Salim

61 5 2
                                    

Hari sudah berganti menjadi Senin. Rasanya sangat malas untuk membuka mata dan memulai aktivitas. Inginnya berdiam diri di atas kasur seharian penuh. Tapi aku bukan Mas Je yang memiliki waktu untuk itu. Aku harus bekerja setelah menyiapkan makanan untuk suamiku.

Karena takut kembali ketiduran akhirnya aku membuka kedua mataku dan mendudukkan diri di atas ranjang. Saat menoleh ke samping kiri, Mas Je yang sudah bangun terlihat tengah memainkan ponselnya.

"Pagi, Shay. Hari ini kamu telat bangun. Capek, ya?"

Aku mengangguk. "Emangnya ini jam berapa, Mas?"

"Tujuh lebih sepuluh menit."

Mataku terbuka lebar. Rasa kantuk yang tadi masih bergelayut di kedua mata sudah hilang entah ke mana. "Mas! Kenapa aku gak dibangunin? Jam delapan aku harus kerja."

"Kasihan. Keliatannya kamu capek banget."

Ya ampun.

"Aku belum masak sarapan, belum siap-siap. Gimana ini, Mas?" Begini lah jika sudah dilanda panik, aku bingung harus bagaimana. Dan aku tak tahu harus mengerjakan apa dulu.

"Kamu mandi aja terus siap-siap. Aku udah bikin sarapan. Nanti kamu sarapan di mobil. Aku anter kamu kerja lagi."

Apa katanya? Dia membuat sarapan?

"Mas bikin apa?"

"Pancake."

Ingatanku terlempar pada kejadian minggu lalu. Saat Mas Je memberi tunjuk foto makanan hasil tangannya yang sempat dia kirim via WhatsApp. Churros dan oreo goreng.

Semoga kali ini pancake-nya tidak bernasib sama dengan dua makanan itu.

Tepat saat pukul setengah delapan, aku dan Mas Je sudah berada di dalam mobil. Iya, aku hanya mandi sekitar sepuluh menit dan sisanya aku gunakan untuk siap-siap. Bahkan, make up pun aku lakukan di dalam mobil sambil sarapan.

Well, pancake Mas Je tidak seburuk yang ada dipikiranku. Rasanya oke, masih layak untuk dimakan. Karena tadi dia mengaku menggunakan tepung pancake instan. Hanya kurang dari segi tampilannya saja. Dibanding pancake, ini lebih cocok disebut crepes. Tapi tak apa. Aku sangat menghargai usahanya. Oh, Mas Je juga sempat memberiku buah mangga yang sudah dikupas serta dipotong menjadi beberapa potongan kecil.

"Kalau nanti pulang, telfon aku ya?"

"Iya, Mas."

Setelah mobil mendarat sempurna di depan kantor, aku segera membuka sabuk pengaman dan berniat keluar dari sana. "Mas, aku kerja dulu ya."

Tapi gerakanku terhenti saat Mas Je mengulurkan tangan kanannya. Dia ingin kita berjabat tangan? Atau-

"Salim dulu." Mas Je masih mengulurkan tangannya. "Mulai hari ini kita belajar jadi suami istri yang baik dan benar."

***

Entah karena terlalu percaya diri atau memang benar, aku merasa semua orang yang aku lewati menatap ke arahku. Tatapannya beragam. Ada yang menatap dengan sorot iri, benci, juga merendahkanku. Aku tak mengerti mereka kenapa. Dan seingatku sebelum hari Sabtu, aku sama sekali tidak melakukan kesalahan sedikit pun di sini. Bahkan saat aku masuk ke dalam ruangan di mana timku berada, tatapan mereka masih mengiringi setiap langkahku.

Sampai di ruangan pun aku merasa hawanya sangat berbeda dari biasanya. Sebenarnya mereka kenapa?

Tidak ada kata yang terlontar di ruangan itu. Tapi aku tetap mencoba fokus dan mulai mengerjakan pekerjaanku yang menumpuk. Hingga akhirnya Devina berkata, "La, dipanggil pak Bos tuh."

"Ah, iya. Makasih, Vin." Tapi Devina tak menjawab seperti yang biasa dia lakukan.

Ada yang aneh.

Aku bangkit dari duduk untuk menghampiri bosku yang ruangannya terletak di depan sana.

Here With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang