Mengenal Ari menambahkan warna ke dunia Widi. Bisa dibilang begitu. Setelah mendapatkan kontak dan saling mengenal, Ari banyak bercerita mengenai masa kecilnya. Termasuk ketika sang kakak, yang bernama Ruben, meninggal dunia. Ari bercerita jika Ruben adalah harapan utama keluarga mereka. Semua uang keluarga habis untuk menyekolahkan Ruben. Tapi sayang, Ruben meninggal karena penyakit asam lambung yang sudah lama diderita, lelaki itu meninggal tujuh hari sebelum acara wisuda digelar.
“Sejak itu harapan keluarga semua ditanggung olehku. Sistem di keluargaku sedikit enggak adil, sih. Setidaknya menurutku. Anak pertama laki-laki disekolahkan setinggi mungkin supaya bisa dapat pekerjaan lebih baik dan membantu perekonomian keluarga. Anak kedua tidak usah kuliah, apalagi aku perempuan. Aku sudah dengar rencana ini sejak aku kelas sebelas SMK.” Ari mengangkat gelas tehnya. Ia menyesap minumannya perlahan. “Ya, aku sadar. Menyekolahkan anak berbeda usia hanya tiga tahun tidaklah mudah. Butuh biaya besar, kan? Ya iyalah. Kok aku masih tanya, sih? Hehe ....”
Ada kesedihan dalam tawa kecil itu. Widi tahu. Ia tatap wanita berambut keunguan itu. Senyumnya mekar.
“Tapi, aku beruntung. Setidaknya aku sudah punya pekerjaan tetap sesuai sekolah. Aku melamar di pabrik tempatku bekerja sekarang. Dulu dikontrak selama enam bulan. Karena dalam empat kali kontrak kinerjaku dinilai baik, aku diikutsertakan dalam seleksi karyawan tetap. Dan aku lolos. Sudah sekitar empat belas tahun aku bekerja di sana.”
“Hebat sekali. Apa yang kamu kerjakan di sana?”
“Banyak, sih. Pasang sekrup, menyolder, itu yang utama. Tapi setiap model kamera ya berbeda pekerjaannya.” Ari tersenyum. Ia tampak bangga dengan pekerjaannya. “Kalau Mas Widi sekarang sibuk apa?”
“Masih sama. Jadi tukang roti,” canda Widi tentang pekerjaannya.
“Wah. Pasti sekarang sudah sukses, ya,” puji Ari yang membuat Widi tersipu malu. “Tahu kabar Mas Ezra, enggak?”
“Dih! Ngapain tanya tentang orang itu?” Widi langsung melipat kedua tangan di atas perut.
“Penasaran saja.” Ari terlihat malu-malu kucing.
“Suka, ya?”
“Eh?!” Ari terperanjat ketika Widi menanyakan perasaannya.
“Suka sama Ezra?” Widi memperjelas pertanyaan itu.
“Dulu, sih. Tapi sejak kalian menghilang dari sini, perasaanku menghilang perlahan.”
Mulut Widi terbuka untuk mengatakan jika Ezra adalah gay juga. Namun, rasanya kok enggak tega, ya? Widi takut jika bayangan indah tentang Ezra dalam otak Ari jadi tercemar gara-gara fakta menyedihkan itu. Ia pun menutup mulutnya rapat-rapat.
“Sejak kehadiran kamu di sini, aku berpikir kalau mungkin nanti aku akan bertemu dengan Ezra lagi. Dulu kalian kan tidak terpisahkan sebagai teman.”
Widi menoleh dengan wajah tegang. Kemudian ia tersenyum tipis, dalam hati menertawakan kata teman yang diucapkan oleh Ari. Teman? Teman macam apa yang berhubungan intim dan saling mencintai berkali-kali? Teman macam apa, sih?
“Oh, ya. Apa selama ini kamu jomblo karena menunggu seseorang yang tipenya seperti Ezra?”
“Enggak. Aku pernah gagal berumah tangga. Jadi malas berkomitmen lagi.”
Oh, dia janda. - Widi
“Kecuali bersama Ezra?” celetuk Widi. Ari yang sedang minum langsung tersedak. “Tuh, kan? Pasti aku benar!”
