"Lo … Kenapa, Atha?" Ucap pemuda bermata sayu yang mendekatkan wajahnya. Ia nampak bingung.
Sang empunya nama tersentak dari lamunannya menatap pemuda rupawan itu. Helaian rambutnya tersapu angin lembut dari jendela. Pancaran mentari senja itu membuat ia baru menyadari warna iris lelaki itu. Cokelat hazel yang begitu dikara. Milik seorang yang memang memabukkan sebagian besar siswi di SMAN Bhinneka 01 ini.
Waktu pulang sudah lewat jauh. Bel yang berbunyi tidak kedengaran oleh Atha. Riuh gemuruh para siswa kian terhenti. Menyisakan sepasang murid yang kini duduk di bangku kelas. Oh, bukan. Suara-suara itu tidak mandek. Hanya tak dihiraukan oleh sebab Anriko Mahendra seorang.
"Maksudnya?" Tanya Atha yang berusaha kembali fokus pada rumus-rumus di buku fisikanya.
"Tangan lo gemetar, wajah lo merah banget dan suara lo kayak cicak kejepit setiap lo liat wajah gue," gadis itu menepis tangan lelaki yang hendak mengusap tangannya itu.
Semuanya benar. Segala yang dideskripsikannya memang benar. Jantungnya berdegup kencang. Entah apa yang dikeluarkan oleh otaknya sehingga ia tidak mampu mengendalikan ekspresi wajahnya. Rasa gugupnya menjalar pada buku-buku tubuhnya. Sekali lagi, semua itu oleh sebab Anriko Mahendra seorang.
"Kenapa?" Tanya lelaki itu sekali lagi lebih serius. Namun Atha tidak menjawab. Ia malah meregangkan tubuhnya dan menyesap kopi kalengnya.
"Kayak lo ga tau aja, Rik," ujar Atha mengulum senyum. Dilanjutkan kekehan pelannya yang terdengar anggun. Anriko mundur. Mengalihkan pandangan. Tak kuasa memandang wajah gadis yang ia tolak mentah-mentah dihadapan banyak warga sekolah. Rupanya rasa itu masih mengusik hati kecil Atha. Apalagi ia telah menahan rasa selama 5 tahun lamanya. Atha tidak akan pernah bisa melupakan hari itu. Satu hari yang membuat hari-hari lainnya dalam hidup Atha semakin berguncang.
"Maaf, gue kira rasa itu sudah hilang," ucap Riko pada akhirnya.
"Gapapa, kok, Rik. Makasih juga."
Makasih udah mampir dan menambah beban di hati gue.
Manusia tidak benar-benar tahu perasaan manusia lain. Bahkan seseorang pun belum tentu mengetahui apa sebenarnya yang ia rasakan. Perasaan hati keduanya abu-abu. Bisakah warna hati mereka menjadi lebih jelas seiring berjalannya waktu? Atau adakah orang yang dapat memberi warna pada hatinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Knock Me Fifty Meters
Teen Fiction"Knock... knock... who's there?" "Your boyfriend, darling."