Urusan di ruang BK sudah selesai, Bu Rani pun mempersilahkan Mark dan Haechan untuk kembali ke kelasnya. Sedangkan Chenle akhirnya dibawa pulang, karena keadaannya yang tidak memungkinkan untuk lanjut ikut masa orientasi siswa.
Sejak menutup pintu, tidak ada satu kata yang keluar dari mulut Mark maupun Haechan. Faktanya jika ada alat pendeteksi pikiran, otak Mark dan Haechan penuh sekali. Kalimat-kalimat Ten dan Taeyong berputar-putar, yang mana bukan membuat mereka lega malah semakin bertanya-tanya.
*Flashback
Ten dan Taeyong tersenyum, perlahan mendekati Mark dan Haechan yang fokus menatap bimbang pintu BK tempat keluarnya Chenle tengah dibopong dua kakeknya.
"Nak Mark" / "Nak Haechan"
Keduanya sama-sama tersentak mendengar panggilan tersebut, ditambah Ten dan Taeyong sudah berada dihadapan sontak pun mereka berdiri.
"Maafkan saya." / "Saya minta maaf."
Ucap Mark dan Haechan bersamaan dibarengi dengan kepala tertunduk.
"Tidak-tidak" sahut Ten, "Kalian tidak bersalah, justru kami yang harusnya merasa bersalah pada kalian. Maafkan Chenle ya, kalian pasti merasa tidak nyaman dengan tingkah aneh Chenle." lanjutnya sembari mengelus halus pundak kedua anak remaja itu.
"Lalu yang tadi... Apa Chenle akan baik-baik saja?" tanya Mark lirih.
"Jangan khawatir Chenle akan baik-baik saja. Chenle anak kuat, kalian doakan saja ya untuk kebaikan Chenle." jawab Taeyong.
"Pasti, Nyonya.. Namun, jika ada hal membutuhkan bantuan mengenai Chenle, mohon hubungi saya. Akan saya bantu sebisa saya." Mark sendiri pun heran kenapa mulutnya bisa berkata seperti itu.
"Wahh gentle sekali, terimakasih banyak Nak Mark. Pantas sekali, sekolah memilih kamu sebagai Ketua karena kamu sangat baik dan berani bertanggung jawab." sungguh hati Taeyong menghangat, paras anak remaja ini mirip sekali dengan mendiang putranya.
"Ngg anu..." gumam Haechan.
"Iya, Nak Haechan? Ada yang mau ditanyakan?"
Haechan jadi gugup, kala semua pandangan mengarah padanya.
"Ahh... tidak jadi." geleng Haechan cepat.
"Eyy, tidak ada kata tidak jadi. Ayo tanyakan saja, pasti Chenle juga senang kalau Nak Haechan mau mengenal Chenle lebih dalam." tutur Taeyong.
"Baiklah Nyonya, namun maaf jika pertanyaan saya ini terbilang lancang. Anda bisa menegur saya, kalau sudah melewati batas." ucap Haechan, mengantisipasi dahulu.
Ten dan Taeyong pun mengangguk pasti.
"Jika Nyonya berkenan memberi tahu, kemana orang tua Chenle? Lalu mengapa Chenle memanggil saya dan Mark seperti 'itu'? Dan ketika saya perhatikan, pandangan Chenle suka seperti orang linglung. Sungguh Chenle baik-baik saja." tanya Haechan penuh hati-hati, jujur dia takut salah kata.
Taeyong sudah terisak mendengarnya, tak sanggup untuk menlanjutkan.
Ten menyendu berkaca-kaca, "Nak Haechan, Chenle sudah yatim-piatu sejak berumur sepuluh tahun. Anaknya baik-baik saja, namun entah kebetulan yang bahagia atau menyedihkan Chenle bertemu kalian yang begitu mirip kedua orang tuanya."
Baik Mark dan Haechan tercekat, timbul rasa sedih merambat dalam hati mereka.
"Apa memang begitu mirip?" tanya Haechan lagi.
Tanpa mengucapkan sesuatu, Ten pun mengutak-atik ponselnya. Lalu, setelah menemukan satu foto, ia menyerahkan ponselnya ke Haechan.
Haechan menatap Ten ragu.