“Bukan! Ponselku bergetar!” Ari menunjukkan ponsel dari dalam saku. Alarm di sana bertuliskan ‘siap-siap bekerja’. “Aku harus siap-siap bekerja. Hari ini aku masuk pukul empat sore.”
“Baiklah. Aku pulang dulu. Kapan punya waktu luang lagi?” Widi bangkit dari duduk.
“Sabtu dan Minggu kalau aku tidak lembur,” ujar Ari. Ia mengangkat gelas bekas minum mereka. “Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.”
Ari terus menatap Widi yang keluar dari rumah sampai pria itu menghilang di luar pagar. Tiba-tiba ia berpikir kalau bisa saja Widi menceritakan hal tadi pada Ezra. Dan bisa saja Ezra datang ke tempat ini lagi.
“Dih! Kebanyakan berkhayal!” kata Ari pada diri sendiri.
*
Masalah Ronan dan Nando bermula dari Nando yang tidur dengan salah satu sahabat wanita Ronan. Ini pertama kalinya Nando tidur dengan orang lain selama pernikahan mereka. Bodohnya, Ronan malah membalas tidur dengan Ezra. Masalah bertambah rumit ketika Ronan mulai memakai hati atas segala sikap Nando. Nando yang kerap kali ceplas-ceplos dalam berbicara sering membuatnya merasa rendah diri.
Ketika Nando menghabiskan malam di rumah mereka bersama anak-anak, Ronan malah pergi ke bar seperti biasa. Kebiasaannya yang masih suka main ke sana ke sini, mabuk, dan bertindak cerobohlah yang sering disindir oleh Nando. Tapi Ronan tak mau tahu, tak mau berubah.
“Bello tidak pulang lagi, Papa?” tanya Andres ketika sedang makan malam.
“Dia sedang sibuk, Nak,” jawab Nando sebelum menyantap paella dalam piringnya.
“Kami sering mendengar kalian bertengkar. Terakhir karena kau tidur—“ Demario langsung diam saat Nando meletakkan jari telunjuk di depan bibir.
“Apa pun yang kalian dengar, cukup kalian dengar saja. Tak perlu didiskusikan. Apalagi jika di meja makan.”
“Apakah Papa tidak terlalu kasar padanya? Papa sering bicara kasar padanya,” kata Benedicto sambil meraih gelas minuman.
Terlihat Nando mulai kesal dengan anak-anaknya. Ia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Benedicto hingga membuat bocah itu cemberut. Di sisi meja yang lain ada Celestino yang mengaduk-aduk paella dalam piring, ia tampak tak selera makan.
“Kamu kenapa?” tanya Nando yang berusaha melembutkan hatinya.
“Aku kangen Bello.” Celestino manyun berat.
Pria besar itu menepuk dahi sendiri, kemudian ia duduk menopang dagu. Ketiga anak yang lain senyum-senyum melihat tingkah sang ayah.
“Baiklah. Besok Papa akan bilang pada Bello untuk jemput kamu dan Andres di pertandingan sepak bola. Maaf sekali Papa harus melewatkan kesempatan emas kalian lagi,” ujar Nando. Melihat Celestino tersenyum senang, Nando menambahkan, “Tapi Papa tidak berjanji. Semua tinggal Bello saja yang memutuskan.”
“Terima kasih, Papa. Aku harap Bello mau menjemputku!” Celestino berlari memeluk Nando. Anak ini memang yang paling dekat dengan Nando dan Ronan. Selain itu ia juga seperti Nando, sama-sama penggemar klub sepakbola Barcelona.
Ketika makan malam selesai, Nando mengirim pesan pada Ronan supaya besok menjemput Andres dan Celestino di sebuah lapangan sepak bola. Karena hari itu Celestino akan bertanding. Andres hanya menonton pertandingan itu saja. Nando sudah memberikan rincian apa saja yang harus Ronan lakukan esok. Cukup lama Nando menunggu balasan pria itu sampai akhirnya ia kesal sendiri.
“Tidur di mana dia?” gumam Nando sambil menatap ponselnya. Ia mencoba menelepon Ronan tapi tak diangkat juga. “Sialan.”
