Napasku tertahan. Jean duduk di sana, di tengah-tengah orang-orang yang senang menyambutnya kembali. Seperti dugaanku, dia tumbuh dengan baik. Mungkin tingginya sudah melebihiku. Wajahnya rupawan, tampilannya berbeda karena dia memakai kacamata, tapi itu tidak mengubah ciri khasnya. Dari semua perubahan itu, senyumnya masih sama. Lihatlah itu, dia tertawa begitu lebar, sangat menawan.
"Yaaah... tempat di sebelah Jean udah penuh." Hayu yang datang bersamaku mengeluh. Dia mengedarkan pandangan, mencari tempat yang masih kosong. "Kita duduk di dekat ibu-ibu aja, yuk," ajaknya.
Malam ini ada makan bersama di rumah Pak RT dalam rangka menyambut pulangnya Jean. Pekarangan rumah Pak RT yang luas sudah digelar karpet. Orang-orang mulai berdatangan, menyapa satu sama lain, kemudian duduk di atas karpet, mulai menyantap camilan yang disediakan sambil berbincang-bincang.
Aku masih menatap Jean dari kejauhan. Aku tidak punya celah untuk menyapanya. Lihat saja, dia dikerubungi orang-orang, terutama gadis-gadis yang mengagumi tampangnya itu.
"Ya ampun, udah beda banget ya Jeje. Dulu dia suka main di kali sama anak-anak. Sekarang ganteng begitu, pasti udah punya pacar di kota."
Aku melirik ibu-ibu yang sedang mengobrol itu. Kalimatnya membuatku tertegun. Benar juga, Jean pasti digandrungi gadis-gadis kota.
Kalau begitu... semakin besar kemungkinan Jean tidak mengingat percakapan di bawah hujan itu.
"Kamu enggak mau nyapa Jean?" Hayu menyenggol tanganku. Duduknya yang seperti bapak-bapak di warung itu membuatku tersenyum geli. Ditambah lagi dia sedang sibuk mengupas kulit kacang dan memakan isinya dengan semangat.
"Enggak deh, masih rame gitu," jawabku.
Hayu menggeleng kasihan. "Cepetan tunjukin lagumu itu, keburu dia digebet cewek."
Aku mengernyit kesal. "Nunggu waktu yang tepat, Yu."
"Waktu yang tepat itu kapan? Keburu dia balik ke kota, Mae." Dengan sengaja Hayu melempar kulit kacang ke arahku. Aku tahu dia greget. Hayu yang selalu bertindak spontan itu kadang kesal denganku yang banyak berpikir.
Ya, mau gimana lagi, semua hal itu harus dipikirkan dahulu.
Aku menoleh ke arah Jean lagi, memandangnya selama sepuluh detik. Sepertinya teori tentang menatap orang selama lebih dari sepuluh detik maka orang itu akan menoleh itu benar. Jean ikut memandangku. Senyumnya menghilang, digantikan dengan tatapan yang tidak aku mengerti.
Aku tidak pernah melihat ekspresi wajah itu. Tatapannya membingungkan. Aku memandang ke arah lain, menghindari mata Jean.
"Semoga besok cerah," gumamku.
"Pasti! Aku bakal bantu doa," balas Hayu yang ternyata mendengar gumamanku. Matanya berbinar, mulutnya penuh dengan roti, dia terlihat seperti tupai. "Akhirnya kapalku bakal berlayar."
Aku tersenyum masam seraya meninju lengan Hayu pelan. Dia memang pendukung terbaik. Tidak akan ada teman sebaik dia.
🌼
KAMU SEDANG MEMBACA
A Sunny Day is Ours✔
Teen FictionLaki-laki pemilik senyum secerah sinar matahari itu akhirnya kembali. Aku menjanjikan sesuatu padanya saat kecil. Apakah dia masih mengingatnya?