..
Dylan terjaga di pagi petang. Tubuhnya yang terasa pegal Ia regangkan.
Tidak biasanya Ia tertidur dengan begitu cepat. Dylan bangun, dan duduk di pinggiran ranjang, mengusap wajahnya agar rasa kantuk hilang.
Waktu menunjukkan pukul 4 pagi. Hembusan nafasnya menjadi bukti kehidupan di kamar yang gelap.
Dylan meraih gelas saat merasa tenggorokannya kering. Tapi bukannya segera meminum isinya. Dylan malah menemukan gelas tersebut tidak ada isinya. Sungguh malang sekali nasibnya.
Dia berdecak kesal. Di nyalakannya lampu tidur di sampingnya.
Berjalan menuju pintu dan membukanya perlahan.
Di kala kakinya melangkah, hidungnya terus mengendus udara. Bau amis darah menginvasi penciumannya.
Dahinya mengernyit. Dan ketika kepalanya menunduk. Dylan terkejut dan panik.
Mave terbaring di lantai. Dengan darah yang berceceran di lorong kamar.
Dylan berteriak, sehingga di penjuru Rumah ini. Tidak ada yang tidak mendengarnya.
"Pengawal!"
Para pelayan mendekat. Melihat Mave yang berlumuran darah tentu membuat mereka ikut panik dan ketakutan.
Bahkan, Baron dan anggota keluarganya ikut bangun. Wajah mereka panik dan ketakutan saat melihat Avey yang terluka dan berlumur darah.
Mereka berlarian mencari tabib atau sejenisnya untuk segera menangani Mave.
Dylan tak menyia-nyiakan waktu. Dia pergi ke kamar Mave dengan tangannya membawa Anak itu.
Keringat dingin bercucur. Mengapa bukan dirinya? Mengapa harus Avey?
"Huh?"
Kaki Dylan menginjak sesuatu, yang Ia yakini, adalah pelaku mengapa Mave sampai terluka.
Maurice melihat itu. Dylan yang tertegun di tengah pintu.
..
Di tengah malam. Biru matanya memancar.
Mave yang tidak terbiasa dengan kebiasaan bangun malam tiba-tiba terjaga.
Merasa ada hawa tak nyaman di kamarnya. Seolah ada hembusan nafas di kegelapan ini.
Tidak kurang lagi.
Mave mengingat-ingat adegan ini, jika benar mereka berada di dalam novel.
Pikirannya melambung jauh. Di mana akan ada satu korban saat malam tiba, di mana Pangeran pertama akan di tunjuk dan di hukum berat ... karna teledor menjaga Pangeran terakhir.
Pelakunya adalah-
Mave berlari dan menyalakan lampu. Yang sayangnya sangat remang.
"O-oh ... Pangeran? Ada apa?"
Butler dari Istananya. Mereka bertatap mata. Butler itu menatapnya panik.
Mave mundur. Dan meraih pedang yang sengaja Dylan tinggalkan untuknya.
Sarung yang Ia copot dari tubuh pedangnya.
"Kau cukup berani, Sir."
Mave menodongkan pedangnya pada sang Butler.
Hingga pada akhirnya, pelaku itu menunjukkan taringnya. "Pangeran lemah sepertimu, bisa apa?"
Mave mendengar itu, tak gentar, tangannya tetap berada di depan.
Mengancam Butler, utusan ... salah satu selir Raja.
Sungguh hal yang menjengkelkan.
"Yah, semua Orang meminum obat tidurnya. Pangeran yang malang ... Kau akan mati setelah ini."
Mave tersenyum paksa. Tau begini, Dia tidak akan mau ikut Dylan.
Butler itu maju, memulai aksinya sebagai assasin.
Tapi meski bodoh, Mave tahu bagaimana cara melindungi diri. Katakan saja begitu.
Perkelahian pun di mulai.
Dari sejauh ini, mengapa Dia selalu di puji menjadi perempuan yang kompeten, padahal yang Ia lakukan tidak lain menghasut para dewan kerajaan.
Entah siapa yang memulai, Mave begitu yakin, jika salah satu dari mereka sangat membencinya karna bola mata birunya, yang berbeda dengan milik Anaknya yang berwarna hitam gelap.
Sejujurnya, tidak ingin rasanya Ia percaya bahwa Dia masuk ke dalam novel menjadi inti cerita. Seribu sayang. Itu sudah menjadi takdirnya.
Tangannya yang lemah itu tanpa di duga di pukul oleh Butler, mengakibatkan pedang yang berada di tangannya terlempar.
"Menjauh!"
Mave berteriak.
"Aku memiliki otoritas! Jika Kamu terus maju! Aku tidak akan mengampunimu!"
Perhentian pergerakan assasin itu membuat Mave bertanya-tanya, apakah usahanya berhasil.
Namun sayangnya itu tak berlaku bagi Pria itu.
Dia dengan yakin mengangkat kepalanya, dan menatapnya hina.
"Siapa Kau hingga berani mengancamku begitu?" Cibirnya di selingi tawa.
Tangan Mave dengan perlahan meraih pedangnya kembali, dan menyembunyimannya di belakangnya.
"Otoritas macam apa yang di miliki Pangeran tidak berguna sepertimu? ... tidak ada yang bisa menyelamatkan nyawamu."
Butler itu berlari, dan menargetkan dadanya. Dengan gerakan buru-buru Mave menghindar, hingga lengannya menjadi pengganti.
Suara pedang beradu itu berisik. Seharusnya membangunkan salah satu dari mereka.
Tapi kenapa sama sekali tidak ada yang mendekat?
Nafasnya memburu, perih di lengannya membuat Mave sedikit panik. Degup jantungnya memompa lebih cepat.
Mave mencari cara.
Mata tajamnya menoleh pada samping. Butler yang mengira Mave lengah itu maju dan menusukkan pedangnya ke perut Mave.
Tapi apa...
Butler itu tertegun. Nyeri malah bersarang di dadanya, hingga dalam hitungan detik, Dia terjatuh, dan binasa di tangan Pangeran yang Ia remehkan.
Mave bernafas lega, sekaligus melepaskan air matanya.
Ini pertama kalinya Ia membunuh Orang. Rasa panik membuatnya takut.
Luka sayatan yang bersarang di pipi, rahang dan lengannya itu cukup membuat Mave kesakitan.
Di singkirkannya mayat itu dengan kesulitan.
Mave menangis. Dia beranjak pergi dan menghampiri kamar Kakaknya.
Tapi, belum sampai masuk ke dalam. Mave harus rela tubuhnya terjatuh di lantai dingin, di depan kamar sang Pangeran Dylan.
Hingga menjelang pagi. Mungkin sampai darahnya terkuras habis.
..
KAMU SEDANG MEMBACA
Bloviate.
RandomIsa hanya berniat membantu tetangganya. Siapa yang akan mengira bahwa Dia malah malah berakhir di sini? Slow Update. belum dapet ide. belum bisa lanjutin