*
Ronan terbangun ketika matahari sudah tinggi. Tenggorokannya terasa kering dan perih. Ia melihat ada dua orang pria tak berbusana berada di atas ranjang. Ia langsung menatap diri sendiri yang untungnya masih memakai busana. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi dan kenapa dia berada di tempat ini. Tiba-tiba ponselnya berdering di antara tumpukan kaleng bir. Ronan berusaha meraihnya dengan kesadaran yang belum pulih benar. Nama Nando muncul. Selain itu ada puluhan pesan dari pria itu.
“Halo?” Suara Ronan begitu serak sampai harus memulihkannya dengan berdeham.
“Di mana kau?!”
Suara Nando yang berteriak di seberang sana membuat telinga Ronan sakit. Ia langsung menutup telepon dari Nando dan membuka pesan. Ia mengerti apa yang harus dilakukan dan bergegas menuju lapangan sepak bola tujuan karena pertanda hampir selesai.
Pria itu mengemudi dengan sangat cepat. Beberapa kendaraan hampir saja ditabrak olehnya. Dalam pikirannya sekarang hanya dia harus sampai di lapangan sebelum pertandingan benar-benar berakhir.
Namun, tetap saja ia terlambat.
Celestino dan Andres sudah menunggu di lapangan parkir. Andres membuka ponsel dan terdapat balasan dari Ronan kalau dia akan segera datang.
Di dalam mobil Ronan merapikan penampilannya. Ia menyisir rambut, merapikan baju dan menyemprotkan sedikit parfum di sana. Wajahnya dilap dengan tisu basah. Ronan kesal juga melihat wajahnya yang kentara habis begadang dan mabuk.
Pria itu berlari menuju tempat Celestino dan Andres menunggu. Ia menyapa ketika melihat mereka, “Hai!”
“Bello!” pekik Celestino senang. Ia memeluk Ronan dan memamerkan medali emas yang didapatkan. “Aku dapat medali emas, lho!”
“Hebat sekali!” Ronan menoleh ke sana ke mari. “Papa kalian tidak ke sini?”
“Tidak. Papa sedang rapat dengan koleganya. Bello kita makan es krim dulu sebelum pulang. Kita rayakan kemenangan Celestino,” ujar Andres.
“Ide bagus! Ayo!” ajak Ronan pada anak-anak. Mereka berjalan bersama.
“Bello kamu belum mandi, ya?” tanya Celestino.
“Hm, ya ....”
“Kau bau!”
Ronan tertawa dan malu bersamaan.
*
Sebuah pohon tumbang setelah ditabrak mobil dalam kecepatan tinggi. Bagian depan mobil itu penyok dan rusak parah. Korban selamat dengan luka berat ada dua orang, seorang pria dan remaja laki-laki. Korban tewas ada satu orang, seorang remaja lelaki yang terjepit di kursi penumpang depan. Jangan tanya bagaimana rupanya setelah tabrakan maut itu. Menyedihkan.
Nando syok dan murka. Ia tak mampu mengendalikan perasaannya saat tahu salah seorang anaknya meninggal di TKP. Lebih murka lagi karena laporan polisi yang menyatakan kalau di dalam tubuh Ronan terkandung zat alkohol melebihi ambang batas untuk mengemudi. Ketika Nando melihat mayat putranya yang berdarah-darah, ia mampu mengenali kalau yang meninggal adalah Celestino.
“Celestino! Mi hijo!” ucap Nando dengan suara bergetar. Dadanya terasa sangat sesak. Namun, amarahnya sudah naik ke ubun-ubun. Ia ingin sekali membunuh Ronan kali ini. “Ronan!”
Pria itu mencari Ronan di IGD. Tapi salah seorang dokter mengatakan kalau Ronan dan Andres kini juga dalam kondisi kritis di ruang operasi.
“Selamatkan Andres! Dan bunuh saja pria pembunuh anakku! Bunuh saja si Ronan itu!” teriak Nando sampai ia harus dibawa keluar oleh sekuriti.
Nando di lepaskan di sebuah taman rumah sakit. Di sana ia menangis pilu. Celestino, anak yang paling disayangi olehnya kini telah tiada. Dan semua ini salah Ronan. Dalam hati ia berharap supaya Ronan mati saja di ruang operasi. Impas. Begitu pikirnya. Jika ia tak bisa melihat putranya lagi, ia juga berharap tak bisa melihat Ronan lagi.
