KIANA POV
Zaman dulu, kakekku sering berpesan bahwa hidup ini bukan tentang menanti badai untuk berlalu tetapi tentang menari di tengah badai. Saat itu aku tak terlalu memahai maksut nasehat itu, tetapi belakangan, Wintari memvisualisasikan itu dengan sempurna.
Ia mengkomunikasikan setiap detail yang terjadi pada harinya, menanyakan hariku, menangkan kegundahanku, dan mengajariku cara menikmati setiap tarikan nafas meski dunia seolah tak berpihak pada kita.
Terutama pada awal-awal kekacauan, ia benar-benar memprioritaskan kenyamananku, menyempatkan memberi kabar disela-sela kesibukan kuliah dan persiapan konsernya, selalu berusaha mengantar dan menjemputku setiap hari, membuatku berpikir semuanya tetap aman selama ada dia. Dan kasih sayangnya yang menyentuh hati itu bekerja seperti terapi. Efektif dalam membantuku kembali berdiri di kaki sendiri.
Di hari ketiga, aku sudah kembali menjalani hidup dengan normal. Lebih ahli menepikan anxiety dan rasa tak nyaman. Bisik-bisik berisik mereka yang tidak tahu apa-apa masih terdengar, tapi aku sudah tak lagi memiliki dorongan besar untuk menjelaskan. People can talks all they want, I have better things to do, more important matter to deal with.
Persis seperti saat ini, Di cafe sepi tempat El membawaku di hari pertama rumor itu menyeruak, sibuk dengan iPhone 14 pro max gold di genggaman, membalas chat dari Wintari yang bertanya apa yang sedang ku lakukan.
"Ya! Jangan senyam-senyum sama HP gitu lah, jijik." protes El, memberiku tatapan super tersinggung, seolah aku baru saja melakukan hal paling tak termaafkan padanya.
El duduk di sisi lain meja, berhadap-hadapan denganku. Mengenakan kaos lengan panjang hitam, hari ini rambutnya diberi poni yang menutupi kening. Membuatnya terlihat beberapa tahun lebih muda.
Nada protes temanku anehnya sama sekali tidak menganggu di telinga. Mungkin karena suasana hatiku sedang sangat baik setelah mendapat chat dari Winta. Atau mungkin karena hari ini ia terlihat imut, ntah yang mana, yang pasti saat ini dunia terasa lebih indah.
Wintari memberitahu jika ia baru istirahat. Ku ulangi, Wintari, langsung mengabariku ketika istirahat. Ah! Apakah ini sudah waktunya menanyakan 'what are we?'
"Wintari, kah?" Tanya sahabatku masih menggunakan nada retoris yang menyebalkan. Tetapi, sekali lagi, karena saat ini suasana hatiku baik, aku mengangguk-anggukan kepala dengan penuh semangat.
"Sini maju dikit, pose dulu." Ajakku, mengarahkan kamera, lalu mengambil foto tanpa aba.
"What the heck was that? gue belum siap!"
"Udah, lu gak usah siap. Gini aja udah cakep."
"Bangke! Bisa aje lu nyet. Btw, titip salam ke Wintari."
"Salam apa?"
"Bilang gitu dulu aja, tunggu ntar kalo dia ngerespon, gw baru mau nanya."
"Nanya apa?"
"Kiana bawel ih! Bilang aja buruan."Nada gemas di suara sahabatku menjadi peringatan agar aku berhenti cerewet, sebelum kesabarannya yang setipis tisu benar-benar habis. Ku kirim foto bersama El, untuk memberitahu Wintari aku sedang berada di café sambil menunggu kelas selanjutnya, dan tak lupa menyampaikan salam dari El.
Pesanku langsung dibaca, seolah dia tak melakukan apapun selain menunggu balasan dariku, dan detail seperti itu membuatku semakin melambung. Pesan balasan darinya masuk, dan aku bukan hanya melambung, tapi telah terbang menembus atmosphere. "I swear Kiana you looks stupid." Ujar El, suara kesalnya mengembalikan ku menapak ke bumi. I gues that was a friend for, bringing you back to reality.
"Nih lu dapet salam balik dari Wintari."
"Apa katanya?"Ku baca pesan dari Wintari sambil mempersiapkan diri akan respon El, "Salam balik ya, bilangin, sama Wintari disuruh jagain Kiana."
