Tidak ada yang menarik dari pulang kantor selain padat kendaraan yang lalu lalang tanpa henti dan langit sore yang selalu gagal membuat Reatha melihat kilau senja di langit.
Di luar ruangan pun sudah dipenuhi dengan lampu jalan yang menyinari setiap sudut jalan. Nampak indah dan menarik untuk dipandang lama-lama.
Hari sudah benar-benar gelap sekarang. Dan Reatha masih betah duduk di kursi tunggu yang ada di loby kantor. Seolah-olah menunggu adalah pekerjaan yang sangat ia senangi saat ini.
"Mbak Reatha," sapa Hera yang baru saja keluar dari lift, perempuan itu mendekat ke kursi dan berdiri tepat di depan Reatha.
Hera yang sedang kewalahan dengan barang bawaannya segera meletakkan tas jinjingnya di kursi, sebelum memutuskan untuk ikut duduk di samping Reatha.
"Kirain Mbak Reatha udah pulang. Lagi nungguin siapa, Mbak?"
Reatha kemudian melirik jam tangannya. "Sudah pukul enam sore saja," bisiknya dalam hati.
Hera yang pulang lebih lama dari biasanya jelas heran dengan Reatha yang masih duduk di loby kantor, seperti seseorang yang sedang sibuk menunggu jemputan.
Sebab sejauh yang Hera tahu, Reatha bukanlah tipikal orang yang sering diantar jemput kekasih atau siapa pun itu. Kalaupun Reatha tidak menggunakan kendaraan ke kantor ia pasti akan menggunakan kendaraan umum untuk pulang pergi dan tidak harus menunggu hingga selama ini juga.
Hera mengingatnya. Saat terakhir kali rekan kerjanya itu pamit padanya untuk pulang lebih awal. Mendahului Hera yang masih memiliki pekerjaan yang menumpuk.
Dan sekarang, harusnya Reatha sudah lewat satu jam lamanya duduk di sana. Tanpa beranjak sama sekali?
"Nungguin orang spesial ya, Mbak?" tebak Hera, karena Reatha tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Soalnya jarang banget Mbak Reatha mau luangin waktu di kantor untuk nunggu kayak gini, padahal udah nggak ada kerjaan sama sekali."
Buru-buru Reatha menggeleng, sebelum Hera semakin berpikir lebih jauh lagi. "Enggak kok, Her. Ini aku lagi nungguin teman doang. Mobil lagi masuk bengkel soalnya," jelas Reatha berusaha untuk meyakinkan.
"Oh, kirain."
Hera mengangguk paham, sedang Reatha kembali tenggelam dengan alam pikirannya sendiri. Ia pun bingung dengan apa yang sedang ia lakukan sekarang.
Menunggu Ari datang?
Separuh dari hati kecilnya tertawa malu-malu sekarang, separuh dari yang lainnya lagi mengejek tanpa henti karena melihat ketololannya yang akut ini.
Logikanya sedang mengumpat kasar karena kebodohannya yang sibuk menanti kehadiran Ari yang belum tentu akan datang menemuinya.
Tetapi ia tidak bisa berbohong juga, jika hati kecilnya terus memaksa untuk menunggu lagi, diam di kantor lagi, berharap lelaki yang sudah berjanji untuk menjemputnya hari ini, akan benar-benar datang ke kantornya untuk mengantarnya pulang ke apartemennya dengan selamat.
"Kamu pulang naik apa, Her?" tanya Reatha setelah terdiam cukup lama.
"Naik taksi online aja sih, Mbak. Ini lagi nungguin taksinya datang."
Reatha mengangguk, tidak tahu lagi harus bertanya apa kepada Hera. Sebab kini fokusnya sudah kembali terpusat pada Ari.
"Teman Mbak Reatha udah di mana emangnya?"
"Ha?" jawab Reatha dengan gelagapan. Ia sendiri pun bingung kapan Ari akan datang.
Mungkinkah lelaki itu benar-benar akan datang, ataukah hanya sedang membual padanya saja siang tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARIATHA
ChickLitReatha mulai ragu dengan konsep happy ending dalam sebuah cerita. Terkhusus untuk cerita hidupnya sendiri. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, ia kerap kali dihantam oleh rasa sakit. Rasa senang yang ternyata sedang menyamar sebelum membuatnya mera...