Sayangnya doa Nando tak terkabul. Ronan selamat dari masa kritis. Begitu juga Andres. Di saat Ronan masih dalam perawatan, Nando menggelar upacara pemakaman Celestino.
“Celestino meninggal?!” Jantung Ronan langsung berdegup kencang. Matilah dia jika harus berhadapan dengan murkanya Nando.
Pengacara Ronan menambahkan, “Pak Navarro sudah menjamin agar kau tidak masuk penjara. Semuanya sudah beres. Tapi ....”
“Ada apa?” tanya Ronan. “Cepat katakan!”
“Pak Navarro menggugat cerai dirimu. Dan kau sama sekali tidak diizinkan untuk menemui keluarganya lagi. Jika kau berani mendekati mereka, Pak Navarro tidak segan-segan lapor polisi.”
“Apa? Nando menceraikanku?” Ronan langsung menangis kencang. Ia sudah kehilangan Celestino. Kini juga harus kehilangan Nando. “Aku harus bertemu dengannya. Aku harus melakukannya.”
“Tidak bisa. Kini mereka sedang memakamkan Celestino. Andres juga sudah dipindahkan ke rumah sakit lain. Rumah mereka juga sudah dijaga agar kau tak masuk lagi. Semua barangmu di rumah itu sudah dipindahkan ke rumah pribadimu.”
“Aku tak peduli. Aku harus meminta maaf pada Nando. Aku tak mau diceraikan!” Ronan terus berteriak seperti orang kesetanan. “Dia cinta pertamaku! Aku tak mau kehilangannya! Berikan semua hartaku padanya demi aku bisa menemuinya!”
Ronan melepaskan infus dan turun dari ranjang. Beberapa dokter langsung mencegahnya untuk pergi. Ronan masih berteriak meminta dilepaskan, karena kondisi itulah ia akhirnya diberikan obat penenang. Dan para dokter terpaksa mengikatnya di ranjang.
*
Dengan cepat Nando langsung menerbangkan anak-anaknya ke Spanyol. Mereka tak boleh lagi bertemu dengan Ronan. Sejak saat itu Nando menutup segala komunikasi dengan sang suami. Ia bahkan meminta pengacaranya untuk mempercepat perceraian mereka. Nando tak akan meminta apa yang pernah ia berikan pada Ronan. Cukup Ronan pergi saja dari hidupnya.
“Aku ingin mati saja, Maddy,” curhat Ronan pada Maddy yang rela dari New York datang untuk menjenguknya. “Itu lebih adil daripada harus kehilangan cintaku.”
“Kau tak boleh seperti ini, Jo. Jika kau ingin berjuang, maka kau harus hidup,” ujar Maddy. “Kita hadapi ini sama-sama.”
“Ratusan orang tak akan mampu meruntuhkan hati Pak Tua itu. Dia sangat keras hati.” Air mata mengalir lembut dari sudut mata Ronan. “Aku bodoh. Terlalu kekanak-kanakan. Harusnya kamu berdamai. Bukan malah begini. Karena kecerobohanku, kami kehilangan anak.”
Maddy mendekap Ronan. “Ini semua sudah takdir Tuhan, Sayang. Kita tak bisa melawannya.”
“Kenapa aku diciptakan seperti ini? Bodoh, ceroboh, kekanak-kanakan. Kenapa?” Ronan mengusap matanya. “Andai aku lebih dewasa, Celestino tak akan meninggal, kan?”
Maddy mengecup kepala adiknya. Ia biarkan Ronan mengoceh sesuka hatinya. Ia paham, Ronan masih dalam kondisi syok dan berduka. Jiwanya terguncang karena kematian Celestino dan akan diceraikan oleh Nando. Dengan lembut ia belai kepala Ronan. Membuat pria itu tenang hingga tertidur.
*
15 Oktober 2023Halo,
Inilah hasil brainstorming dengan Om Bintaro Bastard. Beneran bikin storm in my brain yang penuh dengan kabut depresi.
Yep, selama depresi saya jadi koala doang. Produktif sekali tidurnya.
Terima kasih sudah membaca. Vote dan komentarnya ditunggu, lho. Jangan lupa main ke akun Om Bintaro Bastard.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Love 3 🌈
Storie d'amoreApakah kau akan terus mencintai seseorang yang punya masa lalu sangat buruk?