El memutar mata sambil membuang nafas keras, kalau di manga pasti saat ini sudah digambarkan asap keluar dari hidungnya. "Sejak kapan gue setuju untuk diposisi ini? You were my bestfriend! Then a unknown guitaris come, an BOOM! I become a bodyguard rasa obat nyamuk. Gue tebalikin nih dunia." Oceh El penuh drama. Tingkah lucunya membuatku melemparkan badan ke sandaran kursi, tertawa lepas tanpa beban.
"Bilang Wintari, bagi tiket buat konser Capricorn sabtu besok." Tambah El, aku mengangguk, pelupuk mata masih digenangi air mata kebahagiaan.
"Kata dia, tiket lu udah di Ninda. Ciyeeeeeeeee." Godaku, El terbelalak kaget. "Lu ada apa-apa ya sama adek sepupu Wintari?" Lanjutku terus menggodanya.
Gerak-gerik El terlihat jelas akan membantah, tapi harus terpotong karena pesan susulan dari Wintari membuatku terbahak-bahak. "Kenapa sih nyet?"
Kesusahan memberi penjelasan di tengah tawa, ku serahkan saja HP di genggaman. Memperlihatkan chat Wintari, yang memohon agar aku dan El melupakan kenyataan bahwa ia membocorkan surprise Ninda.
Di depanku, El mulai tertawa. Dan pesan dari kakekku kembali terngiang. Kehidupan itu, tentang berdansa di tengah badai.
Orang asing boleh memberi penilaian buruk, dan mungkin aku layak untuk menerima itu, karena memang hubunganku dan Wintari tidak dimulai dengan cara yang baik. Tapi, aku juga tak perlu terlalu menghiraukan, penilaian mereka tidak mendefinisikan siapa aku.
Selama orang-orang terdekat seperti El, ninda, dan band Wintari baik-baik saja, kuyakin semuanya akan baik-baik saja.
Yang terpenting hanyalah dukungan orang-orang tersayang.
Berbalas pesan dengan Wintari berlanjut, ia menjawab kegundahan tentang harus menghadiri konsernya atau tidak mengingat kekacauan pemberitaan di luar sana dengan mengajakku pergi. Sejujurnya saat ini, aku tidak tahu harus bagaimana memposisikan diri, dan Wintari selalu mengambil inisiatif, meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja.
Perlahan aku melihat diri sendiri keluar dari zona nyaman, membuka diri padanya, membiarkan ia melihat sisi paling lemah pada diriku, Mengubah sebatas ketertarikan menjadi jatuh cinta. Aku masih tidak tahu bagaimana ia melakukan itu dan membuat semuanya seolah mudah.
Ku temui, jatuh cinta pada Wintari sangatlah mudah.
Sebelum ku tahu, ia sudah menjadi poros duniaku berputar. Aku memikirkannya setiap saat, tak sabar kembali bersamanya sesaat setelah terpisah.
Badai yang menghantam hidupku kali ini, ternyata membawaku pada pelangi yang terindah dari yang sebelum-sebelumnya.
Perasaanku berbalas! Kali ini bukan lagi satu arah.
Wintari memanggilku dengan sebutan 'sayang' pada pesannya, memuat ku salah tingkah di dudukku.
"Kiana! Lama-lama lu yang gue tebalikin, liat aja." Protes sahabatku kembali menarikku ke waktu sebenarnya, di dalam café sepi, duduk di pojokan dengan cuaca panas dan tanpa pelangi. Damn!
Aku memutus saling balas pesan, dengan berpamitan pada Wintari, meski sebenarnya tak ingin. Aku tak ingin membuatnya terasing dari kehidupannya di situ, hanya karena berbalas pesan denganku.
Dan aku harus mengendalikan perasaan yang membuncah, agar tetap waras.
Ku akhirnya pesan dengan memanggilnya 'yang', dan tertawa saat ia membalas dengan typing absurd. Tak sabar untuk memanggil secara langsung dengan sebutan itu.
Tapi sekarang, kegilaan ini harus dipotong jeda, agar aku tak benar-benar gila.
Niatku adalah menar ditengah badai, bukan tergerus terbang terbawa angin kencang. Aku harus tetap memegang kendali atas perasaan sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sobat
FanfictionCerita adalah fiksi, jangan dikaitkan dengan idol asli Cerita tentang Kiana yang menyimpan rasa suka pada Wintari, teman sekelasnya dan juga gitaris band kampus bernama Capricorn. Wintari yang pendiam cenderung dingin tak sekalipun meliriknya, bahka...