro menatapku dengan teduh, membuatku malu. "Kamu cantik" aku membeku, mendengar kata-kata itu dengan cepat meluncur melalui bibirnya. Aku lalu memutar bola mataku dan tertawa. "Gombal, sudah sana. Bentar lagi jam 1 kan? Kamu telat" ujarku lalu dia mengangguk. Dan beranjak dari tempat duduk. Kami sedang berada di cafe di depan kampus kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Melody of Us
RomanceCerita ini tak ubahnya sebuah cerita cinta biasa. Dengan tokoh yang biasa. Seorang yang dingin dan seorang yang begitu aktif, dipersatukan dalam sebuah keinginan panah sang pemanah cinta. Mereka diikat sebuah cincin, tanpa cinta awalnya. Tetapi p...