4

9 2 0
                                    

"Langitnya cerah, ya," kata Jean.

Aku mengangguk.

"Kamu masih suka hujan?"

Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk.

Delapan tahun tidak bertemu membuatku canggung. Jika kami masih berumur sepuluh tahun, canggung seperti ini tidak akan ada.

"Apa lagumu udah jadi?" Jean melirik gitarku yang tengah bersandar di ujung gazebo.

"Ya, kamu mau dengar?"

Jean dengan cepat menggeleng. "Dengerin ceritaku dulu."

Aku menggigit bibir cemas. Sepertinya itu bukan cerita yang bagus.

"Maaf baru sekarang bisa ke sini."

Aku menggeleng. "Enggak apa-apa kok."

"Sebenarnya aku khawatir datang ke sini. Aku punya banyak masalah di kota, jadi aku takut senyumku enggak secerah dulu. Orang-orang kampung udah nunggu aku, enggak mungkin aku datang dengan wajah sedih. Tapi beberapa hari yang lalu Kama nge-chat aku, katanya kamu berhasil bikin lagu. Cepat-cepat aku pesan tiket ke sini, buat dengerin lagumu."

Aku terkejut mendengar perkataan Jean. Masalah apa yang membuatnya sedih seperti ini?

"Kamu masih ingat?" Tanyaku memastikan.

Jean mengangguk. "Pasti aku ingat. Waktu itu kamu yakin banget mau bikin lagu buatku. Aku nunggu bertahun-tahun, Mae." Jean menggeser tubuhnya, mendekat ke arahku. "Jadi, mana laguku?"

Aku menahan napas. Kami terlalu dekat. Dengan cepat aku mengambil gitar, bersiap memetikkan senarnya. Aku berusaha tenang meskipun kepalaku terasa pusing karena terlalu gugup.

Aku mulai memetik senar gitar, menarik napas dan mulai bernyanyi.

Apakah kamu sudah melupakannya?
Kita duduk di bawah pohon saat langit cerah
Kita memakan es krim sambil menunggu angin datang

Apakah kamu sudah melupakannya?
"Dunia ini penuh dengan kebohongan. Mari kita cari arti yang sebenarnya," katamu sambil tersenyum

Aku harap tak melupakannya
Aku harap kenangan tak menghilang
Karena yang masih menjadi masa lalu itu bukan segalanya

Kini aku kehilangan sosok wajah itu
Aku ingin melupakan segala kata-kata
Kamu terlihat tersenyum
Kita adalah arwah yang menunggu langit cerah
Katakan padaku tentang perasaanmu
Katakan padaku aroma musim panas

Aku menghela napas begitu lagunya selesai. Dengan cepat aku menoleh ke arah Jean, ingin melihat bagaimana tanggapannya.

Aku membulatkan mata. Laki-laki itu berkaca-kaca. Dia tersenyum tapi bibirnya bergetar. Saat itu juga aku sadar. Bocah yang selalu tersenyum itu sudah tidak ada. Kini aku hanya mengenal seorang pemuda yang tidak akan menyembunyikan perasaannya lagi. Semakin dewasa Jean, dia semakin realistis, dia tidak bisa selalu tersenyum di setiap situasi.

"Kamu enggak bisa terus membahagiakan orang lain, Je. Kebahagiaanmu yang paling penting," kataku.

Jean mengangguk seraya mengelap ujung matanya. "Makasih, Mae. Itu lagu yang indah."

Aku berteriak dalam hati. Laguku akhirnya tersampaikan. Jean juga menyukainya.

"Oh iya, aku bakal tinggal di sini lebih lama lagi," ujar Jean.

Aku berbinar. "Beneran?"

"Ya, tiga hari jadi satu minggu. Ibu akhirnya ngebolehin. Jadi, ayo main lebih lama lagi. Besok malam katanya ada pesta lampion?"

"Iya, itu acara baru di kampung. Kama yang ngide," jelasku.

Jean tersenyum senang. "Pas banget, ada yang mau aku omongin besok malam."

Aku terdiam. Pura-pura memasang wajah bodoh.

"Apa yang mau diomongin? Kenapa enggak sekarang?" Aku mengerling jahil.

Wajah Jean memerah, semerah tomat. Aku terkekeh geli melihatnya.

"Suasananya enggak tepat. S-sekarang kita beli es krim dulu. Ya, ya, es krim. Es krim-nya udah leleh gara-gara kamu datangnya lama."

Ah, seru sekali melihat ekspresi gugup Jean.

"Oke, oke, ayo ke rumah Hayu, beli es krim."

Kami turun dari gazebo sambil tertawa. Sudah lama sekali aku tidak merasakan perasaan bahagia ini. Meskipun aku masih bertanya-tanya tentang masalah Jean, aku harap Jean menenangkan dirinya selama berada di kampung ini.

Di kampung ini, tempat kami menghabiskan masa kecil dengan bermain, tempat kami kembali.

END

🌼

A Sunny Day is Ours✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang